“Mari, Kaka, dipesen hijab syar’ie-nya biar
semakin shalihah….”
“Tutuplah auratmu dengan baik saat berenang.
Pakailah baju renang yang syar’ie….”
“Biar kian sempurna shalatmu, ibadahmu, kemuslimanmu,
pilihlah loundry yang syar’ie….”
“Mau nabung atau bisnis, pakailah pinjaman
Islami bersama BMT kami biar berkah….”
“Wedding organizer kami beda sama yang
lain, sebab kami berdasarkan asas-asas syari’ah pernikahan. Siap menghantarmu
menuju sakinah, mawaddah, wa rahmah….”
“Bersama travel kami, mabrur mubarak….”
****
Itulah contoh-contoh sempurna komodifikasi
agama. Istilah akademik ini merupakan bagian dari studi Islam and Global
Issues, yang bertolak dari kenyataan-kenyataan di masayarakat tentang
relasi Islam dan kapitalisme.
Well, biar mudah, mari pahami komodifikasi agama
ini dengan cara begini saja: “Kegiatan bisnis, jualan, kapitalistik yang
menjadikan label-label agama sebagai strateginya biar larissssss….”
Ya, jualan, bisnis, jangan salah ya. Ruhnya
adalah kegiatan kepitalisme, bukan agama itu sendiri. Agama hanyalah kendaraan
politis untuk mensugesti orang-orang yang gampangan diseret oleh bumbu-bumbu
Islami. Ya, tentu, hanya orang-orang yang sesungguhnya (sorry to say)
kurang tahu Islam dengan baik dan dalamlah yang akan menjadi mangsa empuknya.
Umat Islam yang kritis pastilah takkan mudah disantap oleh komodifikasi ini.
“Om, bukankah kegiatan berbisnis itu memang
harusnya berlandaskan agama Islam pula bagi umat Islam?”
Dalam al-Qur’an, kegiatan berdagang/berbisnis harus
dijalankan di atas satu prinsip dasar: ‘an taradhin (saling ridha,
ikhlas, tulus, jujur). Bahwa bisnis adalah kegiatan kapitalistik, mencari
keuntungan, demikian pulalah dalam Islam. Tetapi, dalam Islam, kegiatan
kapitalistik itu “dirambui” dengan prinsip ‘an taradhin tersebut. (Jika kau baca
Max Weber tentang Etika Protestan, begitu jugalah kelompok agama tersebut
membedakan dirinya secara ajaran dengan kapitalisme liberal).
Maka, berdasar prinsip ‘an taradhin ini,
segala jenis bisnis yang di dalamnya mengingkari ketulusan, kejujuran, dan
kesesuaian (antara janji spek barang dan faktanya), otomatis tidaklah Islami.
Saya begitu sering tersedak menelan ludah pahit
saat menyaksikan jamaah umrah yang notabene mayoritas wong ndeso
itu digeletakkan bak bambungan sejak pukul delapan pagi di
selasar-selasar bandara Soetta, lalu di telinga mereka dihembuskan musik merdu komodifikasi
agama. “Demi mabrur, ibadah umrah ini harus dihadapi dengan kesabaran, maka
sabarlah ya menunggu flight pukul lima sore nanti.”
Shittt!
Saya memaki dalam hati. Ini kurang ajar sekali!
Sungguh tak ada hubungannya antara kemabruran umrah seseorang dengan
berantakannya fasilitas kenyamanan yang seharusnya diberikan oleh para penyedia
jasa travel umrah sesuai speknya. Mabrur adalah satu hal, fasilitas travel
adalah hal lainnya. Menyerbukan “mabrur” demi meredam amarah para jamaah yang
tentunya berbanding lurus dengan tanggukan untung selangit bagi para pebisnis
travel itu jelas adalah aksi komodifikasi. Tidak ada prinsip ‘an taradhin dalam proses bisnis tersebut.
