Personal Blog

Semua Kita Sama

Dari kafe ini, kusaksikan sepasang bule itu, tampak mesra banget bergandengan, sesekali cekikikan, saling memeluk, dan berbisik, entah apa. Siapa pun dia, status sosial ekonominya seperti apa, dari negara manapun, niscaya mereka tengah begitu bahagia dan saling mencintai satu sama lain.

Lalu, kulihat pula empat orang asing yang dari fisiknya kelihatan orang Jepang. Sepasang bapak ibu plus dua anaknya yang masih kecil. Mereka tampak begitu asyik menikmati liburan malamnya. Bercengkrama. Tertawa. Siapa pun mereka, dari Kyoto atau Nagasaki atau manapun, seberapa banyak harta mereka di sana, niscaya mereka tengah bahagia dan saling mencintai satu sama lain.

Begitu pun saat kubandingkan dengan sepasang muda berwajah Arab dan India itu. Tampak mereka begitu saling cinta, sayang, perhatian, dan niscaya mereka tengah begitu bahagia dengan hidupnya.

Juga tak kalah asyiknya kala kuperhatikan orang-orang kita yang cekikikan bersama, terbahak, ngobrol ngalor-ngidul sedemikian hangatnya. Ada yang berangkulan, berpelukan, bergandengan, menyandarkan kepala, dan sebagainya. Siapa pun mereka, niscaya mereka tengah begitu bahagia dan nyaman dengan kehidupannya masing-masing.

Ahhh, ternyata, sungguh amat nyata, betapa semua orang itu hakikatnya sama ya. Nggak peduli orang Eropa yang putih, orang Afrika yang hitam, orang Jawa yang coklat, orang Jepang yang sipit, hingga orang Arab yang hidungnya begitu boros berlebih itu, semuanya sama. Semuanya begitu mencintai hidupnya, menyayangi pasangannya, tertawa hangat, bercanda bahagia, dan menikmati kenyamanan hidupnya.

Jika fakta ini begitu terang menunjukkan pada kita bahwa sejatinya semua kita ini sama dalam hal keinginan, mimpi, cita-cita, dan cintanya, lalu mengapa ya begitu sering pikiran dan hati kita dalam perilaku nyata mudah banget merendahkan yang lain dengan mengunggulkan yang lainnya? Yang orang Arab begitu gampang kita unggulkan sebagai “mulia”, sementara yang bule dengan pakaian minimnya begitu enteng kita tuduh sebagai “amoral”.

Mengapa kita bisa bersikap sedemikian kurang fair-nya pada sebagian orang yang jelas-jelas kita tahu sejatinya mereka sama dengan diri kita, yang dipicu oleh sebab perbedaan mereka dengan diri kita dalam hal pandangan hidup, pemikiran, budaya, dan apalagi agama?

Sadar nggak sadar, betapa sangat rajin kita memvonis orang lain yang berbeda dengan kita sebagai orang buruk, bejat, dan sesat ya?

Sadar nggak sadar, sungguh betapa gemarnya kita mengandaikan mereka (bahkan ada sebagian dari kita yang kemudian mengeksekusikan dalam perilaku) sebagai calon penghuni neraka, yang kan malang hidupnya, yang sungguh patut kita kasihani, kalau perlu kita arahkan menuju jalan keselamatan, bahkan bila perlu dengan paksaan dan kekerasan?

Ahhhh…

Sesungguhnya, setiap kita sama-sama sedang berusaha mencari jalan keselamatan itu, kan? Jalan hidup yang kita andaikan, lalu kita yakini, sebagai jalan yang lurus, yang terbaik untuk hidup kita, yang akan membawa kita kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jika kita berpikir demikian, sungguh mereka pun yang berbeda perilaku budaya, politik, sekte, dan agamanya dengan kita, juga berpikir yang sama kok dengan kita. Buktinya, lihatlah betapa setiap mereka memiliki cara pandang dan pilihan perilaku sendiri, yang semua itu mencerminkan dengan sangat mendasar jalan hidup yang mereka rasakan cocok dan nyaman buat dirinya.

