Seorang lelaki menundukkan
kepalanya sambil menyerahkan buku tabungannya kepada mbak teller, “Saya mau
ambil uang, Mbak.”
“Iya,” sahut mbak teller itu
sambil mengernyitkan keningnya. “Kenapa orang ini nunduk aja mulu gitu ya?”
gumamnya dalam hati.
Sampai transaksi itu selesai,
lelaki itu sama sekali tak memandang sedikit pun kepada mbak teller itu. Iseng,
mbak teller itu kemudian bertanya:
“Maaf, Mas, kok dari tadi nunduk
aja, apa ada yang salah dengan wajah saya?”
“Nggak, Mbak, saya takut dosa,”
sahutnya.
“Dosa?” Mbak teller itu tergeragap.
“Iya, dalam
Islam, dilarang memandang lawan jenis yang bukan muhrimnya.” Lalu lelaki itu
mengutipkan sebuah hadist, “Dari Jarir bin Abdullah dikatakan, “Aku bertanya
kepada Rasulullah Saw. tentang memandang lawan jenis yang membangkitkan syahwat
tanpa disengaja. Lalu beliau berkata memerintahkan aku mengalihkan
(menundukkan) pandanganku.” (HR. Muslim).
Mbak teller itu pun tepok jidat. Pakai duit seribuan
sejumlah Rp. 10.000.000.
****
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka
janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut,
karena setan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad).
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita
kacuali jika bersama dengan mahram sang wanita tersebut.’ Lalu berdirilah
seseorang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku
telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu,’ maka
Rasulullah berkata, ‘Kembalilah! Berhajilah bersama istrimu.’” (HR. Bukhari Muslim)
Dari Abu Sa’id al-Hudzri, dari Rasulullah
Saw. beliau bersabda, “Sesunguhnya dunia itu rasa manis yang menggiurkan,
dan sesungguhnya Allah menjadikan kamu sebagai khalifah di dunia, karena itu
Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu. Maka takutlah kamu akan dunia dan
takutlah kamu akan wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang menimpa Bani
Isra’il adalah wanita.” (HR. Muslim).
Apa itu khalwat dan bagaimana cakupannya? Mari kita terlebih dahulu memahami definisi
dan cakupan (epistemologi) khalwat itu.
Saya kutipkan
beberapa tafsir ulama tentang maksud khalwat ini.
Ibnu Hajar berkata, “(Haram) bercampur/berkhalwat
dengan wanita hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan
tidak kelihatan). Dibolehkan khalwat jika mereka berdua kelihatan oleh
khalayak.”
Lebih lanjut, Ibnu
Hajar menjelaskan bahwa khalwat itu
menjadi dua hukumnya: ada khalwat yang dibolehkan dan ada khalwat
yang diharamkan.
Pertama, Khalwat yang diperbolehkan adalah khalwat yang
dilakukan untuk sebuah keperluan yang tidak bertentangan dengan syariat dengan
syarat tidak tertutup dari pandangan umum.
Pendapat Ibnu Hajar
ini disandarkan pada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan seorang
wanita di hadapan para sahabat, yaitu memojok dengan suara yang tidak didengar
oleh khalayak dan tidak tertutup dari pandangan mereka.
Hal ini dijelaskan
oleh Al-Muhallab, “Anas bin Malik (periwayat) tidak memaksudkan bahwa Rasulullah
Saw. berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh
orang-orang sekitar, namun Rasulullah Saw. berkhalwat dengan wanita
tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita
dan pembicaraan yang berlangsung antara Rasulullah Saw. dengan wanita tersebut
(karena sifatnya rahasia). Oleh karena itu, Anas mendengar akhir dari
pembicaraan Rasulullah Saw. dan wanita tersebut, lalu Anas pun menukilnya (meriwayatkannya)
dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Rasulullah Saw. dan
wanita itu karena ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari).
