Personal Blog

ISLAM NUSANTARA VERSUS ISLAM UNIVERSAL (Maafkan Lancang Saya, Prof. Faisal Ismail)



“Islam itu satu hal dan orang Islam itu satu hal lainnya.”
Muhammad Abduh

Sesungguhnya, saya ragu untuk menerbitkan tulisan ini.Maafkan saya, Prof.
Saat menyusun skripsi di tahun 1999 tentang Politik Islam, saya menjadikan disertasi Faisal Ismail (silakan googling figurnya) sebagai salah satu sumber primernya. Dari beliau, saya menukil banyak pemikiran tentang “tiadanya kewajiban menegakkan politik Islam yang legal-formal” macam khilafah yang diidamkan Felix dan kawan-kawan HTI, sebab pesan moral ayat-ayat politik itu bersifat kontekstual. Gagasan beliau ini sejalur dengan banyak intelektual sezamannya, sebutlah Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid.
Sependek pengetahuan saya yang belum juga bisa wisuda doktoral ini, setiap pemikiran yang menggunakan kata “kontekstual” meniupkan angin simbiosis-mutualis antara teks suci di satu sisi dan realitas umat di sisi lain. Teks suci tentunya tunggal (Alqur’an dan hadits), permanen, tsabit ‘ala al-tamam, absolut, bersifat universal, sepanjang masa. Sebaliknya, realitas umat niscaya selalu dinamis, beragam, tsabit ‘ala al-niqas, relatif, bersifat regional, tidak sepanjang masa. Tak usah jauh-jauh untuk mencari contohnya, ambil saja masalah politik Islam yang menjadi tema pokok disertasi beliau. Ayat-ayat dan hadits-hadits tentang “politik Islam” jelas permanen, tsabit ‘ala al-tamam, absolut, bersifat universal, sepanjang masa, tetapi realitas umat selalu sebaliknya, lantas keduanya berdialektika, berpadu, sehingga lahirlah pandangan hukum yang beragam. Di kita, wajah politik Islam kini tertampilkan secara substantif, tidak legal-formal, dan Pancasila sudah dinyatakan memuat nilai-nilai substantif politik Islam. Wacana menegakkan khilafah karenanya tertolak.
Selesai.
Tanpa ragu, saya pun lalu meletakkan beliau yang saya hormati selevel dengan pemikir-pemikir muslim kontemporer lainnya, seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Quraish Shihab, hingga Amin Abdullah.
Tetapi saya kaget benar ketika tiga hari lalu menemukan postingan artikel beliau di sebuah media online mengkritik Islam Nusantara dengan membenturkannya pada Islam Universal. Beliau menyimpulkan bahwa pelabelan Islam Nusantara bermasalah (logical fallacy) lantaran mengandaikan berjubelnya wajah-wajah Islam, padahal Islam diturunkan untuk semua umat manusia, sepanjang masa, tanpa mengenal batas-batas regionalnya. Islam adalah satu, tidak beragam, dan itulah Islam Universal.
Tentu saja tak sopan untuk meragukan beliau tidak intim sama nama Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Mohammad Abed al-Jabiri,  Mohamed Arkoun, Muhammad Syahrur, Jasser Auda, Abdullah Saeed, Nasr Hamid Abu Zayd, Ibrahim Abu Rabi’, hingga Fathi Osman. Siapalah pangkat saya untuk mempertanyakan kedalaman penguasaan wacana Islamic Studies beliau.
Namun saya sungguh tak habis pikir, bagaimana mungkin beliau “tampak kesulitan” untuk sekadar memahami dan meletakkan Islam Universal di satu sisi dan Islam Nusantara (serta sebutan-sebutan Islam lokal lainnya atau ortodoksi-ortodoksi) di sisi lain sebagai, meminjam ilustrasi Amin Abdullah, mata uang yang satu sisi dengan sisi lainnya berbeda tetapi tak pernah bisa dipisahkan; antara Normativitas Islam di satu sisi dengan Historisitas Islam di sisi lainnya; antara Islam sebagai teks di satu sisi dengan tafsir manusia di sisi lainnya; antara maqashid al-syar’i yang dikandung teks di satu sisi dengan mutlaknya kebutuhan semua manusia pada breakdown maqashid al-syar’i hingga terbentuk dalam rupa istinbath al-hukmi. Kitab-kitab fiqh Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali merupakan wujud nyata  breakdown maqashid al-syar’i itu. Kitab-kitab yang berusaha membumikan secara praktikal Islam Universal di hadapan hidup umat Islam yang pasti beragam.
Tentu saja, tak laik disangkal, Islam itu universal. Islam diturunkan kepada seluruh umat manusia dalam sepanjang masa. Rahmatan lil ‘alamin. Inilah watak istimewa Alqur’an; selalu aktual untuk dikail ajarannya dalam ragam tempat dan zaman (shalih likulli zaman wa makan). Menampik Islam Universal niscaya mencerminkan problem epistemologis dalam mengimani teks-teks absolut Islam.
Namun demikian, tidaklah ilmiah (untuk tidak saya sebut menye-menye) sama sekali untuk melupakan dimensi historisitas yang melingkupi setiap fase (tempat dan masa) kehidupan umat Islam. Mari pikirkan, bagaimana mungkin kita bisa menutup mata pada perbedaan khazanah konteks (adat, tradisi, kebiasaan, dinamika) hidup umat Islam itu sendiri, yang sudah pasti berbeda antara Arab dan Indonesia, misal. Teologi Wahabi dan fiqh Hanbali yang dijadikan patron oleh masyarakat Arab Saudi (penguasa dan rakyat) tak akan relevan bila diterapkan di sini secara copy paste, atas nama apa pun, termasuk penjunjungan Universalitas Islam. Sebab Islam yang dianut Arab adalah satu hal; Islam yang dianut kita adalah satu hal lainnya. Hal-hal yang berbeda ini adalah keniscayaan historis yang amat sederhana untuk sekadar dipahami oleh mahasiswa Islamis Studies semester 5 sekalipun.
Lalu, bagaimana riwayatnya cendekiawan sekaliber Faisal Ismail gagap untuk melihat peta mutlak ini; kemutlakan yang dipersembahkan oleh sunnatullah keragaman konteks historis kehidupan setiap kita?
Saya pasti telah melewatkan banyak hal dalam laju konstelasi pemikiran beliau; sejak menerbitkan disertasi dimaksud hingga di usianya kini. Saya tak tahu itu apa, bagaimana, dan untuk kepentingan apa. Tentu itu hak beliau.
Tetapi, saya tak sanggup menampuk sedih membaca artikel baru yang beliau publikasikan itu. Saya tak berpretensi memvonis artikel itu cermin kemunduran wacana keislaman. Sekali lagi, saya hanya sedang sedih. Sedih untuk membayangkan: “Jika cendekiawannya saja bisa berpikir reduktif-diametrik demikian, lalu akan seekstrem apa lagi kaum awam di jagat sosial media?”
Masjid Syuhada, Jogja, 10 Juli 2015




0 Komentar untuk "ISLAM NUSANTARA VERSUS ISLAM UNIVERSAL (Maafkan Lancang Saya, Prof. Faisal Ismail)"

Back To Top