Personal Blog

GAYA CEPAT DEK DIVA



Kata orang Jawa, sok mutuske. Yaitu mengambil keputusan tanpa rembukan atas sesuatu yang seharusnya dirembukin bersama dulu. Langsung ambil keputusan. Begitu. Ya tentu ini bukan tentang hasilnya baik atau buruk sih, tetapi lebih pada soal kenapa nggak dirembukkan dulu saja.
Begitulah yang dilakukan anak saya, Dek Diva. FYI, jika kalian ingin tahu silsilah penamaan publishing DIVA Press Group, ya ini dia sumbernya. Cewek sulung ini.
Ia diterima di sebuah sekolah internasional di Jogja Utara. Dari rumah sekitar 5 kilometerlah. Salah satu program berkala yang diadakan sekolah ini ialah menggelar kegiatan pertukaran pelajar dengan negara-negara lain. Bentuknya ada yang study tour, short course, duta budaya, dan sebagainya. Intinya, kalau di zaman saya sekolah dulu, ini disebut studi banding. Antar kota. Kalau ini antarnegara.
Sebagai abegeh yang masih bertransisi dari SD ke SMP, betapa senangnya Dek Diva begitu diumumkan oleh gurunya bahwa akan diadakan event perukaran pelajar ke Jerman. Ya Jerman yang ada klub bola Bayern Munchen yang lagi solopok itu, bukan Jejer Mandala.
Lalu setiap anak dibagiin formulir. Form isian itu di dalamnya menyertakan poin biaya yang harus ditanggung oleh setiap wali murid. Besarnya dalam kurs rupiah kisaran Rp. 38.000.000.
Sudah.
Di suatu malam Minggu, sebulan kemudian kira-kira, saat kami sedang dalam perjalanan menuju sebuah resto untuk dinner (jadi kami punya kebiasaan untuk dinner bersama setiap malam Minggu), Dek Diva bercerita bahwa ia batal ikut ke Jerman.
Saya bengong. Nggak paham blas. Lha wong dia nggak pernah cerita. Juga mamanya. Setelah ditanya lebih jelas, ia lalu bercerita bahwa formulir isian untuk studi banding ke Jerman itu sudah ia kembalikan saat itu juga ke gurunya dengan ditulisi: saya nggak ikut!
“Lho, kenapa kamu nggak ikut, Dek?” tanya saya. “Emang nggak suka ya ke Jerman?”
“Suka sih. Tapi mahaaallllll….!”
Mamanya menimpali, “Kan Ayah bisa bayarin, Dek, kalau kamu memang minat ikut.”
“Wah, Mama ini, 38 juta lho, Ma, 38!” Suaranya terdengar menekan banget pada sebutan angka itu. “Itu kan banyaaaakkk bener duitnya!”
Kami terkekeh. Dek Diva pasti lupa kali ini bahwa ayah adalah aolusi. Bella dan Ve ikutan ngakak. Juga simbok. Jadi simbok ini adalah orang Wonosobo yang rewang di rumah dan selalu kami sertakan dalam kegiatan keluarga, termasuk dinner ini.
Saya lalu berkata, “Dek, lain kali, kalau terkait masalah biaya, mbokya cerita dulu sama Ayah. Jangan sok mutuske begitu.”
Lha, banyak sekali itu, Yah, uang segitu,” sahutnya.
Saya tiba-tiba teringat Dek Gara yang beda banget gayanya sama kakaknya ini dalam urusan harta. Haaa, Dek Gara, Dek Gara….
“Iya, tapi rembukan dulu, gimana-gimanya kan bisa diputuskan kemudian,” sahut mamanya.
Batallah Dek Diva ke Jerman. Dia tampak menyesal sekali dengan keputusannya yang terlalu cepat setelah mendengar nasihat saya. Tapi bubur sudah kadung masuk perut.
Sekitar tiga bulan kemudian, sepulang sekolah, Dek Diva tampak begitu sumringah. Ia lalu bercerita dengan penuh semangat bahwa sekolahnya akan mengadakan studi tour ke Malaysia, Thailand, dan Tiongkok. Tiga tujuan negara ini bersifat pilihan.
“Kamu pengin ikut nggak?” tanya saya.
“Iya dong. Yang Jerman aja dulu udah batal.”
“Ambil yang mana rencananya?”
“Tiongkok.”
“Kenapa Tiongkok?”
Lha Malaysia dan Thailand kan kita udah ke sana dulu, Yah. Maunya Tiongkok saja.”
“Ya udah daftar saja.”
“Udah kok, Yah.”
Saya tersedak. Menatapnya dalam-dalam dengan penuh curiga; jangan-jangan kejadian lagi deh aksi sok mutuske itu. Lalu saya berkata dengan nada mengkonfirmasi, “Jadi formulirnya udah dibagiin, lalu kamu isi, dan berarti kamu sudah daftar, begitu ya?”
“Iya. Sudah komplit semua. Ayah tinggal transfer ke rekening ini.” Intonasinya datar kala menyodorkan sehelai kertas yang menerakan deretan nomer rekening dan 1850 USD.
Wahaaaaa, anak ini kembali mengambil keputusan cepat! Keputusan kali ini niscaya belajar dari keputusan cepat sebelumnya yang menyebabkannya batal ke Jerman. Kalau dulu ia memberatkan besarnya biaya yang harus saya bayarkan, kali ini poinnya niscaya semata jangan sampai ketinggalan momen ke Tiongkok akibat memberatkan biayanya. Tentu dengan berlandas kata-kata saya dulu. Poinnya ya sami mawon: tanpa rembukan!
Saya terbahak sendiri, lalu mengelus kepalanya, dan berkata, “Kamu ini cepat sekali sok mutuske, tanpa rembukan lagi.”
Ia tertawa. “Lha kata Ayah kan kalau aku memang pengin ya daftar saja.”
“Iya sih….” Suara saya terpenggal sampai di sini saja. Meski dalam hati saya melanjutnya, “Kamu nggak salah. Iya, iya kamu nggak salah. Kamu boleh ikut, hanya saja mbokya rembukan dulu gitu lho, Dek….”
Beberapa hari lagi ia akan berangkat ke Tingkok. Saya sudah menyiapkan segalanya, termasuk uang sakunya. Saya berharap ia tak mengambil keputusan cepat lagi dalam hal uang saku ini dengan misal menagih sendiri uang sewa pada anak-anak kost Rumah DIVA semata demi memudahkan urusan saya.
Jogja, 10 April 2015

4 Komentar untuk "GAYA CEPAT DEK DIVA"

Wah jos pak haaa. Kalo anaknya cowok dan besar mungkin larinya kayak bapaknya ke kandang MU :-)
Salam rival pak dari Kota Pelabuhan :-)

Haaa....adeknya tak suruh kuliah di manchester. Biar saya punya alasan ke sana melulu haa

hahaha ada-ada aja, ya, anak-anak. semoga mereka tumbuh jadi anak-anak yang shaleh shalehah, ya, Om. ada doa yang saya panjatkan untuk om dan sekeluarga *sok drama ini* haha

Back To Top