Personal Blog

SPIRIT YANG HILANG DARI KEISLAMAN KITA (TAK ADA YANG SALAH DENGAN PERBEDAAN PENDAPAT) (Catatan Spesial di Hari Spesial Ultah Istriku @MayDiva_12)



Dear, Mom…
Aku tak akan banyak berkata cinta di hari ultahmu ini, sebab aku tahu kita telah sanggup menempuh hidup bersama selama bertahun-tahun ini karena kita saling mencintai. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku selalu mencintaimu, seperti bertahun-tahun lalu saat kita berpacaran, eh…berta’aruf, saat kamu masih langsing itu. J
****
Indonesia tidak menerapkan hukum potong tangan pada maling, padahal ayatnya jelas, apa lalu semua muslim Indonesia tidak benar?
Khilafah Islamiyah itu wajib, ada ayatnya, lalu apa republik ini kufur semua sepanjang masih pakai demokrasi beginian, karena tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’an?
Orang poligami kok dikekang, dilawan, padahal ayatnya jelas ada, berarti itu melanggar kebenaran al-Qur’an?
Wanita itu boleh dipukul kalau nusyus, ayatnya ada kok, apa lalu kau akan membiarkan adikmu, anakmu, dipukul oleh suaminya kelak atas nama kebenaran ayat?
Wanita kok mau jadi pemimpin, itu melanggar ayat al-Qur’an, ayatnya sudah jelas gitu kok, apa kau akan bilang bahwa Khafifah Indar Parawansah (misal) itu muslimah nggak bener?
Semua yang terjadi pada kita telah ditentukan oleh Allah lho, itu ada ayatnya, apa lalu kau akan berpasrah belaka atas nama ayat?
Memandang lawan jenis itu dilarang oleh Rasulullah Saw., itu haram. Iya, memandang. Lalu bagaimana jika cuma BBM-an atau mention-mentionan?
Dll., dll., dll.
****
Demi Allah, tidaklah boleh ada secuil keraguan pun dalam hati setiap muslim, termasuk saya, akan kebenaran al-Qur’an dan hadits, yang berlaku sepanjang zaman dan tempat di manapun muslim berada sebagai sumber-sumber hukum Islam. Siapa yang terbersit keraguan terhadapnya, sungguh ia memiliki masalah akidah yang sangat serius.
Sungguhlah penting bagi kita untuk memahami bahwa sifat keabadian sumber utama hukum Islam itu, sifat rahmatan lil-‘alamin-nya, sifat shalih likulli zaman wa makan, justru terletak pada keglobalan kandungannya, kemujmalannya, ketidakdetailannya, bukan karena keduanya mencamtumkan ayat dan hadits secara tekstual tentang seluruh detail hidup umatnya sampai kiamat. Mempertanyakan dasar ayat tekstual tentang kloning, hotel, traveling, apalagi tweteran, sungguh menandakan ketidaktahuan sang penanya terhadap sifat keabadian al-Qur’an dan hadits itu sendiri.
Umpama al-Qur’an memuat dengan detail segala teknis dinamika kehidupan manusia (juknisnya), maka niscaya al-Qur’an akan expired. Kenapa? Karena realitas kehidupan umat Islam itu sendiri berkembang secara dinamis, sesuai dengan kondisi zaman dan tempat ia hidup. Apa yang dialami umat Islam di awal abad Hijriah di Madinah, misal, jelas telah jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh umat Islam Indonesia di masa kini.
Contoh.
Umpama al-Qur’an bicara dengan detail-tekstual sangat juknis tentang khilafah (kepemimpinan Islam), lalu menyebut monarki sebagaimana dipakai Arab Saudi kini sebagai wujudnya, niscaya al-Qur’an akan ditolak di sini. Sekali lagi, inilah letak salah satu kemukjizatan al-Qur’an yang hanya memberikan panduan global berupa keadilan (‘adalah), kesamaan (musawah), dan kebebasan (hurriyah) sebagai “isi khilafah”, sehingga al-Qur’an bisa diterima di sini dengan mudah.
Demikian pula dalam hal-hal lainnya.
Sifat kemujmalan al-Qur’an ini jelas menjadikannya sangat membutuhkan tafsir. Tafsir adalah produk pemikiran manusia yang dimaksudkan untuk menerjemahkan “keinginan Allah” berdasar ayat dan dikuatkan oleh hadits Rasul. Karena ia hasil pemikiran manusia, yang jelas sangat dipengaruhi oleh niat, kapasitas, dan latar belakang budayanya yang beragam, maka sangat wajarlah tafsir pun beragam terhadap sebuah ayat atau hadits yang sama.
Yang mana dong yang benar jika berbeda begitu tafsirnya?
Pertanyaan sejenis ini seharusnya tak perlu muncul lagi jika kita telah memahami bahwa dalam hukum Islam itu ada dua kelompok hukum: (1) Ushul (pokok) seperti kewajiban shalat, puasa, dll., dan (2) Furu’ (cabang) seperti bagaimana cara bernegara, berumah-tangga, berta’aruf, dll.
Para ulama (jumhur) bersepakat bahwa yang ushul itu sifatnya mutlak, namun yang furu’ itu berada dalam ranah ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan, “Tidaklah boleh bagi siapa pun untuk melarang ulama menyimpulkan sebuah hukum yang berada dalam medan ijtihad-nya”.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa “Siapa yang berta’ashab (fanatik) pada sebuah paham/mazhab (furu’), maka ia seperti berfanatik pada satu sahabat dan menolak sahabat-sahabat lainnya.”
