Personal Blog

JAMAS BON (PenJAga MASjid dan KeBON)



Prolog
Kenalkan Si Tokoh Dulu Ya…

Nama saya @edi_akhiles, sedang nggak kunjung rampung bikin disertasi doktoralnya karena keidihan nulis hermeneutika. Apa itu? Ah, sudahlah, lupain. Tepatnya, demenan nulis fiksi daripada disertasi. L
Saya ingin mengenalkan tokoh utama rekaan saya dulu, meski nggak sepenuhnya rekaan sih karena wujudnya ada, kisahnya juga ada. Namanya Bush. Keren ya? No! Don’t judge a man by its cover. Ya kayak si Bush ini. Namanya kedengaran keamerikaan gitu, nyerempet-nyerempet George Bush. Tapi saya pastiin bahwa ia asli Madura hakiki. Madura Negeri. Alias: bapak dan ibunya asli Madura dan tinggal di pulau Madura. Sebagian orang kan Madura Swasta, bapak dan ibunya asli Madura tapi tinggal di luar pulau Madura, atau, bapak atau ibunya bukan asli Madura dan tinggal di pulau Madura.
Bingung?
Simpel kok, Bush ini darah, daging, dan tulangnya 100% Madura. Rumahnya juga di sana. Aslinya, Ahmad Buzhairi Ali. You know-lah, orang Madura tulen yang bagian desa gitu berasa tidak sah hidupnya kalau namanya nggak ada taste Arabnya. Ya kayak si Bush ini.
Baik. Saya akan ceritakan pada kalian tentang perjalanan hidupnya menuntut ilmu, jadi mahasiswa duta kampungnya yang masih amat langka jumlahnya. Mahasiswa di Jogja yang hidup sebagai Jamas Bon (Penjaga Masjid dan Kebon). Bukan aktor film. Bukan.
Kelak nggak usah bingung jika kisah ini ada kesan fiksi dan non fiksinya. Campur-aduk.


1
“Dengar dari Mana ada Jogja di Dunia Ini?”

