Mungkin kini kau paham, bagi para lelaki pemurung sepertiku yang baginya
cinta, penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan hanyalah alasan untuk memelihara
kesunyian abadi, kehidupan ini tidak menawarkan kebahagiaan ataupun kesedihan
yang luar biasa.
Berkali-kali halaman 440 dari novel Namaku Merah karya Orhan
Pamuk ini saya baca, berkali-kali itu pula imajinasi saya terlesat bagai anak
panah pada sosok Pangeran Gautama. Anda benar, Sidharta Gautama, lah, yang saya
maksud, tepat saat ia tertegun menyaksikan tiga jenis penderitaan (tua, sakit,
dan mati) di luar tiga istana megahnya (istana musim panas, musim dingin, dan
musim hujan), yang ternyata (bisa) mendera manusia. Pengeran Gautama
lantas meninggalkan semua “sangkar emas” yang selama ini dikungkungkan
ayahandanya agar ia tak pernah melihat penderitaan. Berkelana ke tempat-tempat
jauh; pelosok desa, ngarai, sungai, laut, lembah, dan hutan. Untuk melayari “kesunyian
laut di dalam batin”: apa arti hidup ini….
Setelah puluhan tahun berkelana, ia disinari “pencerahan” di bawah pohon
Bodhi, lalu mengajarkan nasihat kasunyatan Budhisme yang hingga kini diamini
oleh jutaan manusia dari berbagai belahan dunia.
Teramat acap memang, dalam grafik yang sama sekali tak lagi sanggup
dipermanai, segala apa yang kita definisikan “kehidupan” justru mencerabut
inti tujuan kehidupan itu sendiri. Para bijak bestari lantas memilahnya dengan
kata-kata ajaib yang dicoba-ramu semanis syair-syair M. Aan Mansyur di buku Melihat
Api Bekerja, seperti “Engkau adalah impianmu, maka bermimpilah
setinggi-tingginya.”
Tak ada yang silap dengan kata-kata ajaib nan bestari itu. Di jagat modernisme
yang sangat bising dan gegas ini, kelindan-kelindan impian, resolusi, dan
target hidup telah tertabalkan sebagai “proyeksi masa depan” (dalam bahasa
Martin Heidegger), sejenis “pemaknaan atas tujuan hidup”, sehingga Anda akan
distempel ganjil bila tak seturut shafnya. Bagaimana mungkin kita mengaliri
hari-hari yang mengalir tanpa keinginan? Tetapi, mohon rehat sejenak, jika
tidak ke lautan, hendak kemanakah aliran hari-hari penuh keinginan itu
dimuarakan?
****
Seorang kawan berbisik bahwa ia telah “membasuh hidup” dengan cara
mengendarai motor dari Lombok hingga Titik Nol, Sabang. Ia berkisah tentang
nikmatnya kopi Gayo, derita sepanjang hayat para penyeberang akibat pungli
petugas-petugas pelabuhan, hingga orang-orang daerah yang murah hati
menyuguhinya kamar tidur tanpa pungutan sepeser pun. “Uang dalam hidup beberapa
orang bukan lagi uang,” ujarnya dengan mata berkabut.
Saya tertunduk, malu, semoga pula Anda. Ia memungkasi kisahnya dengan sitir
yang lebih dalam melukai bebal: “Aku sungguh-sungguh ingin berduka pada diri
sendiri, tetapi tak mampu.” Betullah Pamuk di sini, betapa menakutkannya menjadi
seseorang yang berhati batu.
Hati batu. Ini biangnya!
Pangeran Gautama menjadikan “tua, sakit, dan mati” sebagai titik sipapas penanggalan
“hati batu” yang puluhan tahun dirawat kemewahan istana-istana ayahandanya.
Tokoh “aku” dalam novel Pamuk, yang saya kutip di awal, “memelihara
kesunyian abadi” sebagai pemecah “hati batu” yang dinamai cinta,
penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan. Kawan saya itu menjadikan
“ritual naik motor” dalam bentang jarak yang tak masuk akal, yang disebutnya
“membasuh hidup”, sebagai pemecah “hati batu”.
