Terkesan agak berlebihan memang saat saya
menuqil kisah inspiratif Ali bin Abi Thalib ini dalam kaitannya dengan saya dan
#KampusFiksi.
Guys, kita tahulah, terdapat
perbedaan besar antara ilmu dan duit. Sebanyak apa pun duitmu, tetap aja ia
takkan pernah sanggup menjadikanmu mulia, terhormat, tsakep, begitu saja. Sebab, duit berbeda sama sekali hakikat dan
auranya dibanding ilmu.
Saya begitu getol mengasuh #KampusFiksi, yang
sedari awal memang tidak menjajikan kemewahan (halah…), melainkan ilmu kepenulisan fiksi. Baik yang diadain di
Jogja maupun yang saya harus keliling kemana-mana antar kota antar propinsi. Tentu saja, #KampusFiksi
nggak ada apa-apanya di depan keluasan ilmu Ali bin Abi Thalib dan
pengabdiannya. Saya bukanlah Ali bin Abi Thalib. Namun, saya percaya bahwa saya
kudu melakukan sesuatu berkaitan dengan ilmu sepanjang hidup saya. Dan hari ini
saya memiliki wadahnya berupa #KampusFiksi.
Sebagai misal, tanggal 28 Pebruari 2014, pukul
20.00 sampai 03.30 WIB, saya berada di kereta menuju Bandung untuk acara
#KampusFiksi. Acara yang udah ditunggu oleh seratusan orang. Saya juga harus
berjuang dengan kepala sedikit nyeri dan hidung mampat di tengah kemacetan kota Bandung,
dari daerah Geger Kalong menuju Buah Batu (lokasi acara). Saya tak sedikit pun
dapat profit, sebab #KampusFiksi selalu gratis.
Lalu, proses transformasi ilmu #KampusFiksi itu
berjalan hampir 4 jam. Tentu, takkan semua peserta yang sesak itu meraih
hasil yang sama. Tentu, seleksi alam kan
terjadi di dalamnya. Tapi, setidaknya, itu semua (lihatlah foto-foto berikut) memperlihatkan bahwa kemanfaatan ilmu
harus terus dibagikan. Selagi masih hidup, kita memang harus melakukan sesuatu
untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Lelah, pusing, agak mual,
berkeringat, waktu tersita, ngantuk tiada tara,
makan biaya, dll., merupakan bagian dari pengabdian itu.
Siapa pun kita, sekecil apa pun, selayaknya kita
mengabdikan diri pada ilmu, bukan duit. Mengabdi pada ilmu takkan buatmu jadi budak. Mengabdi pada duit hanya kan buatmu jadi budak buta pecundangnya, yang kan menjadikan hidupmu hina tiada guna dalam helaian sejarah dunia, tak berbeda dengan hidup ayam yang tahunya hanya makan dan kawin. Dan #KampusFiksi adalah bagian dari
perjuangan saya terhadap itu.
Kenapa bukan duit?
Cerita inspiratif dari Ali bin Abi Thalib
berikut kan
menjawab semua pertanyaan yang pernah (dan
atau akan terus) ditujukan pada saya.
****
Dalam suatu kesempatan, Nabi Muhammad Saw.
Bersabda: “Aku adalah kota
ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
Mendengar hadits ini, orang-orang yang keluar
dari agama Islam hendak membuat tipu daya terhadap Ali. Sepuluh orang tokoh
mereka berkumpul dan berkata, “Kita bertanya satu permasalahan saja, dan kita ingin
tahu bagaimana ia menjawabnya. Seandainya Ali mampu menjawab masing-masing dari
kita dengan jawaban yang berbeda-beda, maka kami mengakui bahwa ia memang
pandai, sebagaimana yang disampaikan Muhammad.”
Kemudian, salah satu di antara mereka datang dan
bertanya:
“Wahai Ali, apakah ilmu lebih utama daripada
harta?”
“Tentu, ilmu lebih utama daripada harta,” jawab
Ali dengan bijak.
“Mana buktinya?”
“Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta
adalah warisan Qarun, Syadad, Fir’aun, dan lain-lain.”
Lantas, laki-laki ini pulang dengan membawa
jawaban tersebut. Setelah ia pergi, laki-laki lain datang dan bertanya dengan
pertanyaan yang sama sebagaimana laki-laki pertama.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana buktinya?” tanya laki-laki tersebut.
“Ilmu menjagamu, sedangkan harta, engkaulah yang
menjaganya,” jawab Ali.
Mendengar jawaban tersebut, lelaki tersebut
pergi.
Tak lama kemudian, salah seorang di antara
mereka datang dan bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti yang diutarakan oleh
teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?” tanya laki-laki ketiga.
“Pemilik harta mempunyai banyak musuh, sedangkan
pemilik ilmu mempunyai banyak sahabat,” jawab Ali.
Laki-laki tersebut pergi dengan membawa jawaban
tadi.
Lalu laki-laki lain datang kepada Ali dengan
membawa pertanyaan yang sama seperti teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?”
“Apabila engkau membelanjakan harta, maka jelas
akan berkurang. Sedangkan apabila engkau menyebarkan ilmu, maka ilmu itu akan
bertambah,” jawab Ali.
Ia pun pergi dari hadapan Ali dengan membawa
jawaban tersebut.
Kemudian, laki-laki lain datang kepada Ali dengan
membawa pertanyaan sama seperti teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Apa buktinya?”
“Pemilik harta terkadang dipanggil dengan sebutan
bakhil dan rendah, sedangkan pemilik ilmu dipanggil dengan nama yang agung dan
mulia,” jawab Ali.