Pukul 08.00 WIB. Jalanan di sekitaran tikungan Janti (Jogja), di bawah fly over, sudah sangat ramai saat bus Sumber Kencono yang disopiri lelaki berkumis hutan yang mulutnya tak pernah kosong dari rokok itu mengerem agak cericit. Para ojek dan sopir taksi berkerumun di pintu bus, depan dan belakang. Berharap ada rezeki yang dibawa penumpang bus yang kondang cepat bertaruh nyawa itu.
“Mas, Jogja…!”
Cukup sekali saja teriakan kenek bus, yang terdengar bentakan sih, untuk membuat tampang kucel Bush terlonjak.
“Tidur aja sih…!”
“Sudah bangun…” sahut Bush mengucek mata. “Ini bener Jogja?”
“Laahhhh, malah tanya, ayo cepet…!”
Dengan roh yang belum komplit menyatu dalam raganya, Bush bangkit dan memberesi tas ransel tuanya. Memasangkan ke pundaknya. Lalu menarik kardus di bawah kursi yang didudukinya. Dan tak lupa satu tas tanggung yang diletakkan di bagasi di atas kepalanya.
Punggungnya menggendong ransel. Tangan kanannya menenteng kardus. Tangan kirinya menenteng tas tanggung berisi baju.
“Mas, di bagasi bawah ada 2 kardus saya lagi…” kata Bush sambil beranjak menuruni pintu bus.
Kenek itu mendengus. Kesal banget tampangnya. Mungkin baru kali ini ia melihat penumpang, sendirian, bawa 5 tentengan: 1 ransel, 1 tas baju tanggung, 3 dus!
Sambil membuka bagasi di samping body bus, lalu menarik 2 kardus besar milik Bush, kenek itu ngoceh. “Gocap, Mas…”
Bush menyorongkan mulutnya ke dekat wajah kenek yang berkeringat itu. Dia nggak paham maksud gocap, tapi ia menduga itu adalah kecap. “Mas, bukan nggak mau ngasih, tapi kecap saya ada di dalam dus ini. Harus bongkar dulu, gimana?”
Bau naga! rutuk kenek itu dalam hati. “Yowes, ceban aja…”
Lagi-lagi Bush tak paham maksud ceban, tapi kali ini ia menduga itu ban. “Benar, Mas, bukan saya pelit. Tapi kalau Mas mau minta ban, juga ada di dalam kardus satu ini, lagian masak bus mau pakai ban sepeda….” Bush menunjuk kardus besar bertuliskan Gudang Garam.
“Goceng…!”
Lagi-lagi Bush nggak paham dan menyimpulkan goceng itu adalah panceng (bahasa Madura untuk pancing). “Iya, panceng saya juga di dalam dus ini….”
“Budek!” sergah kenek itu, sambil melambaikan tangan, memberi kode pada sopir untuk jalan. Sambil bergelantungan di pintu bus, kenek itu menatap Bush dengan mata melotot.
“Wooii, minggirrr…!!!”
Suara pekikan dari mulut seorang pengendara motor membuat Bush tersentak. Ia melangkah mundur dari jalan ramai itu. Kakinya gemetar. Tak lupa dikempitnya satu dus di ketiak kanan dan satu dus lagi di ketiak kiri. Jadilah ia menggendong ransel, menenteng tas tanggung berisi baju, dus di tangan lainnya, dan dus lagi di ketek kirinya dan dus lagi di ketek kanannya.
Badannya berkeringat, gemetaran. Sepagi ini, sudah dua kali dia diomelin orang. Kenek dan pengendara motor itu.
“Jogja keras sekali.…” batinnya.
Matanya menoleh kesana-kemari. Lalu lalang mobil dan motor, plus derum knalpot yang berisik, juga jejeran becak, taksi, dan motor ojek di sekelilingnya kian membuatnya gentar. Kakinya gemetar. Tangannya gemetar. Dadanya deg-degan.
Ia teringat kampung halamannya, Banuaju, yang terletak di pojok timur pulau Madura, yang tak ada dip eta berskala berapa pun. Sunyi. Damai, banyak batang kelapa, sungai kecil yang suka kering jika kemarau. Hanya sedikit motor melintas, lebih banyak sepeda ontel. Ingin rasanya ia pulang saja, menjauhi kerasnya kota besar ini yang membuatnya ketakutan.
Tapi ia ingat nasihat bapaknya, K. Ali. “Kuliahmu harus selesai ya. Kamu harus jadi contoh bagi pemuda kampung ini untuk menuntut ilmu sampai ke negeri China.”
“Jogja, Pak,” sahut Iyut, sepupu Bush, yang duduk di sebelah Bush, di hadapan K. Ali, sambil mengunyah singkong hasil panen di kebon tetangga tadi siang sehabis mincing sama Bush.
“Itu hadits, Yut,” sergah K. Ali.
“Iya, tapi kan Kak Bush kuliahnya ke Jogja, bukan China. Jangankan ke China, ke Jogja aja belum pernah, dengar di dunia ini ada yang bernama Jogja aja baru bulan lalu….”
Ngoooahaaaa…
Ya, betul, Bush beneran baru mendengar nama Jogja ya bulan lalu, dari anak tetangga kecamatan, Marwini, yang katanya sudah kuliah 3 tahun di UIN Jogja. Sebelumnya, ia hanya tahu kota Sumenep, yang itu pun belum tentu sebulan sekai ditandanginya. Ia juga pernah mendengar kota Surabaya. Kota satu ini pun ia tak pernah menginjakkan kakinya di sana, kecuali semalam, saat berpindah bus di terminal Bungurasih dari bus AKAZ yang membawanya dari Madura menuju bus Sumber Kencono yang membawanya ke Jogja pagi ini.
“Mas, dari tadi ditanya mau kemana kok nggak nyahut to?”
Bush menoleh. Kaget. Dilihatnya tukang ojek bertato tulang ikan pindang di lengannya tengah berdiri menatapnya.
“Mas tanya apa?”
“Pak…!”
“Eh, ya, Pak, Pak Preman…”
“Hah?! Pak Preman?” Matanya mencorong tajam.
“Anu, Pak, ini, kalau di kampung saya, orang bertato itu disebut preman. Itu Bapak ada tatonya, tato tulang ikan pindang.…” Bush belingsatan.
“Saya sudah insaf. Mau kemana?”
Bush menoleh kesana-kemari lagi, mencari sesosok malaikat yang akan segera mengentaskannya dari kegentaran di sudut kota Jogja ini.
