“Untuk apa
kamu belajar filsafat segala to, nggak ada gunanya, bagusan juga ambil ekonomi,
praktis.”
“Siapa bilang
filsafat tidak berguna buat hidup kita?”
“Kenyataannya,
cuma celoteh mumet gitu, nggak nyambung dengan kenyataan.”
“Itu sih di
tangan orang yang nggak paham filsafat.”
“Kebanyakan
begitu.”
“Berarti
kebanyakan memang nggak paham, hanya tahu kulitnya, jadi tak pernah bisa menikmati
isinya.”
“Ogah ah, aku tetap mikir filsafat itu
nggak penting buat hidup.”
“Ya itu
terserah kamu aja kalau mau mikir begitu.”
“Yee, kamu emang selalu ujungnya bersikap
begitu.”
“Itulah salah
satu manfaat school of thought buat
hidupku.”
****
Saya kenal
istilah school of thought sejak
kuliah S-1, tahun 1995. Masuk ke level S-2, saya kian mengerti mengapa itu
penting sekali. Di jenjang S-3, saya lalu mencoba menggunakannya secara nyata
dalam bentuk inversi (pencapaian, penemuan, pengkonsepan). Buku PUTUSIN
NGGAK, YA? adalah salah satu buahnya.
School of thought adalah sebuah
epistemologi. Ia akan melandasi setiap orang dalam memahami sesuatu (etimologi)
dan menghasilkan sebuah tindakan (aksiologi). School of thought berada di tengahnya, yakni cara berpikir.
Mari saya beri
beberapa contoh agar hal ini menjadi lebih mudah dimengerti.
Shalat.
Orang yang
berhenti pada level etimologi (istilah, definisi), maka ia akan memahami bahwa
shalat itu rukun Islam dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Orang yang
beranjak ke level epistemologi (ruang lingkup), ia akan mengerti bahwa shalat
itu bukan melulu sebuah kewajiban (ala etimologi), tapi juga adalah tempaan
jiwa untuk santun.
Dua level ini
dalam tingkat praktiknya (aksiologi), akan menghasilkan makna dan dampak perilaku
yang berbeda. Yang level pertama akan menjadikan kegiatan shalat sebagai
pelaksanaan sebuah kewajiban, yang level kedua akan menjadikan kegiatan shalat
sebagai wadah jiwa untuk bersantun di luar kegiatan shalat. Atsarus shalat, demikian istilah
lazimnya.
Bisnis.
Orang
etimologis akan memahami bahwa bisnis adalah kegiatan mencari untung. Bukanlah
bisnis jika tidak menguntungkan.
Orang
epistemologis akan berpikir bahwa bisnis bukan melulu mencari untung, tetapi
juga passion, silaturrahim,
menggerakkan kehidupan lingkungan, charity,
filantropi, dan sebagainya.
Dua level ini
dalam tingkat praktiknya (aksiologi) tentu saja menghasilkan makna dan dampak
perilaku yang berbeda.
Dalil.
Orang
etimologis akan memahami dalil sebagai panduan pokok setiap hukum agama. Apa
pun kata dalil, sebagaimana ia pahami, itulah hukumnya. Yang selainnya adalah
pelanggaran hukum.
Orang
epistemologis akan berpikir bahwa dalil itu “korpus terbuka” atau “kitab
terbuka” untuk dimaknai dan diterapkan, sehingga hukum apa pun yang digali
darinya tidaklah bisa dipisahkan dari latar tempat dan masa di mana hukum itu
diciptakan. Ia akan bisa menerima perbedaan penyimpulan hukum, karena ia
mengerti bahwa itu adalah keniscayaan belaka dari sifat dalil yang “korpus
terbuka”.
Dua level ini
dalam tingkat praktiknya (aksiologi) jelas akan menghasilkan makna dan dampak
perilaku yang berbeda.
****
Sesungguhnya,
sama sekali tidaklah ada yang salah dengan pilihan (baik dengan kesadaran memilih
atau sekadar ketidaktahuan sehingga jadi pengikut) menjadi orang etimologis
atau pun epistemologis. Baik orang etimologis maupun epistemologis baru akan
“salah” jika benih pikiran yang membuahi perilakunya mengarah kepada keretakan
harmoni hidup.
