Personal Blog

Dijual Murah Surga Seisinya!

Pak tua itu kembali berbisik, “Nih, Mas, kalau mau mak nyus, saya ada obat rahasia, dari Madura. Dijaminnn…!” Matanya melotot, mungkin biar terkesan meyakinkan, diam menunggu. Tapi aku segera menggeleng.
“Nggak, Pak…”
“Lho, kamu masih muda, jangan abaikan soal ranjang itu…”
“Nggak, Pak, malah istri saya bilang kalau saya kayak orang hiper,” sahutku sepintas, biar masalah ini segera tuntas.
Ia kembali menjejeri langkahku. Lalu kembali berbisik, lebih kecil dari bisikan penawaran obat kejantanan tadi. “Kalau surga, gimana?”
“Maksud Bapak…?” Aku tak menghentikan gerak kakiku.
“Mau masuk surga nggak?”
“Semua orang juga maunya begitu, Pak…” sahutku sambil mengekeh.
“Eittt…jangan salah, Mas. Maksud saya, saya bisa menunjukkan kepada kamu cara masuk surga.” Nafasnya terdengar mulai kelabakan mengejar langkahku. Maklum, tangga naik ke Borobudur ini memang sangat terjal. “Gimana, Mas…?”
“Bapak sehat kan?”
“Lhah piye to, Mas, sehat dong! Liat, saya kan masih kuat ngejar langkahmu! Gimana soal surga tadi?”
“Mau dijual berapa tuh rahasia masuk surganya…” sahutku samhil terus menanjak ke puncak Borobudur ini.
“Murah, maharnya hanya 50.000. Cuma, masalahnya kamu mau mengamalkannya lakunya nggak. Itu kunci suksesnya masuk surga.”
“Laku apa?”
Ia menepi, mengusapkan lengan keriputnya ke jidatnya yang sangat legam diterpa terik matahari. Nafasnya terdengar kian terengah. “Mas, minggir sebentar, saya jelaskan dulu sambil duduk ngaso ya.”
“Wah saya buru-buru, Pak…”
“Mas, sebentar saja, ini tak lebih dari 10 menit kok.”
Aku menepi juga akhirnya. Kusuruh May terus naik saja, menunggu di puncak sana. Kupegang tangan anak lelakiku 64RA, kupangku. Dahi kecilnya yang murni tampak berkeringat, keringat yang juga murni. Ia memang masih murni…
Pak tua itu duduk begitu saja di lantai pelataran candi ini, dengan punggung bersandar ke dinding candi. Ada relief perahu di balik pundaknya.
“Laku apa, Pak?” tanyaku tak sabar. Kulihat istriku telah hamper sampai di puncak candi. Tangannya yang amat kucintai melambai, memanggilku. Aku hanya mengangguk.
“Begini, Mas. Tolong ini dirahasiakan, hanya orang-orang tertentu yang boleh mengetahuinya, dan kamu adalah orang yang beruntung sekali.”
Aku tersenyum, agak kecut seberanya, karena kukira bahasa promotif seperti ini niscaya dijual oleh para pegang yang menggaet konsumennya melalui cara-cara provokatif begini. Dan kukira pak tua ini adalah salah satu dari gerombolan macam itu.
“Kamu muslim kan, saya lihat istrinya berkerudung?”
Aku mengangguk kecil.
“Kamu rutin shalat Jum’at di masjid nggak?”
Aku mengangguk kecil.
“Kamu suka memasukkan uang ke kotak amal?”
Aku mengangguk kecil.
“Biasanya berapa?”
“Nggak mesti, Pak.”
“Baik, anggap saja tiap shalat Jum’at kamu nyemplungin uang seribu rupiah ya. Jadi rahasianya begini…” ia mendekatkkan mulutnya yang bau asap rokok ke telingaku, lalu mengalirkan internalisasi resep rahasia masuk surga itu…
***