“Saya tanya, kamu mau kemana?!”
Haduh, premannya kambuh, gumam Bush. “Anu, seharusnya saya dijemput…”
“Saya tidak tanya kamu dijemput tidak, tapi kamu mau kemana?!”
“Al-Huda…”
“Apa itu?” Lelaki preman insaf itu menyipitkan matanya, mengerutkan keningnya, seakan berusaha mengenali kata Al-Huda itu.
“Masjid, Pak….”
“Masjid kan banyak, itu di mana masjid al-Huda?”
“Gedong Kuning….”
“Ya sudah, saya antar. Yang jemput kamu nggak datang. Ini barangmu ya?” Tanpa menunggu jawaban Bush, lelaki itu langsung mengangkut barang-barang Bush ke dua motor yang jejer di sebelah utara Indomart. Dua lelaki berhelm telah bersiap di atas motornya.
Bush bengong. Ternyata preman ini baik sekali ya, pikirnya. Di antara bentakan kenek dan pengendara motor tadi, ada orang baik hati begini di kota Jogja ini.
Bush langsung naik ke motor berwarna merah itu. “Bapak tahu kan sama Kak Syaikho?”
“Siapa itu?”
“Lho, dia itu yang jadi takmir masjid al-Huda Gedong Kuning.”
“Kalau masjid al-Huda Gedong Kuning ya saya tahu, tapi kalau Kak Syaikho-mu itu saya nggak kenal. Udah? Berangkat…”
Dua motor itu meliut-liut di antara keramaian kota Jogja, membelah ke selatan, lewat jalur lambat di ring road, sampai ke lampu merah Blok O, lalu membelok ke arah kanan, melintasi JEC, terus membelok kiri sampai ketemu lampu merah Gedong Kuning. Hanya butuh 10 menit mereka sudah sampai di depan masjid al-Huda itu.
Bush langsung masuk ke dalam masjid, dan berteriak-teriak, “Kak Syaikhoooo…. Kak Syaikhoooo….”
Tukang ojek berhelm merah itu geleng-geleng kepala melihat tingkah Bush. Lalu menyusul ke dalam masjid.
“Mas, ongkosnya dulu…”
Bush kaget! “Bayar ya, bukannya Bapak yang tadi ingin mengantar saya?”
“Lha, iya, bayar….”
“Bukan ngantar cuma-cuma ya kayak di kampung saya?”
Ia mendengus, menggeleng. “Lima puluh ribu dua, jadi seratus ribu ongkosnya.”
“Apaaaa?!!!”
“Lhooo, kok membentak saya?!”
“Eh, bukan, saya kaget saja.” Bush belingsatan. Sambil merogoh dompet yang disembunyikan di balik celana dalamnya, sesuai pesan bapaknya untuk keamanan dompet selama di perjalanan, yang membuat tukang ojek itu mengedikkan mata jijik, Bush berkata, “Pak, saya naik bus dari Surabaya cuma bayar 60.000. 7 Jam. Ini cuma sepuluh menit kok jadi 100.000, Pak?”
“Ngoaaahaaaaa…” tukang ojek itu terbahak sampai helmnya berguncang-guncang. “Mas, Mas, kok disamain dengan bus. Kamu belum pernah bepergian jauh ya?”
“Iya.”
“Baru kali ini?”
“Iya.”
“Tahu dari mana kalau di dunia ini ada yang namanya Jogja?” pundaknya berlonjakan dihunjam tawa menggelegar.
“Dari Marwini.”
“Siapa lagi itu?”
“Tetangga dari kecamatan sebelah. Katanya dia pintar kuliahnya.”
“Dari mana kamu?”
“Madura.”
Sontak tukang ojek itu menghentikan guncangan pundaknya. “Ya sudah, lima puluih ribu saja berdua, kan sudah lebih murah dari ongkos bus itu kan?”
Dengan berat, Bush menyerahkan uang itu. Kedua tukang ojek itu buru-buru pergi setelah membanting dua kardus Bush ke beranda masjid itu.
Bush menghitung uangnya di dompet. Tersisa dua lembar lagi, lima puluh ribuan. Ia lalu berteriak lagi memanggil-manggil Kak Syaikho.
“Kak Syaikhoooo…. Kak Syaikhoooo….”
Tak ada sahutan.
“Kak Syaikhoooo…. Kak Syaikhoooo…. Kak Syaikhoooo….”
Pada teriakannya yang ketiga, seseorang keluar dari balik pintu di sisi utara masjid itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Bush…!”
Bush menoleh. Matanya bersinar terang. Itu Kak Syaikho. Ia langsung menghambur memeluknya. Kuat-kuat. Ada airmata berlinang segala. Seolah menemukan tambatan hati saat ia menjatuhkan kepalanya ke dada Kak Syaikho.
“Jangan teriak-teriak, malu…” kata Kak Syaikho.
“Aku takut, Kak, Jogja keras ternyata, nggak kayak di Banuaju…”
Kak Syaikho tersenyum, lalu membantu Bush mengambil barang-barangnya dan memasukkan ke dalam kamar kecil di sisi utara masjid itu. Sebuah kamar untuk anak-anak penghuni masjid itu. Tampak seorang anak muda mendengkur di dekat lemari pendek di kamar itu. Ngorok. Bersarung. Tak pakai celana dalam. Tersingkap ke atas.
Kak Syaikho menyepak kaki anak muda yang tidur dengan memamerkan isi di balik sarungnya itu. Ia tergeragap, bangun. Menatap Bush dengan mata dalam. Tak bersuara. Tak menyapa apa pun pada Bush. Seolah berpikir, musibah apa lagi ini yang datang?

2
Jamas Bon (Penjaga Masjid dan Kebon)

Resmi sudah Bush menjadi salah satu penghuni masjid al-Huda itu. Sejak hari kedua, sejak dibai’at, Bush pun resmi menjadi bagian dari kelompok Jamas Bon. Penjaga Masjid dan Kebon.
To be continued….
4 Komentar untuk "JAMAS BON (PenJAga MASjid dan KeBON)"

Jamas Bon To be continued….tapi bukan bahasa Madura ? Semoga Real Masjid yang makmur.

sukses saya ngakak XD apalagi ini: "yang tak ada di peta berskala berapa pun." jadi ngebayangin itu tempat mungkin mirip swimpack nyelip XD ya Allah

lanjut, Pak Bos~

Sebutan yang keren. Jamas Bon ^_^

Saya tertarik membaca karena ada nama-nama yang akrab di telinga: Sumber Kencono dan Marwini :-)

Back To Top