Imam Syafi’i berkata, “Kebenaran dalam pandanganku mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain. Dan, kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung satu kesalahan dalam pandanganku.”
Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengatakan, “Terjadinya perbedaan di antara manusia adalah hal yang sangat pantas, karena mereka juga berbeda keinginan, pemahaman, dan kekuatan logikanya.”
Dari Amr bin ‘Ash, Rasulullah Saw. bersabda, “Jika seorang hakim (mujtahid) menghukumi (suatu urusan), kemudian ia berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, dan jika ia menghukumi lalu berijtihad dan kemudian salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kawan, tidak ada keraguan lagi bahwa ikhtilaf merupakan sunnatullah dalam ranah hukum Islam yang bersifat furu’.
Sekarang menjadi sangat penting pula untuk memahami ciri furu’. Ciri dari sebuah hukum itu tergolong furu’ ialah ia bersifat juknis, sehingga memang rentan perbedaan antar tempat dan zaman. Ia bersifat lokalistik, tidak bisa disamain pemberlakuannya di seluruh wilayah dan masa. Hukum Islam di Indonesia tentu tidaklah harus sama dengan praktik hukum Islam di Saudi Arabia, bukan? Hukum Islam di Prancis tentu tak harus serupa dengan hukum Islam di Indonesia, bukan?
Misal.
Shalat Jum’at itu wajib. Ya, semua umat Islam wajib menegakkannya, sebab ia adalah hukum ushul. Pokok. Tapi, perhatikan, bahwa dalam praktik shalat Jum’at itu ada kelompok yang pakai satu adzan, ada yang dua adzan. Teknis beginianlah yang masuk dalam ranah furu’.
Shalat Subuh itu wajib. Ini hukum Ushul. Tapi jika ada kelompok muslim yang shalat Subuh pakai qunut, lalu sebagian lainnya tidak, ini adalah hukum furu’.
Jadi, jika segala yang ushul itu tidaklah memberikan ruang sedikit pun untuk ijtihad, maka segala yang furu’ itu selalu memberikan ruang seluas-luasnya untuk ijtihad.
Apa yang disebut ushul dalam hukum Islam, itulah yang dimaksud dengan SYARIAT, sifatnya benar secara mutlak. Jangan pernah ragukan ini sedikit pun.
Apa yang disebut furu’ dalam hukum Islam, itulah yang disebut FIQH. Fiqh Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi merupakan contoh-contohnya.
Fiqh adalah produk tafsir manusia terhadap syariat itu. Simpulan fiqh jelas tidaklah pantas disejajarkan klaim kebenarannya dengan sumber syariatnya. Mengklaim sebuah simpulan fiqh yang jelas-jelas “hanya” hasil upaya manusia untuk memahami syariat (dalil-dalil ayat dan hadits) sebagai benar mutlak, sehingga memicu diri untuk menyalahkan simpulan fiqh lain yang berbeda, jelas adalah sikap yang berlebihan dan memicu konflik.
Bahkan, ijinkan saya untuk mengatakan di sini, bahwa sikap klaim benar mutlak terhadap sebuah fiqh itu sama dengan “arogansi manusia untuk mengaku-aku telah dipasrahi oleh Gusti Allah tentang Maksud dan Kebenaran-Nya yang Hakiki di masa kini” yang jelas-jelas kita iman sekali bahwa tidak ada Rasul lagi sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw. yang menempati posisi demikian. Sikap klaim mutlak benar atas fiqh-nya mengandung risiko bahwa ia terkesan mengangkat “rasul-rasul” baru setelah Rasulullah. Dan jelas ini sebuah kabar buruk terhadap akidah kita sendiri.
Maka seyogyanya, di antara pemahaman peta ini, di antara ragam ikhtilaf yang sunnatullah ini, yang memang sangat tak perlu dipaksa hilang ini, sangatlah penting bagi kita semua untuk meletakkan diri yang manusia belaka ini secara proporsional: “Iya, saya sih memilih ikut fiqh yang itu saja, saya percaya fiqh yang itu adalah yang terbaik buat saya, tapi saya juga harus mengerti bahwa fiqh saya hanyalah salah satu dari ragam fiqh lain yang harus saya hormati juga siapa pun yang mempercayai dan mengikutinya.”
See?
Jika keilmuan begini melandasi jiwa kemusliman kita, saya yakin kita akan malu untuk mendapuk diri sebagai “halal” dan yang lain “haram”, saya “yang benar”, kamu “yang salah”, saya yang “sesuai syariat”, kamu “yang kufur”.
Inilah, Kawan, spirit keislaman yang kian pudar dari jiwa kita sendiri yang mengaku muslim kaffah ini. Dan, kondisi ini dipantik sepenuhnya oleh kemalasan kita untuk belajar, berilmu, berdiskusi, dan menyaksikan realitas keragaman dunia sebagai anugerah indah dari Allah ini.
Wassalam.
Jogja, 5 Mei 2014
Tag : Kajian Agama
0 Komentar untuk "SPIRIT YANG HILANG DARI KEISLAMAN KITA (TAK ADA YANG SALAH DENGAN PERBEDAAN PENDAPAT) (Catatan Spesial di Hari Spesial Ultah Istriku @MayDiva_12)"

Back To Top