Ya, harmoni
hidup. Belahan peradaban manapun di muka bumi ini, dari dulu sampai sekarang
dan bahkan nanti, akan selalu menjadikan harmoni hidup sebagai ukuran baik atau
buruk dan benar atau salah.
Bleh saja kau
benar, tapi jika lakumu memicu keretakan harmoni, maka kau akan dipersalahkan.
Absah saja kau kaya data dalam berpendapat, namun jika lakumu kemudian memantik
kekacauan sosial, maka kau akan dijadikan pecundang.
Maka sejatinya
nilai “benar/salah” dan “baik/buruk” di hadapan ranah sosial yang luas bukanlah
pure tentang nilai “benar/salah” dan
“baik/buruk” itu sendiri, tetapi tentang apakah kau menjadi bagian dari penegak
atau peruntuh harmoni hidup di dalamnya. Tentu saja, pemilik utama dari tananan
harmoni hidup itu ialah undang-undang yang diberlakukan (termasuk di dalamnya
ialah adat dan local wisdom).
Di Arab Saudi,
wanita akan disebut perusuh harmoni jika diketahui mengemudikan mobil. Itu
undang-undang yang diberlakukan di sana.
Di sini, wanita dibebaskan oleh undang-undang untuk mengemudi, sehingga ia
tidak akan dianggap sebagai perusuh harmoni.
Di bandara
Turki, kau tidak perlu melepas sepatumu untuk cek imigrasi, sebab undang-undang
yang diberlakukan di sana
tidak menjadikan itu sebagai perusuh harmoni. Tapi di bandara Dubai, jika kau tidak melepasnya, maka kau
akan disebut perusuh harmoni, sehingga kau akan diatasi sebagai orang yang
bermasalah.
Begitulah,
Kawan, dari hal besar sampai kecil, semua tolak ukurnya di setiap tempat dan
masa adalah tentang (sekali lagi): “Apakah kau menjadi bagian dari penegak atau
peruntuh harmoni hidup di dalamnya?”
Kesimpulannya kini
menjadi lebih sederhana, bahwa pokok masalahmu sama sekali bukanlah tentang pilihan
menjadi orang etimologis atau epistemologis, tetapi apakah pilihanmu itu
berdampak negatif atau positif terhadap harmoni hidup lingkunganmu berdasarkan
undang-undang yang berlaku.
****
Kawan,
sekarang mari kita coba cermati “kebiasaan atau watak” yang lazim timbul dari
pilihan menjadi orang etimologis dan epistemologis.
Menjadi
etimologis di sebuah tempat dan masa yang seragam jelas situasi yang kondusif
baginya. Ia baru akan menuai gesekan jika berada di sebuah tempat dan masa yang
beragam, seperti di negeri ini.
Kita mengerti
benar bahwa Indonesia
bukanlah bangsa yang homogen, yang berbeda sama sekali dengan keseragaman Saudi Arabia.
Tantangan yang akan dihadapi kawan-kawan yang memilih menjadi orang etimologis
di negeri ini jelas sangat besar. Watak etimologis yang searah, monolog, akan
berhadapan dengan keberagaman yang berwatakkan keterbukaan menerima perbedaan.
Kemampuan menyikapi tantangan keragaman inilah yang akan menjadi pengukur
tunggal apakah kawan-kawan etimologis teranggap sebagai penegak atau peruntuh
harmoni hidup itu.
Misal, jika
kau berpaham bahwa ngafe sampai
tengah malam itu keburukan, lalu mendorongmu untuk beraksi sweeping, maka kau akan berhadapan langsung dengan klaim peruntuh
harmoni. Namun jika pahammu itu hanya disekatkan pada geliat hati, tidak
dijadikan aksi nyata yang memantik disharmoni, maka kau akan teranggap sebagai
penegak harmoni. Dua-duanya sama tidak setujunya dengan kegiatan ngafe, tapi dua-duanya berbeda “nasib”
di hadapan harmoni hidup.
