Dear, Mom…
Aku tak akan
banyak berkata cinta di hari ultahmu ini, sebab aku tahu kita telah sanggup
menempuh hidup bersama selama bertahun-tahun ini karena kita saling mencintai.
Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku selalu mencintaimu, seperti bertahun-tahun
lalu saat kita berpacaran, eh…berta’aruf,
saat kamu masih langsing itu. J
****
Indonesia tidak menerapkan hukum potong tangan
pada maling, padahal ayatnya jelas, apa lalu semua muslim Indonesia tidak benar?
Khilafah Islamiyah itu wajib, ada
ayatnya, lalu apa republik ini kufur semua sepanjang masih pakai demokrasi
beginian, karena tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an?
Orang poligami
kok dikekang, dilawan, padahal ayatnya jelas ada, berarti itu melanggar
kebenaran al-Qur’an?
Wanita itu
boleh dipukul kalau nusyus, ayatnya
ada kok, apa lalu kau akan membiarkan adikmu, anakmu, dipukul oleh suaminya
kelak atas nama kebenaran ayat?
Wanita kok mau
jadi pemimpin, itu melanggar ayat al-Qur’an, ayatnya sudah jelas gitu kok, apa
kau akan bilang bahwa Khafifah Indar Parawansah (misal) itu muslimah nggak
bener?
Semua yang
terjadi pada kita telah ditentukan oleh Allah lho, itu ada ayatnya, apa lalu
kau akan berpasrah belaka atas nama ayat?
Memandang
lawan jenis itu dilarang oleh Rasulullah Saw., itu haram. Iya, memandang. Lalu
bagaimana jika cuma BBM-an atau mention-mentionan?
Dll., dll.,
dll.
****
Demi Allah, tidaklah
boleh ada secuil keraguan pun dalam hati setiap muslim, termasuk saya, akan
kebenaran al-Qur’an dan hadits, yang berlaku sepanjang zaman dan tempat di
manapun muslim berada sebagai sumber-sumber hukum Islam. Siapa yang terbersit
keraguan terhadapnya, sungguh ia memiliki masalah akidah yang sangat serius.
Sungguhlah
penting bagi kita untuk memahami bahwa sifat keabadian sumber utama hukum Islam
itu, sifat rahmatan lil-‘alamin-nya,
sifat shalih likulli zaman wa makan, justru
terletak pada keglobalan kandungannya, kemujmalannya, ketidakdetailannya, bukan
karena keduanya mencamtumkan ayat dan hadits secara tekstual tentang seluruh
detail hidup umatnya sampai kiamat. Mempertanyakan dasar ayat tekstual tentang
kloning, hotel, traveling, apalagi tweteran, sungguh menandakan ketidaktahuan
sang penanya terhadap sifat keabadian al-Qur’an dan hadits itu sendiri.
Umpama
al-Qur’an memuat dengan detail segala teknis dinamika kehidupan manusia (juknisnya),
maka niscaya al-Qur’an akan expired.
Kenapa? Karena realitas kehidupan umat Islam itu sendiri berkembang secara
dinamis, sesuai dengan kondisi zaman dan tempat ia hidup. Apa yang dialami umat
Islam di awal abad Hijriah di Madinah, misal, jelas telah jauh berbeda dengan
apa yang dialami oleh umat Islam Indonesia di masa kini.
Contoh.
Umpama
al-Qur’an bicara dengan detail-tekstual sangat juknis tentang khilafah (kepemimpinan Islam), lalu
menyebut monarki sebagaimana dipakai Arab Saudi kini sebagai wujudnya, niscaya
al-Qur’an akan ditolak di sini. Sekali lagi, inilah letak salah satu
kemukjizatan al-Qur’an yang hanya memberikan panduan global berupa keadilan (‘adalah), kesamaan (musawah), dan kebebasan (hurriyah)
sebagai “isi khilafah”, sehingga
al-Qur’an bisa diterima di sini dengan mudah.
Demikian pula
dalam hal-hal lainnya.
Sifat
kemujmalan al-Qur’an ini jelas menjadikannya sangat membutuhkan tafsir. Tafsir
adalah produk pemikiran manusia yang dimaksudkan
untuk menerjemahkan “keinginan Allah” berdasar ayat dan dikuatkan oleh
hadits Rasul. Karena ia hasil pemikiran manusia, yang jelas sangat dipengaruhi
oleh niat, kapasitas, dan latar belakang budayanya yang beragam, maka sangat
wajarlah tafsir pun beragam terhadap sebuah ayat atau hadits yang sama.
Yang mana dong
yang benar jika berbeda begitu tafsirnya?
Pertanyaan
sejenis ini seharusnya tak perlu muncul lagi jika kita telah memahami bahwa
dalam hukum Islam itu ada dua kelompok hukum: (1) Ushul (pokok) seperti kewajiban shalat, puasa, dll., dan (2) Furu’ (cabang) seperti bagaimana cara
bernegara, berumah-tangga, berta’aruf,
dll.
Para ulama (jumhur)
bersepakat bahwa yang ushul itu sifatnya
mutlak, namun yang furu’ itu berada
dalam ranah ikhtilaf (perbedaan
pendapat).
Imam Ghazali
dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan,
“Tidaklah boleh bagi siapa pun untuk melarang ulama menyimpulkan sebuah hukum
yang berada dalam medan
ijtihad-nya”.