Lantas, jika demikian faktanya, masih patutkah buat kita untuk menempatkan diri sebagai pemangku jalan keselamatan hidup itu, dengan menafikan jalan keselamatan hidup lainnya?

Bukankah dengan berpikir seperti ini hanya akan menghantarkan kita untuk berpikir dan bersikap under estimate pada siapa pun yang berbeda dengan cara hidup kita?

Bukankah selanjutnya ini hanya akan mendorong kita untuk mengklaim diri sebagai “yang selamat” dan lainnya yang berbeda sebagai “yang celaka”, di dunia dan akhirat?

Bukankah telah begitu nyata kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa ekspresi cinta, persahabatan, kekeluargaan, dan kebahagiaan di wajah-wajah mereka mencerminkan bahwa mereka sama sepenuhnya dengan kita, yang sama-sama ingin bahagia dan selamat dalam menempuh hidup di dunia dan akhirat?

Sungguh, sudah dari sono-Nya, semua kita berbeda dalam hal berpikir dan bersikap untuk mengambil jalan hidup itu. Perbedaan-perbedaan itu bukanlah suatu kesalahan, tetapi kodrat Tuhan, yang selogisnya wajib terjadi akibat beragamnya perbedaan cara pikir yang melingkari setiap hidup kita. Kalau setiap perbedaan diklaim sebagai kesalahan, tentu ini sama dengan menyalahkan kodrat Tuhan kan, dan bukankah sikap lancang menyalahkan Tuhan ini adalah keburukan yang amat buruk?

Ya, bagaimana tidak sudi disebut “keburukan yang sangat buruk”, jika kita yang sekadar ciptaan Tuhan, sama manusianya dengan milyaran manusia lainnya di muka bumi ini, yang berbeda-beda itu, kok memaksakan diri untuk “menjadi tuhan baru” atas nama Tuhan Yang Sejati?

Aneh kan, lucu kan, naif kan!

So, Bro/Sist, sudah sangat terang dalam kitab suci yang kita yakini bahwa jika Tuhan menghendaki maka Dia akan menjadikan manusia seagama semua, dan itu bukanlah hal yang mustahi bagi-Nya, tapi toh faktanya Tuhan sengaja menjadikan manusia berbeda-beda dalam wujud kelompok, suku, warna kulit, jenis rambut, jenis kelamin, hingga agama. Jika sikap ngemong Tuhan pada semua manusia yang berbeda-beda itu adalah pilihan kehendak-Nya, kok yo beraninya kita mengaku-aku atas nama-Nya melakukan tindakan yang justru bertentangan dengan kehendak-Nya ya?

So what?

Yakinlah bahwa nggak ada sepenggal manusia pun yang mengimpikan dirinya kelak akan hidup di neraka.

Percayalah bahwa semua manusia, sebagaimana kita, sama-sama ingin memperoleh ridha-Nya, meraih surga-Nya. Hanya saja, kita memang berbeda-beda dalam banyak hal, yang kelahiran perbedaan-perbedaan itu sungguh bukanlah suatu kebetulan belaka atau melintasi proses yang sederhana. Semua perbedaan yang terjadi antarkita sepenuhnya meliputi cara pandang kita terhadap dunia seisinya, cara pikir kita terhadap kebaikan hidup, dan cara terjemah kita terhadap cinta.

So, hentikanlah segala bentuk anarki atas nama kebenaran sekalipun, karena semua kita sesungguhnya sedang sama-sama mencari jalan kebenaran itu.

So, campakkanlah segala bentuk paksaan atas nama kebaikan sekalipun, karena semua kita sejatinya tengah sama-sama berjuang menuju kebaikan-kebaikan itu.

So, jangan pernah melakukan kekerasan atas nama Tuhan sekalipun, karena hakikatnya Tuhan tidak pernah menghendaki arogansi dan kekerasan apa pun dalam kehidupan ini.

“Love and peace…” Tuhan sangat menekankan ini dalam setiap kitab suci-Nya.

Jakarta, 15 November 2011
0 Komentar untuk "Semua Kita Sama"

Back To Top