Meyakini paham
yang diikuti jelas adalah keniscayaan mutlak bagi siapa pun, baik itu orang
etimologis maupun epistemologis. Meyakini tetapi tidak mematuhinya itu adalah
sebuah masalah jiwa. Split personality.
Setiap keyakinan niscaya akan membuahkan fanatisme. Tidak ada yang salah sampai
di sini. Ia, fanatisme itu, baru akan menjadi masalah di hadapan harmoni hidup
jikalau “dikeluarkan” dari dirinya, kelompoknya, menjadi laku yang
konfrontatif.
Sebagai
muslim, misal, saya yakin sekali, fanatik sekali, bahwa di saat Ramadhan saya
harus berpuasa. Tetapi saya mengerti bahwa republilk ini tidak memaksa setiap
muslim untuk berpuasa di bulan Ramadhan, sehingga saya memilih untuk asyik saja
pada kawan-kawan muslim lain yang tidak berpuasa. Saya tidak “mengeluarkan”
fanatisme saya, sehingga saya teranggap sebagai bagian dari penegak harmoni
hidup.
Sebaliknya,
jika fanatisme saya “dikeluarkan”, lalu saya menasihati atau bahkan
membentak-bentak muslim lain yang tidak berpuasa, maka saya akan teranggap
sebagai peruntuh harmoni. Saya sedang dalam masalah karenanya. Bukan masalah
keyakinannya tentu, tapi masalah “mengeluarkan” fanatisme keyakinan saya itu.
Lalu, di mata
orang etimologis, orang epistemologis cenderung diterjemahkan sebagai orang
yang fakir iman. Miskin fanatisme iman. Ini lalu dibandingkan dengan orang
etimologis yang teridentifikasi kuat imannya berkat seduhan watak “no reasons for this thought”.
Benarkah
demikian adanya?
Tentu tidaklah
adil sama sekali untuk menjadikan ukuran kekuatan iman atas dasar aksi
penerimaan keragaman atau aksi penolak keragaman. Klaim itu sama-sama tidak
adil bagi kedua kutub itu. Ini sama persis dengan betapa tidak adilnya untuk menyimpulkan
bahwa orang shalat pakai celana jeans jelas kalah khusyuknya dibanding orang
shalat pakai sarung atau jubah. Menatap iman yang ruhaniah-personal dengan menggunakan
kacamata material sejenis itu jelas hanya akan melahirkan pemaknaan-pemaknaan yang
sepenggal bin nisbi.
Mungkin ilustrasi
ini akan bisa menjelaskan secara nyata padamu: “Jika suatu hari kau
berkesempatan datang ke Masjidil Haram, kau akan melihat betapa material
orang-orang muslim dari berbagai penjuru dunia amatlah beragam, dan semuanya
bertawaf dengan takzim di hadapan Ka’bah, siang atau malam. Adilkah untuk kau
berkata bahwa orang Pakistan
yang pakai jubah bermodel celana kombor dengan kepala plontos dan janggut
panjang sehingga sisirnya digunakan untuk merapikan janggut, bukan rambut,
lebih kuat imannya dibanding muslim Turki yang pakai jas lengkap layaknya akan
berkantor?”
****
School of thought. Mazhab pemikiran.
Sebutlah ia wacana. Mau orang etimologis atau pun epistemologis, sama-sama
memiliki wacana. Ya, wacana adalah jalan bagi mindset untuk menyimpulkan sesuatu, apa pun itu, termasuk dalil, yang
dalam ranah agama lazim disebut mazhab.
Sekalipun
keduanya sama-sama berlandas school of
thought, namun keduanya berbeda dalam memperlakukan sebuah wacana. Orang
etimologis cenderung berwatak absolutely
closed terhadap lahirnya wacana-wacana baru, sebab ia berkecenderungan
menganggap school of thought yang
sudah ada adalah final decision. Ini
berbanding terbalik dengan orang epistemologis yang lebih berwatak terbuka dan
dinamis.
Secara umum,
sikap orang terhadap wacana baru terbelah menjadi tiga: (1) Menolak sepenuhnya,
(2) Mengambil sebagian dan menolak sebagiannya, dan (3) Mengambil semuanya.