Laki-laki tersebut pergi dengan membawa jawaban
tersebut.
Laki-laki lain kemudian datang dan bertanya
dengan pertanyaan yang sama seperti teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Apa buktinya?”
“Harta dijaga dari pencuri, sedangkan ilmu tidak
dijaga dari pencuri,” jawab Ali.
Ia pergi dari hadapan Ali dengan membawa jawaban
tersebut.
Laki-laki lain datang dan bertanya seperti
pertanyaan teman-temannya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?”
“Pemilik harta dihisab kelak pada hari kiamat,
sedangkan pemilik ilmu ditolong (mendapat syafaat) pada hari kiamat,” jawab
Ali.
Lalu, laki-laki itu pergi dengan membawa jawaban
tersebut.
Laki-laki lain datang bertanya seperti
pertanyaan teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?”
“Harta akan habis bila didiamkan dan dibiarkan,
sedangkan ilmu tidak akan habis dan rusak,” jawab Ali.
Laki-laki ini pergi dengan membawa jawaban
tersebut.
Kemudian, laki-laki lain datang dan bertanya
seperti pertanyaan teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?”
“Harta membuat hati keras, sedangkan ilmu dapat
menerangi hati,” jawab Ali.
Laki-laki itu pergi dengan membawa jawaban
tersebut.
Kemudian, laki-laki lain datang dan bertanya
seperti pertanyaan teman-teman sebelumnya.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” jawab Ali.
“Mana dalilnya?”
“Pemilik harta menganggap dirinya sebagai
pemilik karena hartanya, sedangkan pemilik ilmu mengakui diri menghamba,” jawab
Ali.
“Seandainya mereka bertanya lagi kepadaku
tentang hal ini, maka aku akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, selama
mereka masih hidup,” ucap Ali RA. Kemudian, mereka datang dan masuk Islam.
(Dari kitab Ushfuriyyah).
Guys, saya hanya gelisah
dengan satu hal dari #KampusFiksi. Istiqamah!
Ya, saya berdoa semoga saya terus memiliki kekuatan istiqamah itu. Semoga semakin banyak lagi kota
yang bisa saya kunjungi untuk berbagi ilmu #KampusFiksi, selain Bogor, Semarang, Jogja,
Purworejo, dan Bandung.
Amiin.
Jogja, 4
Maret 2014
14 Komentar untuk "#KAMPUSFIKSI DAN ALI BIN ABI THALIB "
Ditunggu Kampus Fiksi sampe di Malang ya, Om Edi :D
semangat Pak Edi!
Semangat Pak! InsyaAllah ilmu yg disampaikan menjadi amal jariyah ^^
I Love Ali..
Semangat terus, Mas Edi.
May Allah always bless you more and more for everything you do, struggle, and dream. Aamiin...
:)
Catatan ini bukan bermaksud (maaf) menjilat, atau dalam bahasa jawa disebut ngatok. Ini hanyalah sekedar wujud apresiasi yang ingin sekali saya sampaikan dalam komentar ini, mumpung Pak Edi Akhiles sedang memposting catatan tentang ini.
Dari awal saya sudah bisa menilai ketulusan Edi Akhiles bersama gerbong DIVA Pressnya dalam mengembangkan dunia literasi Indonesia. Tanpa adanya catatan ini pun saya yakin sudah banyak orang yang menilai seperti itu. Kutau seorang Edi Akhiles juga tidak mengharapkan adanya pengakuan dari orang lain.
Semakin ke sini, saya semakin menaruh hormat yang setinggi-tingginya pada Edi Akhiles dan DIVA Press. Kampus Fiksi, reguler ataupun yang keliling ke kota-kota itu, tentu saja membutuhkan pengorbanan yang tak ringan. Mulai dari tenaga, pikiran, biaya dan waktu. Bila Edi Akhiles hanya mementingkan bisnis, kegiatan seperti ini tentu akan terasa berat sekali untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan Kampus Fiksi yang gratis, dan perjalanannya yang sudah kesekian kalinya ini, adalah bukti keikhlasan dari Edi Akhiles dan DIVA Press dalam perjuangannya untuk mengembangkan dunia literasi Indonesia. Karena keistiqamahan adalah bukti sebuah keikhlasan.
Kita tau, tak hanya Kampus Fiksi saja yang telah dilakukan oleh Edi Akhiles dan DIVA Press, event-event lomba menulis yang dilaksanakan juga subhanallah, tak pernah ada satu syarat pun membuat kita harus mengeluarkan biaya. Soalnya ada penerbit yang mengadakan lomba menulis novel atau cerpen atau yang lain, tapi formulirnya ada di buku yang sudah diterbitkannya. Tentu tujuannya adalah untuk melariskan buku itu.
Bos, saya terharu membaca catatan anda ini.
Semoga Allah memberkahi anda dan keluarga selalu.
Semoga Allah mengijinkan saya bertemu anda suatu saat nanti.
AR.
Aminn n semoga semakin banyak pebisnis literasi yg menjulurkan tangannya pada Indonesia
Insya Allah selalu semangatt
Tuk ibu sy aja
Semangaattttt heee
Insya Allah 20 April di Perpus Malang
Amiin. Semoga bisa ttp istiqamah ngelaksanain #KampusFiksi, kalau bisa roadshow sampe palembang, pak :p
GANBATTE, pak! :D
JAKARTA kapan paaaaaaaaaaak? *mewek, hentak2in kaki*
Maaf kalo waktu aku nge-MC error ya, Paak... Nggak sabar ketemu bapak di ciputat! :))