Saya pernah juga menjumpai banner yang
dibentangkan oleh sebuah travel di kantornya dengan propaganda komodifikasi
begini: “Bersama kami, mabrur menanti…”
Kurang ajar banget ini! pekik saya dalam hati. Sungguh
nggak ada hubungannya antara capaian mabrur dengan ikut travel umrah manapun. Kemabruran
seseorang sepenuhnya tertandai dari dua hal saja: “afsyus salam wa ith’amuth
tha’am”. Udah, itu aja.
Travel tugasnya hanyalah jualan seat
perjalanan, fasilitas, stop sampai di situ. Saat travel mencaplok nilai sakral
pelaku umrah/haji, yakni mabrur, ke dalam aksi bisnisnya, jelas itu adalah
komodifikasi. Dan, bukankah sungguh kurang ajar sekali jika ada manusia yang lancang
mengkapling kemabruran umrah/haji atas nama jasa travelnya?
Lihat pula bagaimana belakangan ini trend
propaganda “syar’ie” diserbukan sedemikian dahsyatnya oleh para pebisnis yang
melek benar tentang pengaruh sakralitas simbol agama terhadap minat masyarakat.
Hijab syar’ie, misal. Hijab jelas Islami dalam
prinsip menutup aurat. Tetapi penyertaan stempel syar’ie di belakang hijab itu,
yang menunjuk pada sebuah desain dan pola hijab tertentu, apalagi identitas dan
merek tertentu, agar masyarakat membelinya, jelas adalah kegiatan komodifikasi.
Kegiatan bisnis murni yang menunggangi agama sebagai “alat jualnya”.
“Mari, Ukhti, pakai hijab syar’ie-nya agar
semakin shalihah dan jadi wanita yang dirindui surga….”
Shalihah mbahmu!
Surga mbahmu!
Syar’ie mbahmu!
Huuhh, betapa jengkelnya saya menyaksikan ketegaan
komodifikasi yang membodohi masyarakat muslim sejenis ini.
Perkara kau mau pakai hijab yang sepanjang
lutut, silakan. Perkara kau mengikuti pandangan bahwa hijab yang benar ialah
yang gibar-giber dihembusin angin, ya silakan. Tetapi, plis deh, sangat kurang
ajar lho untuk mengait-ngaitkan pilihan model dan pola hijab itu dengan capaian
keshalihahan dan kerinduan surga itu.
Nenek, ibu, bulik, budhe saya yang
muslimah-muslimah itu kagak kenal apa itu hijab syar’ie, dan mereka ke
mana-mana ya berjilbab saja, dengan prinsip yang mereka yakini sebagai penutup
aurat. Tanpa perlu dikaitkan dengan syar’ie yang manapun, mereka berada dalam
posisi yang sama dengan muslimah manapun yang memilih untuk berhijab, termasuk
yang berhijab syar’ie itu.
Apakah sebab mereka tidak pakai hijab yang kau
sebut syar’ie itu lantas berkurang keshalihahan dan potensi mereka untuk
dirindui surga? Zero warranty! Tidak ada kepastian apa pun secara naqli
dan aqli tentang shalihah dan surga itu dalam kaitannya dengan bagaimana
pola dan model, apalagi merek, hijabmu. Stempel syar’ie di situ jelas hanyalah
sebuah komodifikasi. Mungkin, suatu hari, akan lahir lagi komodifikasi yang
lain, misal hijab firdaus, hijab ahlul jannah, atau hijab binti jahal. Pissss….
Saya juga menyaksikan sendiri seorang kawan sampai
harus kehilangan rumahnya gara-gara meminjam uang untuk modal usaha pada sebuah
BMT (Baitul Mal wat Tamwil). Apes, bisnis yang dirintisnya gagal. Bunganya
meledak-ledak. Tidak ada kebijakan lunak apa pun terhadap kawan tersebut, dan
rumahnya benar-benar disita tanpa ampun oleh pihak BMT. Jika benar BMT
menerapkan prinsip Islami, sesuai namanya, yakni harusnya bersendikan mudharabah
dan ta’awun, pastilah akan banyak solusi bersendikan tolong-menolong
untuk kebaikan bersama di dalamnya, sebelum eksekusi pahit itu dilakukan dengan
mudah. Lantas, apa bedanya itu lembaga keuangan yang pakai stempel Islam dan
bukan? Apa bedanya BMT dengan bank plecit itu?