Kedua, Khalwat yang diharamkan adalah khalwat
(bercampurnya) lelaki dan wanita dengan tertutup dari pandangan manusia. Gampangnya,
segala jenis khalwat yang tidak sesuai dengan jenis khalwat
pertama itu tadi.
Dalam Al-Ahkam
As-Sulthaniyah, al-Qadhi berkata tentang sifat penegak amar ma’ruf nahi
munkar:
“Jika seseorang
melihat seorang lelaki yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang
dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari keduanya tanda-tanda yang
mencurigakan, maka janganlah ia menghardik mereka. Namun jika mereka berdua
berdiri di jalan yang sepi, maka ia hendaklah lelaki tersebut. Hendaknya ia
berkata kepada si lelaki jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah
(bukan muhrim), ‘Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita
ajnabiah yang bisa menjerumuskan.’”
Ibnu Hajar berkata, “Hadits
ini (yaitu hadits riwayat Anas di atas) menunjukan bolehnya berbincang-bincang
dengan seorang wanita ajnabiah (bukan muhrim), dan hal ini bukanlah celaan
terhadap kehormatan agama pelakunya jika (dengan catatan) ia aman dari fitnah.”
Jadi, sampai di sini
kini kita mengerti kan
batasan sebuah khalwat dibolehkan dan tidak, menurut pendapat tersebut.
Lebih lanjut, ada
pendapat dari Syaikh Shalih Abu Syaikh: “Khalwat yang diharamkan adalah jika
disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau yang semisalnya yang
tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan
demikianlah para ahli fiqh mendefinisikan khalwat.”
Atas dasar hal
tersebut, di sini bisa disimpulkan begini kan: “Berdasarkan definisi khalwat yang
diharamkan di atas, maka berdua-duaannya seorang wanita dan lelaki di emperan
jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang
mereka ya?”
Iya, benar (jika
mengikuti pendapat-pendapat tersebut). Khalwat yang demikian (tidak
tertutup dari pandangan umum) bukanlah khalwat yang diharamkan. Dan ini
tentu saja bisa diqiyaskan dengan jenis-jenis khalwat di sekolah,
kampus, kantor, restoran, dll., yang jelas-jelas amat sulit kita hindari dalam
aktivitas kehidupan masa kini.
Namun demikian,
penting bagi kita untuk selalu bersikap fair pada diri sendiri, bahwa
tujuan pokok dari ketatnya aturan khalwat (bahkan sebagian ulama sangat
tegas menyatakannya haram, termasuk di dalamnya sosok Felix itu) ialah karena khalwat
memang merupakan salah satu sarana yang membuka peluang terhadap perbuatan negatif.
Inilah inti
masalahnya buat kita semua, Kawan.
“Mampukah kita fair
pada diri sendiri bahwa khalwat kita terpelihara dari fitnah pandangan mata,
pendengaran atas suara yang mendayu, pakaian yang mungkin tidak tertutup dengan
baik, dan goda setan dalam keberduaan itu?”
Jika kau bisa fair
dan yakin mampu, tentu bukanlah masalah, sepanjang khalwatmu memenuhi
syarat terbuka di tempat umum itu tadi. Ada
dasar argumen yang jelas tentang itu, yang tentu bisa dijadikan landasan
sikapmu.
Ya, silakan kalian
renungkan saja sendiri-sendiri dengan kejujuran terdalam pada hati kalian
sendiri. Iya, pada hati masing-masing ya. Jangan tanya hati tetangga. J
Biar argumen ini
lebih mantap lagi, saya tambahkan nih beberapa pendapat pendukungnya:
Al-Munawi berkata, “(maksud) dari setan menjadi penengah (orang
ketiga) di antara keduanya (pria dan wanita) ialah dengan membisikkan mereka
(untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka bergejolak dan
menghilangkan rasa malu mereka, sampai akhirnya setan pun menyatukan mereka
berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada
perkara-perkara yang lebih ringan dari zina, yaitu perkara-perkara pembukaan
dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinahan.” (Faidhul Qodir).