Orang
etimologis cenderung (saya selalu pakai
kata cenderung ya karana saya pun tahu di dalamnya pasti tidak general) berada
di poin satu itu. Orang epistemologis cenderung berada di poin dua dan tiga.
Contoh terang,
bagaimana sikapmu terhadap fenomena guy dan lesbi? Sikapmu akan terbelah ke
dalam tiga kategori itu.
Jika orang
etimologis agak sulit menerima school of
thought baru, orang epistemologis jauh lebih mudah menyerapnya. Pada
keduanya, terdapat perbedaan mindset
yang sangat mendasar.
Orang
etimologis, dalam ranah agama misal, beranggapan bahwa segala apa yang telah
dirumuskan dan diwariskan oleh guru-guru mazhabnya, yang tentu saja sudah ada sejak
jauh-jauh masa, adalah school of thought yang
final. Segala wacan baru yang jangankan berlawanan, sekadar mempertanyakan
otoritas school of thought lama itu,
akan diidentifikasi sebagai “penyimpangan”. Wajarlah, jika watak absolutely closed tadi bekerja ketat di
sini.
Orang epistemologis
berbeda pandangan, bahwa school of
thought apa pun tidaklah bisa
berdiri di atas kakinya sendiri sepanjang masa, sebab ia hanyalah produksi
manusia yang niscaya terikat dengan poin kompetensi, masa, tempat, budaya,
paham politik, suasana sosial, lokalitas, dll. Sebuah school of thought hanya benar di atas satu kakinya sendiri saja, yang
menerima terhadap keberadaan school of
thought-school of thought lainnya yang juga benar di atas satu kakinya saja.
Pada sebagiannya, ia berjalan sendiri-sendiri, tetapi pada sebagian kasus
lainnya ia berinteraksi satu sama lainnya.
Prinsip al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdu
bil jadidil ashlah (memelihara wacana lama yang baik dan mengambil wacana
baru yang lebih baik) menjadi watak orang epistemologis dalam menyikapi setiap
wacana baru.
Mudah
dimengerti kini mengapa sikap orang etimologis cenderung closed, no respons, bahkan no
dialog, berbanding terbalik dengan orang epistemologis yang dialogis dan
terbuka.
Ya, sekali
lagi, pilihanmu menjadi orang etimologis atau pun epistemologis bukanlah pokok
masalahnya, tapi bagaimana kau menjadi bagian dari penegak atau peruntuh
harmoni hidup itulah pangkal mindset
yang harus selalu kau mengerti. Konsekuensi-konsekuensi yang timbul, termasuk
dalam ranah mindset dan school of thought, biarkanlah itu dituai
oleh masing-masing pilihan orang.
Apa yang saya
sebut orang etimologis dan orang epistemologis di sini juga lazim disebut
“orang tekstualis” dan “orang kontekstualis”.
Dalam guyonan
seorang kawan di sebuah kafe di suatu malam, ia berceloteh begini:
“Aku mention bantahan, tidak dianggap sama
sekali, padahal 5 menit berikutnya ia meretweet
mention orang lho. Kuulangi, kali aja tenggelam di timeline-nya, tetap nggak dianggap. Dua hari kemudian, aku mention lagi ke dia dengan sebuah
pertanyaan, bukan lagi bantahan, tetap nggak dibalas. Diulangi lagi, sama saja.
Seminggu kemudian, aku mention gini
dengan putus asa ‘Subahanallah,
terimakasih sekali atas tweetnya yang
sangat mencerahkan’. Lima
menit kemudian diretweet, Bro….!”
Saya ngakak
sampai kesedak seruputan kopi yang tak tuntas ditelan. Ia pun ngakak. Lalu kami
kian terbahak saat menemukan sebuah desain
kampret di timeline: foto Andrea
Pirlo dengan janggut lebat dipasangin surban.
“Ustadz
Pirlo….” katanya sambil ngakak tanpa titik.
Jogja, 15 Mei 2014
1 Komentar untuk "YUK BELAJAR TENTANG SCHOOL OF THOUGHT DAN MENGAPA IA PENTING BUATMU"
ya tapi mengambil sikap diri anda yang benar dan orang lain salah apa nggak kontra-produktif dengan apa yang baru saja dipaparkan sebelumnya? *mikir*