Nothing.
Saya kasih tahu, ini bisnis, Bung, ini
kapitalisme, Bung. Segala macam stempel Islam itu hanyalah “alat propaganda”
untuk menyedot minat konsumennya yang (ironis) mudah dibuai oleh simbol-simbol agama.
Dan itulah makanan empuk komodifikasi agama.
Membiarkan diri dimangsa oleh kepalsuan
komodifikasi agama itu jelas pertanda kita tidak kritis. Kurang ilmu. Fakir pergaulan
dan pemikiran mendalam. Ya, saya tahu, sekalipun itu adalah soal pilihan hidup,
tetap saja saya prihatin menyaksikan betapa mudahnya (terutama) anak-anak muda
masa kini dimangsa oleh kapitalisme yang pintar banget menjubahi dirinya dengan
simbol-simbol Islam.
Okelah, tentu saja saya mafhum bahwa itu hak
setiap orang untuk tega memperkosa agama demi meraup keuntungan atau pun hak orang-orang
untuk mengikuti apa pun yang membuatnya terhipnotis. Saya sama sekali tidak
dalam posisi menentang apa itu hijab syar’ie, BMT, travel umrah/haji, dll.
Tidak.
Saya dalam posisi mendedahkan saja bahwa
komodifikasi itu:
Pertama, kegiatan menunggangi agama untuk kepentingan bisnis
demi mengeruk keuntungan finansial.
Kedua, publik yang disasar olehnya niscaya akan di-brain
washing dengan doktrin religius yang tentu saja sudah dimodifikasi
sedemikian rupa agar sesuai dengan kepentingan nomer satu itu.
Ketiga, (ini yang sangat menyedihkan) publik yang
telah termangsa sontak menjadi corong sempurna dari paham yang diluncurkan itu.
Dalam ranah sosial kita, tentu suatu kondisi yang memilukan untuk menyaksikan
anak-anak muda tercupetkan mindset-nya tentang Islam yang ala
komodifikasi belaka itu. Sempurnalah di kepala mereka bahwa “saya yang benar”, “saya
yang shalihah”, “saya yang calon ahli surga”. Padahal, oh my God, apa
yang mereka klaim itu sejatinya hanyalah bius komodifikasi.
Tak ada jalan lain buat semua kita kini, di hadapan
ketegaan-ketegaan kapitalisme berjubah komodifikasi agama ini, kecuali
menjadikan diri kita kritis terhadap segala hal dalam hidup ini, termasuk yang
tercium wangi bak parfum sekalipun. Dalam bahasa yang eneg, berhati-hatilah
terhadap komodifikasi agama yang notabene serupa dengan pepatah “serigala
berbulu domba”.
Mari berkritislah, Kawan. Jangan sampai kita
menjadi bagian dari orang yang begitu nikmat menyantap sarapan sebuah roti yang
diolesi minyak babi, yang kita anggap halal, semata karena ia dipakcing
dalam kaleng cap onta oleh produsennya.
Maaf, maaf jika ada yang menyinggung….
Jogja, 14 September 2014
Tag :
Utak Atik Manusia,
Utak-utik Agama
4 Komentar untuk "SAYA SUNGGUH ENEG: “KOMODIFIKASI AGAMA” = SRIGALA BERBULU DOMBA Oleh Edi Akhiles"
Ijin share Pak
Monggo monggo
saya sepaham dengan anda bung..
Masyarakat kita kan memah mudah dibodohi, apalagi kalo urusan agama, apa2 dikiranya OK kalo ada label Islam, padahal sama aja ya,,