Asy-Syaukani berkata, “Sebabnya (pelarangannya) adalah lelaki senang
kepada wanita, serta dimilikinya syahwat, demikian juga wanita senang kepada
lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya.
Oleh karena itu, setan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu
kepada yang lainnya sehingga terjadilah kemaksiatan.” (Nailul).
Jadi, sekali lagi, maqashidus syar’i tentang khalwat itu terletak pada “menjaga
napsu” itu sendiri. Bukan bersalamannya, berkumpulnya, bertemunya, atau pun
berbincangnya.
Saya sungguh merasa sangat
penting benar untuk menunjukkan di sini bahwa bentuk khalwat dan kaitannya dengan efek
terpicunya napsu syahwat antar orang dan budaya itu berbeda-beda. Kita tak bisa
menutup mata terhadap kenyataan ini.
Ada orang yang sejak kecil hidup
dalam lingkungan yang berbaur antara laki dan wanita, maka tentu saja ia akan
memiliki sense of
belonging yang
berbeda saat bertemu dan berbincang dengan lawan jenisnya dibanding orang yang
terbiasa tidak bercampur dengan lawan jenisnya.
Ada orang yang tak terpantik geliat
napsu apa pun pada dirinya sekalipun ia bersalaman, berkumpul, atau berbincang
dengan lawan jenisnya. Sebaliknya, ada orang yang sekadar melirik atau menatap
saja sudah terseret khayal napsu yang ke mana-mana.
Ini kenyataan, Kawan.
Tentu kondisi yang berbeda antar
mereka itu layak untuk mendapatkan perbedaan penghukuman pula. Ini tidak
berarti saya bersetuju dengan niat buruk untuk menguntir-untir hukum sesuka
hati lho ya. Tidak. Tetapi inilah yang dimaksud dengan ‘illatul hukmi (sebab terjadinya sebuah hukum)
dalam kaidah Ilmu Ushul Fiqh. Dalam fiqh
yang sifatnya bukan urusan tauhid dan ‘ubudiyyah begitu, dinamika hukum berdasar ‘illatul hukmi begitu menjadi keniscayaan tak
terhindarkan.
“Saya kalau salaman sama
lawan jenis itu, kok rasanya jadi kebayang-kebayang sampai lama banget gitu ya,
sampai otak ngeres.”
Catat: Yang merasa begini,
hindarilah salaman dengan lawan jenis, sebab itu sudah jatuh pada posisi
berbahaya bagi napsunya.
“Saya mah biasa aja.
Salaman nggak masalah, nggak ada tuh kok lalu otak jadi ngeres. Ini jujur lho,
demi Allah....”
Catat: Yang merasa begini,
salaman dengan lawan jenis bukanlah masalah, sebab ia tak terinfeksi oleh
geliat napsunya.
Di kalangan ulama kontemporer, terdapat cukup banyak fatwa yang bicara tentang
hukum ini.
Ada fatwa hukum dari Prof. Dr. Syaikh Ali Juma’ah dalam bukunya Fatawa
an-Nisa, lalu Prof. Dr. Yusuf Qordhawi dalam fatwa online-nya, dan fatwa-fatwa
ulama Kuwait yang dibukukan dalam Fatawa Quttha’ al-Ifta’ bi Kuwait. Mereka semua berpandangan bahwa dalam
hukum mushafahah (berjabat tangan) ini terkandung causa hukum (‘illatul
hukmi) yang menjadi penyebab kebolehan atau keharamannya.
Menurut pandangan mereka, hukum berjabat tangan dengan lawan jenis non
muhrim adalah boleh dengan dua syarat. Satu, tidak ada unsur
syahwat yang mendorong mereka untuk berjabat tangan, sehingga tidak akan menimbulkan
kenikmatan (taladzudz) syahwat
atau hawa napsu. Dua, tidak menimbulkan fitnah sebab jabat
tangan itu yang hanya akan memicu keburukan-keburukan lainnya.
