Saya jelas
hanya satu dari jutaan orang di negeri ini yang menuai akibat dari kebejatan
korupsi. Jalanan yang rusak, penerangan jalan yang mengecewakan, miskinnya
segala macam sarana publik, biaya sekolah yang selangit, biaya berobat yang
menjulang, (dll.) merupakan beberapa
contoh akibat bedebahnya korupsi.
Sungguh luar
biasa iri saya sama Turki (misal) yang pemerintahnya berhasil membangun subway bawah laut dan tol sepanjang
ribuan kilometer hanya dalam hitungan 2-3 tahun. Bukan karena pemerintahnya
lebih cerdas dari pemerintah kita. Bukan! Tapi karena mereka punya uang. Kita
menjadi nggak punya uang cukup untuk membangun segala sarana publik karena uang
negara kita dimalingi oleh para koruptor bedebah itu. Jika korupsi bisa diminimkan
di negeri ini, niscaya bangsa kita akan menjadi bangsa yang kaya, punya banyak
uang, bisa membangun segala macam sarana kesejahteraan publik, maka jadilah
negeri ini akan begitu mempesona.
Sebagai rakyat
yang tahu diri, saya selalu bayar pajak mobil/motor, PBB, PPH, dll. Tapi
sungguh sangat bencinya saya setiap kali keluar kota selalu saja dan masih saja jalanan kita
didominasi kerusakan, lubang, sempit, sesak, dll. Uang pajak kami ke mana
terus? Ya itu, dimalingi para koruptor!
Mengimpikan
sebuah negara tanpa korupsi jelas mustahil. Begitu banyaknya orang yang
terlibat dalam birokrasi pemerintahan tentu saja tidak memungkinkan untuk
menyeragamkan otak mereka semua sepenuhnya steril dari godaan duit. Tetapi,
hidup di negeri yang mayoritas birokrasinya, politisinya, berotak maling, jelas
amat menyakitkan. Dan inilah yang tengah terjadi di negeri tercinta ini.
Kalaupun
praktik korupsi massal itu tidak dilakukan secara vulgar berupa sogokan, suap,
tilepan, mark up, lihatlah bagaimana
partai-partai itu bertransaksi polese-polese
demi melindungi kepentingannya. Terlalu banyak kasus transaksi politik begituan
di sini, untuk saling menjegal atau menutupi borok masing-masing. Kita pun,
yang rakyat ini, terbuang ke selokan-selokan.
Lebih
memilukan lagi saat kita menyaksikan sebagian besar pelaku korupsi itu adalah
cendekiawan, bahkan punya dasar keislaman yang bagus. Bagian dari pesantren
anulah, alumni kampus anulah, aktivis anulah, dosen anulah, peneliti anulah,
dll., yang mencerminkan latar-belakang keilmuan dan kultur yang sangat baik.
Dan, mereka ternyata bagian dari tikus-tikus korupsi!
“Si anu
ditangkap polisi….”
“Kenapa?”
“Maling motor semalam…”
“Ohh,
pantas….”
Jika pelaku
malingnya adalah seorang yang dikenal ugal-ugalan, preman, bajingan, hati kita
masih bisa bergumam, “Pantaslah, kelakuannya emang gitu…”
Tapi, jika
malingnya adalah orang yang dikenal baik, hati kita pun amat sangat terluka.
“Ya Tuhan,
ternyata dia….”
Begitulah
korupsi dilakukan oleh para maling pintar itu. Maling yang punya mulut juara
untuk ngebacot, ahli bersilat ludah
(bukan lidah lagi) untuk menutupi kebrengsekannya, dan payung kekuasaan yang
dengan mata buta selalu melindunginya. Maling yang meski nuraninya
berteriak-teriak menyalahkan tetap akan ngebacot
sedemikian berbusanya.
Andai, ya ini
pengandaian saya saja, saya membuat peta tentang bobot dosa di antara sekian
banyak dosa yang disebut sebagai dosa-dosa besar, saya takkan ragu untuk
berteriak: “Korupsi adalah kekafiran!”
Korupsi bukan
lagi dosa yang setara dengan dosa membunuh, berjudi, merampok, menipu, dll.
Tidak. Kejahatan dosa korupsi setara dengan kekafiran. Tahu kafir? Saat Anda
bersyahadat, lalu Anda mengingkari syahadat Anda, itulah kafir. Itu kafir
akidah, teologis, menurut kami yang muslim. Tiada ampunan buat orang kafir.
Korupsi berada
di situ level dosanya. Ia memang bukan urusan akidah, tetapi jangan alpa bahwa kufur
bukan hanya melulu soal akidah, tetapi sekaligus meliputi segala hal yang
merusak dengan amat sangat. Boleh saja Anda bershalat, tapi jika Anda koruptor,
maka sejatinya Anda adalah bagian dari pelaku kufur itu. Tiada ampunan bagi
Anda!
Lihatlah,
bagaimana kerusakan, keterbelakangan, dan kemiskinan begitu merajai negeri ini
akibat korupsi!
Lihatlah
bagaimana remuk-redamnya keuangan negara ini akibat satu koruptor saja bisa
memalingi milyaran rupiah uang bangsa!
Jika dalam
sebuah ilustrasi teologis di al-Qur’an disebutkan bahwa seorang yang kufur “lebih buruk daripada binatang”, maka
koruptor pun sangat laik untuk tidak lagi disebut “seorang”. Ia lebih pantas
disebut “seekor”. Sebab ia adalah binatang! Binatang yang sangat buruk, yang
kebetulan masih berwajah manusia, berbaju rapi, berbicara dengan bahasa
manusia.
Ia adalah
seekor koruptor! Bukan seeorang koruptor.
Jogja, 11 Maret 2014
14 Komentar untuk "“SEEKOR KORUPTOR”"
ekornya panjang atau pendek?.... hehehehe...
seandainya saja pemerintah kita tegas seperti di cina yang memberlakukan hukum gantung pada koruptor, mungkin orang akan berpikir ulang untuk korupsi
Waduh. Pak Edi bener-bener ngamuk ni. :). Bagus Pak. Mereka pantas dikatakan seperti itu. Seekor koruptor!. Atau mungkin bisa lebih dari itu. Na'udzubillah...Ngerinya negeri ini. Huh.
Semoga para koruptor membaca ini pak edy.. hihih
Jleb! Top markotop, Pak Edi.
Entahlah.... Mengapa banyak sekali ironi di sana sini? Mulai dari sosial, politik, hukum, agama, pendidikan dan semua lini kehidupan di negeri ini. Sebenarnya apa akar masalahnya? Arrrgggghhhhh....
Membaca tulisan orang marah yang bagus ^_^
Nahhh itu
Setujuuu
Begitu adanya ini
Amiinnn
Makasiihhh
Duh mas rafa marah iniii
Marah yang sabar *ada ya?