Setiap kita, secara eksistensial, tak terperi menghausi “ritual-ritual”
pemecah hati batu itu. Soal bentuk ritualnya, tentu tak tepermanai maujudnya;
tetapi hakikatnya adalah semata kasunyatan. Sidharta Gautama, usai
mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi, menyebutnya “kesunyian laut di
dalam batin”.
Bahwa jagat modern yang membelenggu hidup kita kini sangatlah lesat dan
berisik, yang setia bermurah hati memasungkan jiwa tergesa dan berkekurangan, itulah
fakta-fakta paling jemawa penahbis kematian kasunyatan di dalam “laut
batin” kita. Hidup yang selalu beriuh dan bergegas, muhallah mengkuasakan sejenak
waktu berteduh dan berhenti agar sempat membatin. Berpuluh tahun lamanya kita biarkan
pasungan batin itu, padahal kita sepenuh mafhum bahwa sejak detik itu jugalah
kita tidak lagi sepenuh manusia. Manusia yang tak sepenuh manusia, menukil
George Orwell, tidaklah lebih afdal daripada binatang yang tidaklah lebih
binatang daripada yang selainnya.
Jika Anda percaya kesahihan agama, mari ingat-ingat sejenak wejangan Nabi
Agung, Muhammad Saw., di sini ribuan tahun silam bahwa pada diri manusia
terdapat “segumpal daging”; bila ia baik maka baiklah seluruh hidup kita dan
bila buruk maka buruklah seluruh hidup kita. “Segumpal daging” itu adalah hati.
Sabda Nabi itu menjadi garansi primordial bahwa setiap kita memiliki hati,
tetapi siapakah di antara kita yang sepenuhnya menggunakannya dengan cara merawat
“kesunyian laut”?
Derasnya keinginan-keinginan selalu menjadi iblis asali “kesunyian
laut” semua kita. Sidharta Gautama tulen benar menggariskan betapa keinginan
merupakan sumber penderitaan. Tentu saja, tak peduli apa pun pangkatnya, semua
kita berantidot pada tabungan hasrat derita. Tetapi, faktanya, siapakah di
antara kita yang benar-benar sanggup mengusir berahi keinginan bertahta di
lubuk hati?
Hanya “kesunyian laut di dalam batin” perisai terbaiknya. Ini sama
sekali bukan pelajaran enggan bekerja, berkarir, dan bercita-cita. Ini sepenuhnya
tentang menghidupi “aku yang batin”
di hadapan meja modernisme “aku yang materi”.
Bertahun-tahun, sejak kanak, kita dibentuk oleh keberisikan dan
ketergesaan tiada tara jagat materialisme ini, sehingga “aku yang batin”
tersingkirkan dari hidup kita, dikangkangi “aku yang materi”. Doktrin “aku
berpikir maka aku ada” sangat badai meremukkan “aku membatin maka aku
ada”. Risikonya telah kita panen bertubi-tubi: terasing dari refleksi,
kontemplasi, dan pemaknaan setekun air mengukir batu. Hati nurani hanya
termiliki, tanpa terpakai. Memburailah segala tamsil keinginan, menghamburlah
segala tamsil penderitaan. Hidup menjadi sunyi dari kasunyatan.
Inilah banjaran isyarat paling nyata atas kebiasaan kita hidup dalam
pasungan keberisikan dan ketergesaan. Pengalaman-pengalaman kehidupan, sebutlah
cinta, kebahagiaan, penderitaan, dan kesedihan, tak lagi menjadi altar makna “kesunyian
laut di dalam batin”, selain siklus hidup belaka: lahir, besar, kawin,
beranak, mati, dan hilang.
Apa bedanya kita dengan sapi?
Jogja, 10 Januari 2016
*) Edi AH Iyubenu, rektor Kampus Fiksi, kandidat doktor UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
@edi_akhiles
Tag :
Artikel
0 Komentar untuk "KESUNYIAN LAUT DI DALAM BATIN (Jawa Pos, 24 Januari 2016)"