Jelas, kan?
Lagi-lagi, kondisi hukumnya kembali kepada fairness di dalam
hatimu lho. Jika memandang, salaman, berkumpul, atau berbincang (khalwat)
itu menyebabkanmu goncang hawa napsunya, maka jauhilah. Tetapi jika tidak, kau
boleh melakukannya.
Kawan, tentu kalian ingat ya
pepatah bijak, “Sedia payung sebelum hujan”?
Ya, ya, benar, bersikaplah
antisipatif. Jaga-jaga diri aja biar lebih aman dan lebih selamat saat kau
berada dalam kondisi yang tak mungkin menghindar dari aktivitas memandang,
bersalaman, berbincang, dan berkumpul dengan lawan jenismu alias berkhalwat.
Apa aja itu?
1.
Memelihara
mata agar tidak melihat aurat lawan jenisnya. Melihat saja dilarang, tentu
lebih dilarang lagi meraba atau yang lebih jauh ya.
2.
Untuk
menjaga kekuatan jiwa, seringlah melakukan puasa-puasa sunat (juga
ibadah-ibadah lainnya), kerena semua amalan itu akan menghadirkan dzikrullah
selalu di dalam hatimu. Ia akan menjadi perisai bagimu.
Dalam al-Qur’an, terdapat
beberapa ayat yang menuntun tentang “cara antisipasi” itu lho. Di antaranya:
- Saling menjaga pandangan mata antara laki dan wanita, seperti tidak boleh memandang aurat, memandang dengan napsu, memandang dengan maksud yang melebihi keperluan dan kepantasannya sebagai lawan jenis. (QS. An-Nuur [24]: 31).
- Wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat. (QS. An-Nuur [24]: 31). Ada pula sebuah hadist: Rasulullah Saw. bersabda: “Ada dua kelompok manusia yang aku belum pernah melihatnya: kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang dengan itu mereka memukuli manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang yang berjalan miring dan di atas kepalanya ada semacam punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak dapat mencium bau surga padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak satu malam perjalanan.” (HR. Muslim).
- Saat berbincang dengan lawan jenis, jauhilah perkataan-perkataan yang mengarah pada godaan hawa napsu. (QS. Al-Ahzab [33]: 32).
- Saat berjalan atau bepergian, hendaknya sesuai dengan semangat menjaga diri dari memancing hawa napsu. (QS. An-Nuur [24]: 31) dan (QS. Al-Qishas [28]: 25).
Umumnya, saudara-saudara kita yang memilih memfatwa
haram mutlak terhadap kegiatan memandang, bersalaman, berbincang, atau
berkumpul dengan lawan jenis (khalwat)
itu, seperti dituliskan Felix, berpegang pada dalil-dalil ini:
“Pandangan
itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang
memalingkan (menundukan) pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas
karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai
pada hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad).
Dari Jarir bin Abdullah dikatakan,
“Aku bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang memandang lawan jenis yang
membangkitkan syahwat tanpa disengaja. Lalu beliau berkata memerintahkan aku
mengalihkan (menundukkan) pandanganku.” (HR. Muslim).
Ya, ya, mereka memilih kehati-hatian tingkat tinggi,
dan itu jelas sah saja. Tidak ada yang salah dengan posisi demikian,
sebagaimana yang dituturkan Felix, dengan berdasar pula pada ayat tentang “dilarang
mendekati zina”. “Ya, mendekati saja nggak boleh tuh, apalagi
melakukannya,” kata Felix.
Namun di sisi lain, juga terdapat banyak ulama
terkemuka yang membolehkannya dengan syarat tertentu, yang notabene memiliki tujuan pokok sama, yakni jaminan terpeliharanya
hawa napsu (dan ini memang maqashidus syar’i-nya).