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa “Siapa yang berta’ashab
(fanatik) pada sebuah paham/mazhab (furu’),
maka ia seperti berfanatik pada satu sahabat dan menolak sahabat-sahabat
lainnya.”
Imam Syafi’i berkata, “Kebenaran dalam
pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain. Dan,
kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung satu kesalahan dalam
pandanganku.”
Ibnul Qayyim
al-Jauziyah mengatakan, “Terjadinya perbedaan di antara manusia adalah hal yang
sangat pantas, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman, dan kekuatan
logikanya.”
Dari Amr bin
‘Ash, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika
seorang hakim (mujtahid) menghukumi (suatu urusan), kemudian ia berijtihad dan
benar, maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihad dan
kemudian salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kawan, tidak
ada keraguan lagi bahwa ikhtilaf
merupakan sunnatullah dalam ranah
hukum Islam yang bersifat furu’.
Sekarang
menjadi sangat penting pula untuk memahami ciri furu’. Ciri dari sebuah hukum itu tergolong furu’ ialah ia bersifat juknis, sehingga memang rentan perbedaan
antar tempat dan zaman. Ia bersifat lokalistik, tidak bisa disamain pemberlakuannya
di seluruh wilayah dan masa. Hukum Islam di Indonesia tentu tidaklah harus sama
dengan praktik hukum Islam di Saudi Arabia,
bukan? Hukum Islam di Prancis tentu tak harus serupa dengan hukum Islam di
Indonesia, bukan?
Misal.
Shalat Jum’at
itu wajib. Ya, semua umat Islam wajib menegakkannya, sebab ia adalah hukum ushul. Pokok. Tapi, perhatikan, bahwa
dalam praktik shalat Jum’at itu ada kelompok yang pakai satu adzan, ada yang
dua adzan. Teknis beginianlah yang masuk dalam ranah furu’.
Shalat Subuh
itu wajib. Ini hukum Ushul. Tapi jika
ada kelompok muslim yang shalat Subuh pakai qunut,
lalu sebagian lainnya tidak, ini adalah hukum furu’.
Jadi, jika segala
yang ushul itu tidaklah memberikan
ruang sedikit pun untuk ijtihad, maka
segala yang furu’ itu selalu
memberikan ruang seluas-luasnya untuk ijtihad.
Apa yang
disebut ushul dalam hukum Islam,
itulah yang dimaksud dengan SYARIAT, sifatnya benar secara mutlak. Jangan
pernah ragukan ini sedikit pun.
Apa yang
disebut furu’ dalam hukum Islam,
itulah yang disebut FIQH. Fiqh
Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi merupakan contoh-contohnya.
Fiqh adalah produk tafsir manusia terhadap
syariat itu. Simpulan fiqh jelas
tidaklah pantas disejajarkan klaim kebenarannya dengan sumber syariatnya.
Mengklaim sebuah simpulan fiqh yang
jelas-jelas “hanya” hasil upaya manusia untuk memahami syariat (dalil-dalil
ayat dan hadits) sebagai benar mutlak, sehingga memicu diri untuk menyalahkan simpulan fiqh lain yang berbeda, jelas adalah sikap yang berlebihan dan memicu konflik.
Bahkan,
ijinkan saya untuk mengatakan di sini, bahwa sikap klaim benar mutlak terhadap
sebuah fiqh itu sama dengan “arogansi manusia untuk mengaku-aku telah dipasrahi oleh Gusti Allah tentang
Maksud dan Kebenaran-Nya yang Hakiki di masa kini” yang jelas-jelas kita
iman sekali bahwa tidak ada Rasul lagi sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw.
yang menempati posisi demikian. Sikap klaim mutlak benar atas fiqh-nya mengandung risiko bahwa ia terkesan
mengangkat “rasul-rasul” baru setelah Rasulullah. Dan jelas ini sebuah kabar
buruk terhadap akidah kita sendiri.
Maka
seyogyanya, di antara pemahaman peta ini, di antara ragam ikhtilaf yang sunnatullah
ini, yang memang sangat tak perlu dipaksa hilang ini, sangatlah penting bagi
kita semua untuk meletakkan diri yang manusia belaka ini secara proporsional:
“Iya, saya sih memilih ikut fiqh yang
itu saja, saya percaya fiqh yang itu
adalah yang terbaik buat saya, tapi saya juga harus mengerti bahwa fiqh saya hanyalah salah satu dari ragam
fiqh lain yang harus saya hormati
juga siapa pun yang mempercayai dan mengikutinya.”
See?
Jika keilmuan
begini melandasi jiwa kemusliman kita, saya yakin kita akan malu untuk mendapuk
diri sebagai “halal” dan yang lain “haram”, saya “yang benar”, kamu “yang
salah”, saya yang “sesuai syariat”, kamu “yang kufur”.
Inilah, Kawan,
spirit keislaman yang kian pudar dari jiwa kita sendiri yang mengaku muslim kaffah ini. Dan, kondisi ini dipantik
sepenuhnya oleh kemalasan kita untuk belajar, berilmu, berdiskusi, dan
menyaksikan realitas keragaman dunia sebagai anugerah indah dari Allah ini.
Wassalam.
Jogja, 5 Mei 2014
Tag :
Kajian Agama
0 Komentar untuk "SPIRIT YANG HILANG DARI KEISLAMAN KITA (TAK ADA YANG SALAH DENGAN PERBEDAAN PENDAPAT) (Catatan Spesial di Hari Spesial Ultah Istriku @MayDiva_12)"