Waktu main ke
rumah Kang Haqi, setelah #KampusFiksi Bogor bulan Januari 2014 lalu, saya
bersama beberapa kawan disuguhi ragam makanan dan minuman. Ortu Kang Haqi ramah
banget. Jadi, kami betah berlama-lama di sana.
Suguhan pertama
yang keluar adalah sebuah toples berisi cemilan sejenis kripik. Ibu Kang Haqi
berkata, “Mangga, diambil, dimakan, sok
atuh….”
Saya dan
kawan-kawan mengangguk. Tapi tak kunjung ada yang membukanya. Akhirnya, saya
yang berinisiatif memberikan contoh terbaik buat mereka.
Saya kaget *lebay*. Ternyata isinya bukan kripik
mangga, tapi kripik talas. Dalam hati saya berpikir, “Ohhh, orang sini menyebut
makanan ini dengan sebutan mangga. Oke, fine.”
Lalu tak lama
datang lagi dua piring hidangan berisi roti kering. Ibu Kang Haqi kembali
mempersilakan, “Mangga, diambil, dimakan, sok
atuh….”
Saya
mengerutkan kening *lebay lagi*.
Ini disebut
mangga? Bukannya ini roti kering, Bu?
Ya sudahlah,
sembari menyingkirkan pikiran yang berkeliaran, saya mencomot lagi. Dan, absolutely, setiap saya selesai
mencomot, memberi contoh terbaik, kawan-kawan lainnya dalam hitungan detik
segera menjamahnya tanpa ampun *pura-pura nggak lapar mereka*.
Lalu,
keluarlah suguhan minuman. Teh panas. Cangkir-cangkir itu terlihat begitu
menggoda dengan kebulannya. Dalam hati, saya bergumam, semoga minuman-minuman
itu disebut teh sebagaimana lazimnya, bukan mangga lagi.
“Ayo minum, sok atuh….” kata ibu Kang Haqi dengan
wajah ramahnya.
Alhamdulillah, batin saya. Tidak ada
kata mangga lagi untuk menawari kami meminum teh itu.
“Ayo, Za,
diminum, sok atuh….” kata saya
menggoda Reza yang duduk bersebelahan dengan Pia dan Lia.
“Iya, Pak,”
sahut Reza.
“Iya, sok atuh,
diminum semua,” timpal ibu Kang Haqi. “Mangga…”
Glek!
Saya yang baru
saja mengangkat cangkir, berhenti bergerak sejenak. Mangga lagi, gumam saya. Apa
mungkin ya ini teh rasa mangga maksudnya?
Dengan penuh
harap, saya mulai meminum teh yang disebut mangga ini. Ah, nggak kok. Ini teh
biasa, mungkin sejenis Tongji itu. Nggak ada taste mangga-mangganya sama sekali.
Tak lama hujan
kembai memeluki bumi Bogor.
Dingin menguliti sekujur kulit. Di hati, saya membatin, orang Bogor naturally
harus punya anak yang banyak lho dengan cuaca yang sangat mendukung
produktivitas begini.
Setelah shalat
Maghrib di masjid yang sangat dekat dengan rumah Kang Haqi, kami pun pamit. Berterima-kasih
banyak atas sambutan ramah keluarga Kang Haqi plus ramai suguhannya, sudah
pasti harus saya yang mewakili kawan-kawan kimcil
itu (eh, Pia dan Lia bukan kimcil
lagi ding).
Kami pun
beranjak pulang. Di kepala saya, ratusan mangga berjatuhan, bergedebuk,
bertimpukan. Mulai kripik, roti, teh, sampai pamit pun jadi mangga. Terbersit
pikiran bahwa kota ini juga tepat disebut kota mangga, selain kota
hujan yang sudah populer.
Di tengah
jalan, rasa lapar kian menggerogoti jiwa (halah,
perut tepatnya). Saya membuka suara, “Kalian mau makan nggak nih?”
Hanya Reza
yang menyahut, “Nggak usah, Pak….”
“Saya lapar,
mau makan dulu, kalau Reza nggak lapar ya udah nggak apa-apa….”
Sederet kata sontak
berlompatan memasuki telinga saya.
“Saya mau,
Pak,” kata Pia.
“Saya juga,
Pak Bos…” kata Moren.
“Saya juga
mau,” sahut Lia.
“Iya, mau,
Pak,” timpal Ivan, Aji, dan Alfan.
Saya menoleh,
menatap Reza di jok belakang, “Jadi hanya Reza nih yang tidak mau makan?”
“Ahhh, mau
juga dong, Pak….”
Tawa pun
pecah, hingga kami berhenti di tepi jalan di depan tenda pecel lele. Saat saya
memasuki gerobak pecel lele itu, belum duduk sempurna, sebuah suara berhasil
membuat saya manyun sejenak.
“Mari,
silakan, mau pesan apa, mangga…”
Mangga lagi?
Mangga lagi?
Dan mangga
lagi?
Saya memilih
diam setelah memesan pecel lele, meski dalam hati sungguh berharap yang akan
disajikan adalah ikan lele sebagaimana yang saya kenal selama ini di Jogja.
Alhamdulillah, lele beneran! Setelah
makan, sebagian kawan minta turun di bawah jembatan penyebarangan. Selebihnya,
bareng saya kembali ke Jakarta.
“Pak, makasih
ya…” kata Reza.
“Iya,
sama-sama, mangga…” sahut saya.
“Saya juga
makasih banget lho, Pak,” ucap Pia
“Sama-sama,
hati-hati ya, mangga, Pi…”
“Makasih
sekali ya, Pak, saya permisi,” ucap Lia.
“Oke, Li,
salam sama mamase, mangga….”
Mereka
mengangguk, tersenyum, mengiringi kepergian saya. Dalam hati saya berteriak, “Yes! Yes!” Mereka pasti tak sadar kalau
barusan saya mangga-manggain. Bukankah harusnya saya jawab, “Silakan….” bukan
“Mangga…”?
Setiba di
Jogja, saya tak pernah mendengar lagi ada orang menyebut cemilan, minuman, atau
pamitan dengan kata mangga. Mangga tetaplah mangga seperti yang ada di belakang
rumah saya. Sedang berbuah. Lebat lagi. Mau?
Mangga….mangga…
*lalu ternyata yang keluar adalah pisau!
*Ternyata ya,
sebuah kata, seperti mangga, bisa bermakna apa saja, sesuai dengan konteks
lokalitasnya, bisa jadi itu kripik, roti, teh, pamitan, dan boleh jadi di suatu
lokal ia berarti goodbye, airmata,
bahkan pisau lho*.
#IfYouKnowWhatIMean.
Jogja, 21 Maret 2014
Tag :
Traveling,
Yang Serba Nakal
12 Komentar untuk "CERITA SEBUAH MANGGA DI BOGOR"
ha ha haaaa
hahaha kocak pak edi :D
Mangga dinikmati *yg keluar apa coba?
hahaha...Bapak kok sama kayak murid2 kelas BIPA saya sih :D
Hahaha... Di mangga-manggain ya?
Btw, pak pertanyaan saya tentang narasi menggurui belum dijawab :(
Bagaimana mensiasati agar naskah kita tidak menggurui seperti Mamah Dedeh atau Mario Teguh. Ckck
Ntr kupost di blog
Mangga ma'nahu monggo, Paaak!! Serius dah. Koplak pisaaaaan!! :))
Beuuuh......... pak edi bisa ngeledek juga
Antum kagak ikuttt sih
Itu serius lhoo kisah nyata
Emang gimna samanya
Hahaaaa serius nih kisah nyata gan ?