Kata “menundukkan pandangan” dalam hadits tersebut
adalah idiom/diksi simbolis syahwat. Era budaya keluarnya hadits tersebut terukur
melalui pandangan mata sebagai awal masuknya interaksi yang bersyahwat itu.
Tapi kini, di era gadget
gini?
Maka pahamilah apa yang disebut sebagai diksi simbolis
begitu (atau keyword dalil dalam
istilah Fazlur Rahman). Ukuran pokoknya ialah tergeraknya syahwat. Maka jika
ada orang yang bersalaman dengan orang lain tidak terseret syahwat (sebutlah
lantaran ia punya habit begitu sejak lama), maka memandang sungguh bukanlah
masalah baginya. Sebaliknya, jika kau sekadar mendengar suara lawan jenismu
saja sudah aummm, maka memandang
jelas menjadi ancaman yang lebih tinggi lagi posisinya.
Atau dalam contoh lain berkaitan dengan gadget. Jika kau BBM-an dengan lawan
jenis, lalu satu tanganmu masuk ke dalam sarungmu, maka sungguh itu BBM menjadi
haram buatmu.
#IfYouKnowWhatIMean J
“Itu gimana tuh, Om, ucapan Akhi Felix
kan bener tuh, ayatnya jelas bahwa dilarang mendekati zina. Mendekati saja
nggak boleh, kan?
Apalagi…. Nah, salaman itu juga bagian
dari mendekati kan, Om? Jadi gimana tuh
jelasnya coba….”
Sekali lagi, pandangan Felix itu sama sekali tak
salah. Ayat itu adalah ayat antisipatif. Dan itu yang dipegang oleh Felix.
Sedia payung sebelum hujan. Jika saya bahasakan dengan analogi lain, maka bisa
begini, “Tidurnya jangan malam-malam banget ya agar besok nggak kebablasan
shalat Subuhnya.”
Ini logis sekali. Ada risiko jika kau tidurnya kemalaman, maka
kau bisa kesiangan. Tapi, catat pula di sini, bahwa hal ini tidak berarti lalu
berlaku secara gebyah-uyah untuk semua orang. Tidak, kan. Bahwa ada, dan jumlahnya juga tak
sedikit, orang yang karena telah punya habit (kebiasaan) tidur malam dan bangun
pagi, maka ia tetap bisa shalat Subuh dengan tepat waktu sekalipun tidurnya
setelah nonton bola.
Orang yang ingin bisa bangun malam untuk tahajjud,
lalu menyalakan alarm, itu sikap antisipatif yang baik. Tapi buat sebagian orang
yang telah memiliki habit untuk bangun tengah malam, ia tak membutuhkan alarm
itu. Ia bisa bangun begitu saja sesuai kebiasaannya.
Oh, plis, jangan diartikan bahwa saya mengatakan ayat
tentang “janganlah mendekati zina”
itu nggak penting ya. Tidak, jangan suka menyimpulkan statemen secara reduktif
gitu ya. J
Maka saya kira bersikap antispatif ala Felix itu
bagus, namun juga jangan tutup mata ya terhadap keberadaan orang-orang lain
yang bisa menggaransi dirinya kuasa menjaga diri dari goda syahwat, sekalipun
bergaul dengan lawan jenis. Misal karena faktor budaya, sekolah/kuliah, kerja,
hubungan social, maupun berta’aruf itu sendiri. Maqashidus syar’i-nya tidak terletak pada “jangan berinteraksi”,
apalagi di dunia kita yang cukup musykil untuk tidak berinteraksi, tapi ada
pada “menjaga dirimu dari goda syahwat”. Nah, peta inilah yang harus
dipahami dengan sungguh-sungguh, agar penyimpulan kita menjadi utuh dan fair
pula.