Aku ngakak segila-gilanya. Istriku pun tak kalah hebohnya. Eh, o ya, aku baru tahu sekarang ini kalau ternyata istriku juga jago ngakak. Bahkan, maaf, sampai terkencing-kencing. Kata, “Lucu…lucu…lucu…” tak henti-hentinya melompat dari bibirnya yang seksi.
Tetapi menjelang malam kian tua, ketika kulihat istriku telah terkapar diterjang lelah dan penat, kala sepasang mata indah nan mungil kedua anakku terkatup dalam belaian mimpi-mimpi yang tak mampu mereka terjemahkan sebagai apa-apa, wajah pak tua itu tiba-tiba menyeruak ke dalam isi kepalaku. Garis jidat rentanya yang legam, batang hidungnya yang dekil berdebu, mulutnya yang tak lagi menyimpan gigi-gigi kecuali sisa-sisa gusi yang semakin bau tanah, berdiri tegas di balik tempung kepalaku. Tawanya, kekehannya yang tak indah, suaranya yang bergeletar, apalagi resep rahasianya tentang cara mudah masuk surga…
Subhanallah! Bagaimana mungkin di muka bumi ini ada seseorang setelah Rasulullah Saw. yang mampu menjamin orang lain masuk surga? Jangankan orang lain yang tak dikenal, bahkan diri sendiri pun tak jelas di mana rumah abadinya kelak. Para mistikus pun tak mampu menjawab pertanyaan Rabi’ah al-Adawiyah apakah dia kelak akan masuk surga atau neraka, apalagi manusia di zaman serba duit sekarang ini?! Ampun, ini gila, pasti gila, bahkan sangat gila!
Aku tersedak menghisap rokok kesepuluh batang ini. Kulirik almari jam, hamper pukul tiga, sebentar lagi istriku pasti bangun, mengajakku shalat Isya’ dan tahajjud. Tanggung benar kalau aku tidur.
“Subhanallah…! Ma, Mama, bangun…!” kugoyang-goyangkan tangannya yang amat kucintai. Matanya mengerjap, ditahan kantuk.
“Jam berapa?”
“Hampir jam tiga...” Kutatap matanya yang memukaukan setiap lelaki. “Ma, aku jadi berpikir bahwa pak tua di borobudur pastilah bukan orang sembarangan. Jangan-jangan dia malaikat…!”
Istriku tersenyum –senyum yang selalu meyakinkanku betapa aku tak akan pernah menyesal untuk menikahinya.
“Caba pikirkan. Dia tanya tentang infak Jum’atan di masjid, anggaplah seribu rupiah. Kalau aku mulai ke masjid untuk Jum’atan pada umur 12 tahun, rutin sekalipun, lalu aku mati pada umur 70 tahun, maka akan ketemu masa Jum’atan selama 58 tahun. Angka 58 itu kita kalikan 12 bulan, dikalikan lagi 4 minggu dalam satu bulan, maka hasilnya adalah 2.784 kali shalat Jum’at. Lalu kita kalikan lagi jumlah infakku sebesar seribu rupiah, hasilnya 2.784.000. Jadi pak tua tadi menjamin bahwa aku akan masuk surga, plus bonus semua isinya, hanya dengan membelanjakan harta di jalan Allah sebesar Rp. 2.784.000.?!”
Istri mengerutkan keningnya yang amat mulus. Lalu tersenyum kecil. “Jangan-jangan pak tua tadi menyindir kita, Yah…?”
“Itulah sebabnya kupikir jangan-jangan pak tua tadi adalah malaikat!” Bulu kudukku jadi merinding. Masak iya sih, hanya dengan menafkahkan hjarta sebesar Rp. 2.784.000. seumur hidup, aku akan otomatis masuk surga, bahkan berhak menikmati semua isinya yang dijanjikan oleh Allah tak pernah terbetik dalam pikiran dan imajinasi manusia? Adilkah itu?
Masyaallah! Sujudku kali ini sangat lama, sampai-sampai istriku nyelutuk begitu sewaktu salam selesai dilafalkan. Tapi jujur, dalam sujud panjang tadi, aku tak berpikir tentang doa-doa sujud, kekhusyukan, dan sebagainya, tetapi justru tentang pak tua itu, jumlah shadaqah itu, lalu surga dan isinya.
Usai shalat, sambil menunggu Subuh, aku mondar-mandir ke depan dan belakang rumah. Setiap kali melintas di garasi, kutatap dalam-dalam wajah sunyi Jazz, CRV, Altis, Fortuner, Ninja, dan Mio yang diam seribu bahasa. Ya Allah, jika memang kini harga surga sudah diobral sedemikian murahnya, berarti Mio ini saja sudah lebih dari cukup untuk menghantarku dan istriku masuk surga. Apalagi jika semua nilai kendaraan ini diuangkan, bukankah penduduk sedesa Jomblangan ini akan masuk surga semua?!
Aku menggeleng, pusing, sangat pusing. Ada sangat banyak dosa yang telah kuperbuat, entah itu yang memang kutahu sebagai dosa atau bukan dosa tapi sesungguhnya di mata Allah adalah dosa.
“Pak tua itu telah menyelamatkanku…” gumanku lirih, memutus wajah tuanya yang legam.

Djokdja, 8 Agustus 2008/2010
0 Komentar untuk "Dijual Murah Surga Seisinya!"

Back To Top