Personal Blog

SERI KAJIAN SYIAH 2: SEJARAH DAN KELOMPOK-KELOMPOKNYA



Salah satu buku yang sangat otoritatif membahas Syiah, ya saya rekomendasikan buat Anda, ialah buku Sunnah Syiah: Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, karangan Quraish Shihab (2007, lalu diterbitkan edisi baru 2014). Ini salah satu buku primer yang saya pakai dalam menuliskan seri kajian Syiah ini. Bila Anda termasuk orang yang percaya begitu saja tudingan yang digawangi Jonru bahwa QS adalah bagian dari Syiah, bahkan disesatkan oleh sebagian muslim kita, sehingga menjadikannya tidak otoritatif lagi, tinggalkan saja tulisan ini. Sepanjang pembacaan saya pada QS, sejak tahun 1997 lalu kala bertemu buku Membumikan al-Qur’an, saya tidak menemukan sedikit pun (baik tekstual maupun substansial) pemikiran QS yang memperlihatkan afiliasi kepada Syiah. Bagi saya, beliau adalah cendekiawan ahli al-Qur’an dan sejarah Islam yang sangat kredibel.
Baiklah.
Syiah secara etimologi (kebahasaan) berarti pengikut, pendukung, pembela, pencinta yang menunjuk pada ide atau individu tertentu. Secara umum lazim dimengerti bahwa Syiah ialah kelompok muslim yang mendukung, membela, dan mengikuti Ali bin Abi Thalib. Ini tidak berarti bahwa Syiah tidak mengikuti dan menjunjung Rasulullah. Demikianlah pendapat masyhur yang dikeluarkan oleh Ali Muhammad al-Jurjani, seorang ulama Sunni (1991:142).
 Lahirnya Syiah secara sederhana bisa kerucutkan pada aspirasi sekelompok sahabat sepeninggal Rasulullah yang menghendaki penerus Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib (kala dilakukan pembaiatan terhadap Abu Bakar di Saqifah). Demikian pendapat Ibnu Khaldun, yang diamini banyak pemikir Islam kontemporer, termasuk mayoritas ulama Sunni.
Pendek kata, para sahabat pembela Ali “kecewa secara politik” dengan pengangkatan Abu Bakar lantaran mereka meyakini bahwa seharusnya Ahlul Bait yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan itu.
Syaikh Abdul Halim Mahmud, pakar sejarah Islam dari al-Azhar, mengatakan bahwa aspirasi tersebut wajar belaka dengan melihat “kedekatan nasab dan historis” antara Ali dan Rasulullah. Dukungan keluarga Nabi dan para sahabat kepada Ali ini, meski tidak terwujud karena yang dipilih dalam rapat itu bukanlah Ali, tidak lantas membuat beliau melakukan pemberontakan atau sinisme apa pun. Beliau tetap memberikan baiat kepada Abu Bakar dan berikutnya Umar bin Khattab. Sikap ini memperlihatkan Ali lebih memilih untuk menjaga harmoni umat Islam dibanding mengedepankan tendensi politis itu. Ali dengan tegas menolak siapa pun yang menentang, apalagi menjelek-jelekkan, atau bahkan mengkafirkan khalifah-khalifah sebelumnya. Sejarah ini sudah sangat mafhum kita ketahui.
Di tengah situasi begini, para pendukung Ali yang bernama Syiah ini berkembang menjadi banyak faksi. Di antaranya ada yang sangat ekstrem (disebut Ghulat), yang sampai menjelekkan dan mengkafirkan khalifah-khalifah sebelum Ali. Dan ini hanya kelompok kecil. Tapi di sisi lain juga banyak faksi Syiah yang mengambil sikap yang sama dengan Ali; menjunjung khalifah-khalifah sebelumnya.
Ada 4 faksi besar Syiah: Ghulat, Ismailiyah (Syiah Sabi’ah), Zaidiyah, dan Imamiyah (Ja’fariyah atau Itsna Asyariyah). Menurut Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama Sunni, kelompok Syiah yang keluar dari Islam telah punah dan tidak ada pengikutnya lagi. Sedangkan Al-Baghdadi menyatakan bahwa hanya ada kelompok Syiah yang layak dimasukkan ke dalam bagian umat Islam, yakni Zaidiyah dan Imamiyah.