Jika di sini kalian kok merasa bingung mau mengikuti
yang mana, ketahuilah bahwa dalam hukum Islam itu terdapat kelompok hukum yang
sifatnya ijtima’ atau ittifaq
(disepakati seluruh ulama) dan ada kelompok hukum yang sifatnya ikhtilaf,
yakni para ulama berbeda pendapat tentangnya. Yang ijtima’ biasanya berkaitan dengan pokok-pokok sebuah syari’at (ushul), dan yang ikhtilaf biasanya berkaitan dengan cabang-cabang yang sifatnya
terapan/praktis/aplikatif (furu’)
atau kisi-kisi dari sebuah syariat.
Misal, dalam hukum memandang, berbincang, dan
berkumpul dengan lawan jenis di tempat terbuka (khalwat) itu, para ulama
bersepakat penuh bahwa tujuan syari’atnya ialah untuk menjaga kita dari goda
hawa napsu. Haram hukumnya menggelorakan hawa napsu dengan kegiatan khalwat
itu. Ini ijtima’-nya.
Namun, secara hukum praktisnya, para ulama berbeda
pendapat tentang jenis khalwat yang berhasil diperlihara dari goda hawa
napsu (dan kondisi ini memang nyata lho, benar-benar ada dalam kehidupan
keseharian kita).
Ada yang keukeuh
mengharamkan dalam segala bentuknya tanpa kecuali atas dasar kehati-hatian
purna memelihara potensi goda syahwat itu, tapi ada pula yang menghalalkan
dengan syarat harus sesuai dengan tujuan pokok syari’atnya, tidak jatuh ke
dalam goda hawa napsu. Inilah sisi ikhtilaf-nya.
Lalu yang mana yang benar?
Stop bertanya seperti itu. Setiap ulama niscaya
memiliki landasan masing-masing yang sangat bertanggung-jawab saat menggali dan
menafsirkan dalil-dalil apa pun, sebagaimana dituturkan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, termasuk tentang khalwat itu. Dalilnya
sama, kesimpulannya beda, dan sungguh ini adalah hal yang alamiah belaka.
Lahirnya beragam mazhab fiqh yang kita kenal sekarang pun berpangkal dari
kenyataan tersebut lho. Jadi tidaklah perlu ikhtilaf apa pun dijadikan
api permusuhan, apalagi kafir-mengkafirkan (takfir).
Kawan, tulisan ini hanyalah sebagian
kecil dari buku saya yang membangun analisa detail dalam membaca dalil-dalil
dan paham-paham ulama salafus shalih
tentang hubungan laki-wanita, ta’aruf,
khalwat, pernikahan, dan fenomena pacaran. Insya Allah terbit pertengahan Juni dengan judul: “PUTUSIN NGGAK YA....?”: PACARAN ITU
SEBAGIAN BENTUKNYA HARAM, SEBAGIAN BENTUK LAINNYA HALAL (TEALAAH HUKUM PACARAN DI MASA KINI).
Semoga bermanfaat dan membawa kecerahan
ilmu pengetahuan Islam buat kita semua. Amin.
Jogja,
2 April 2014
Tag :
Kajian Agama
8 Komentar untuk "BERKENALAN LEBIH UTUH DENGAN SI KHALWAT (HARAM ATAU HALAL SIH? LALU GIMANA TENTANG PACARAN?)"
aamiin.... titi mangsanya hari lahir ade tuh :D *gaje
Perbedaan adalah rahmat :')
Referensinya kaya banget. Detail. Jadi pengen baca buku aslinya, Guys.
Maaf, Pak. Agakny perlu memperjelas kutipan dengan cat. kaki ^_^
setujaaaaa :)
just wait :)
di versi bukunya, catatan kaki sudah saya sediakan. di sini memang tak saya masukkan karena ini aja sudah terlalu panjang untuk dibaca di monitor. suwun :)
Firman Tuhan mengatakan “Jangan berzinah”. Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.
Pak, kalo ciuman tapi ga ada nafsu boleh gak?