Personal Blog

CERITA TENTANG GAJAH (Bagaimanakah Bentuk Gajah Itu?)

Kisah tiga orang buta yang disuruh mengenali seekor gajah yang sama begitu sempurna mencerminkan perbedaan-perbedaan konseptual kita atas sesuatu apa pun dalam hidup ini, mulai dari kecantikan, kekayaan, keindahan, moral, perilaku sosial, bahkan agama dan Tuhan.

Si buta pertama mengatakan bahwa gajah itu bentuknya pipih lebar, karena yang ia sentuh adalah telinga gajah.

Si buta kedua mengatakan bahwa gajah itu bentuknya kecil panjang karena yang pegang adalah belalainya.

Si buta ketiga mengatakan bahwa gajah itu gede buntet tapi pendek karena yang ia pegang adalah kakinya.

Ketiganya sama-sama menyentuh gajah yang sama, lalu menyampaikan pendapatnya, konsepnya, tentang gajah, yang mereka sebut secara semepak sebagai fakta tentang gajah.

Bagi kita yang memiliki “penglihatan” normal, benarkah gajah berbentuk begitu? Tidak, gajah tidak pipih, pendek, atau pun panjang kecil.

Lalu apakah itu berarti ketiga konsepsi itu salah?

Tidak juga.

Ketiga orang yang buta itu sama-sama benarnya dalam membangun fakta atas realitas bernama gajah itu. Hanya saja, karena keterbatasan mereka dalam hal “penglihatan”, mereka tidak mampu melihat secara utuh-komprehensif bentuk gajah yang sesungguhnya, realitas itu.

Jika ditilik dari kacamata realitas (gajah), tentu fakta-fakta yang dibangun ketiga orang buta itu amat menggelikan. Naif. Karena realitas gajah sungguh sama sekali tak terwakili oleh ketiga fakta itu. Ketiga fakta itu hanya mampu menjangkau satu sisi saja, jauh dari komprehensif, jauh dari utuh-sempurna. Tetapi jika ditilik dari fakta-fakta atas realitas gajah itu, maka setiap fakta itu akan menyatakan dirinya sebagai yang benar, sehingga yang berbeda, fakta-fakta lainnya, dinyatakan salah.

Ironis sekali bukan bila fakta-fakta yang kita bangun atas sebuah realitas, yang sungguh tidak mampu menjelaskan secara utuh realitas itu sendiri, justru saling membuat kita berantem, bermusuhan, saling menyalahkan, bahkan mengutuk dan mengkafirkan, apalagi menghalalkan darah?

Sejatinya, setiap kita dalam hidup berperan bak ketiga orang buta itu dalam membangun fakta, menyatakan sesuatu, pandangan, pemikiran, konsepsi, bahkan keyakinan, atas realitas apa pun, termasuk moralitas, agama, dan Tuhan.

Kita sama-sama tidak memiliki penglihatan yang besar untuk menyaksikan dengan utuh apa itu Realitas yang berupa moralitas dan agama. Jika orang Prancis bisa melakukan frenchkiss sebagai ekspresi cintanya pada pasangan, kerabat, atau sahabatnya, lantas kita yang berada di Indonesia yang konon religius ini memvonis salah, buruk, dan bejat kepada kebiasaan hidup orang Prancis itu, seakan kitalah penentu ukuran realitas moralitas itu, bukankah ini sama persis dengan menjadikan diri kita layaknya orang buta yang mengatakan gajah itu pipih dan lebar, sementara orang Prancis mengatakan gajah itu kecil tapi panjang?

“Keterbatasan penglihatan”: inilah penyebab utamanya ketidakmampuan kita semua untuk menyaksikan realitas secara utuh-komprehensif, yang hal itu dipicu oleh karena kita tidak pernah mampu “netral dari presmis-premis” (nilai budaya, sosial, dan agama), yang saling berbeda dengan premis-premis lainnya. Ketidaknetralan premis-premis yang sangat variatif ini, yang kita tahu adalah situasi khas manusia, mengapa lantas mendorong kita untuk menyalahkan yang lain, bahkan tega untuk membunuhnya atas nama kebenaran, bahkan Tuhan, sebagaimana yang dipentaskan saudara-saudara kita di berbagai belahan negeri ini?

Sungguh takkan pernah ada seorang pun, sebuah kelompok pun, atas nama apa pun, yang bakal mampu menjelaskan fakta tentang sebuah Realitas secara komprehensif, lantaran keterbatasan penglihatan dan kekhasan presmis-premis hidupnya itu. Segala fakta, konsepsi, bahkan tata nilai, yang kita warisi atau pelajari dari manapun bukanlah Realitas itu sendiri, tetapi hanya serpihan-serpihan konseptual yang kita bangun, atau dibangun leleuhur kita, terhadap Realitas itu. Sementara di luar sana, juga ada seseorang atau kelompok lain yang mewarisi atau membangun fakta-fakta yang berbeda dengan diri kita terhadap Realitas yang sama.

Lalu untuk apa kita bertengkar, padahal kita tengah sama-sama mewarisi atau membangun fakta atas Realitas, bukan Realitas itu sendiri?

Hadirnya kitab suci jelas merupakan hadiah Tuhan pada kita semua untuk menjadikannya sebagai “secercah penglihatan” dalam membangun Realitas itu. Tanpa bersandar pada kitab suci, kebutaan kita akan sungguh kian parah, dan tentu saja kita akan lebih bahagia memilih untuk tidak buta total dalam memahami Realitas itu.

Menyadari hal ini, niscaya hidup kita akan lebih damai, tenang, dan indah, lantaran kita berkenan menerima keragaman fakta atas Realitas yang sama dalam kehidupan sehari-hari kita, dalam hal apa pun. Kiranya, inilah cara pandang filosofis yang sangat berguna untuk melegakan dada kita dalam menerjemahkan ajaran rahmatan lil-‘alamin itu.


Jogja, 11 Januari 2012
0 Komentar untuk "CERITA TENTANG GAJAH (Bagaimanakah Bentuk Gajah Itu?)"

Back To Top