Dari sekian faksi ini, kelompok Syiah terbesar yang sampai kini menyebar luas di banyak negara, mulai Iran, Irak, Suriah, Kuwait, Afghanistan, Pakistan, hingga sebagian Saudi Arabia ialah Syiah Imamiyah atau Itsna Asyariyah. Maka adilnya, saat kita menyebut Syiah, kita representasikan pada kelompok Imamiyah ini, bukan Ghulat.
Pandangan yang menuding Syiah merupakan “kerjaan” Yahudi melalui sosok Abdullah bin Saba’ jelas tidak berdasar. Jumhur ulama menolaknya sejak lama. Logika sederhana yang mereka munculkan ialah bagaimana mungkin para sahabat sekaliber Ali bin Abi Thalib, Thalhah, dan az-Zubair bisa dikelabui oleh seorang Yahudi? Mustahil. Thaha Husain bahkan mengatakan bahwa sosok Abdullah bin Saba’ tidak pernah ada, alias fiktif.
Penting pula dicatat di sini bahwa kondisi sosial-politik pasca meninggalnya Ali bin Abi Thalib, berarti di era Umayah, sangat mengintimidasi keberadaan kaum Syiah ini. Hal ini mudah dimengerti sebagai piranti politik Umayah untuk menegasi segala potensi perlawanan terhadap kekuasannya, yang jelas paling memungkinkan dipantik oleh kelompok Syiah. Kita pun mengerti bahwa peristiwa Karballa merupakan “kerjaan” Umayah, yang menorehkan luka mendalam khususnya di kalangan Syiah, sehingga “dosa sejarah dan politik” itu wajar terus menghantui penguasa Umayah akan potensi ancaman Syiah. Dalam situasi demikian, sebagian kaum Syiah memilih ber-taqiyah alias diam, menyamar, untuk keselamatan.
Baiklah, saya ulas sedikit tentang empat faksi Syiah ini:
Pertama, Ghulat. Ini Syiah ektrem yang sampai mengkafirkan para khalifah, dan bahkan ada yang mengatakan, “Malaikat Jibril salah alamat ketika menurunkan wahyu Allah kepada Muhammad, padahal harusnya kepada Ali bin Abi Thalib.” Sikap ini begitu kultus  pada Ali dan jelas tidak selaras dengan keyakinan umum kita. Faksi ini sangat kecil dan menurut Quraish Shihab sudah punah karena tidak diterima oleh umat Islam. Lupakan saja faksi ini.
Kedua, Ismailiyah (Syiah Sabi’ah). Kelompok ini meyakini Ismail, putra Imam Ja’far Al-Shadiq, adalah imam keenam yang menggantikan ayahnya, padahal Ismail lebih dulu meninggal dibanding ayahnya.  Mereka disebut Syiah Sabi’ah sebab percaya pada tujuh imam sejak Ali bin Abi Thalib dan berakhir pada Muhammad, putra Ismail (putra Ja’far al-Shadiq), yang diyakini akan muncul kelak.
Ketiga, Zaidiyah. Syiah ini merupakan pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jadi, Zaid ini keturunan Ali bin Abi Thalib. Beliau dikenal sebagai sosok yang berpengetahuan luas, taat beribadah, sekaligus berjiwa revolusioner.
Beliau tumbuh dalam suasana gejolak politik yang menekan kelompok Syiah pasca peristiwa Karballa. Dalam situasi politik yang tidak kondusif itu, sebagian kaum Syiah memilih taqiyah (menyamar) dengan maksud melindungi diri dan kelompoknya dari intimidasi rezim. Berbeda dengan pendahulunya, paman dan kemenakannya, Zaid memilih sikap terbuka terhadap kelompok yang menindasnya. Dan sebab sikap non-taqiyahnya pulalah beliau terbunuh.
Secara politis, sikap Zaid sekalipun tetap menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih mulia daripada khalifah-khalifah sebelumnya, namun mereka tunduk dan mengakui keabsahan para khalifah. Mereka menolak untuk menghina, mencaci, apalagi mengkafirkan para sahabat Nabi itu, dan karenanya mereka disebut pula sebagai Rafidhah, yakni penolak untuk menyalahkan dan mencaci (Quraish Shihab, 2014: 81).
Jadi, catat, Rafidhah yang sering dipelintir di sini merupakan sebutan pada kelompok Syiah Zaidiyah yang menolak menjelek-jelekkan para sahabat Nabi. Klaim yang menyeruak di internet (silakan Anda googling) bahwa Rafidhah adalah kelompok Syiah ekstrimis, yang berarti menyamakan dengan kaum Ghulat, sangatlah tidak berdasar.
Keempat, Imamiyah atau Ja’fariyah (Itsna Asyariyah). Kelompok Syiah ini adalah kelompok mayoritas yang terus berkembang sampai saat ini. Disebut Syiah Istna Asyariyah karena mereka percaya bahwa imam jumlahnya adalah dua belas, dimulai dari Ali bin Abi Thalib dan akan berakhir di tangan Muhammad Ibnu Hasan al-Asykari sebagai imam kedua belas yang kelak akan muncul kembali dan dikenal sebagai al-Mahdi.
Perbedaan paling mendasar antara kaum Sunni dan Syiah kelompok ini ialah tentang Imamah (kepemimpinan). Demikian pandangan Muhammad Husain Kasyif al-Ghita, seorang ulama besar Syiah, yang diamini oleh Syaikh al-Azhar, Abdul Halim Mahmud.
Adapaun dalam hal-hal lain seperti akidah, iman, Islam, sampai al-Qur’an, keseluruhannya sama. Bahwa memang terdapat beberapa perbedaan furu’ antara Sunni dan Syiah, misal dalam jumlah rukun iman di mana Syiah memiliki tiga item dan Sunni memiliki enam item, hal itu tidak berarti bahwa kaum Syiah kafir karenanya, sebab jika dicermati lagi, tiga item itu sudah sesuai atau turut mencakup dengan enam item yang dianut Sunni, hanya berbeda jumlah (bagian rukun iman dan Islam ini akan saya tuliskan khusus, insya Allah).
Sampai di sini, penting dicatat bersama bahwa sekalipun di dalam Syiah terdapat kelompok Ghulat, itu tidak bisa diklaim secara general bahwa semua Syiah adalah Ghulat. Para ulama Sunni sangat menghormati ulama-ulama Syiah, khususnya Syiah Zaidiyah dan Imamiyah. Pun dengan melihat besarnya pengikut Syiah Imamiyah sampai hari ini, sangat relevan bagi kita ketika bicara tentang Syiah untuk meletakkan kelompok ini sebagai representasi Syiah.
Bila dalam satu sarang terdapat sebutir telor yang busuk, tentu lebih eloknya bukan sarangnya yang dibuang, tetapi satu telur busuk itu saja yang dibuang.  Bila dalam Syiah ada kaum Ghulat yang menista para khalifah sebelum Ali, tentu lebih eloknya faksi ini saja yang ditinggalkan, dan biarkan telur-telur sehat lainnya, faksi-faksi Syiah sehat lainnya, seperti Zaidiyah dan Imamiyah, diberikan tempat yang sepatutnya sebagai bagian dari rumah besar kita yang bernama Islam ini.
Tulisan berikutnya, insya Allah…
Jogja, 24 Pebruari 2015

Tag : Kajian Agama
4 Komentar untuk "SERI KAJIAN SYIAH 2: SEJARAH DAN KELOMPOK-KELOMPOKNYA"

https://www.facebook.com/video.php?v=745540545498983&set=vb.191390880913955&type=2&theater

bang mohon ditonton ya :)
siapa tau bisa jadi inspirasi tentang syiah dari Buya Yahya

This comment has been removed by the author. - Hapus

Orang awam spt saya pastinya mudah terprovokasi oleh video tentang penganiayaan orang sunni di timur tengah, penghancuran makam dan tindakan brutal lain yang dilakukan syiah. Bisa beri pencerahan??

Lalu apakah seorang sunni boleh nikah mutah karena darurat(blm pnu istri,blm pny biaya nikah daim??)

Back To Top