Personal Blog

DANGKAL ATAU TIDAK ADA PADAMU: “SUDUT PANDANG”


Ada cewek melintas di depanku. Hemm, pake celana dangkal modif, yang paling terdangkal (saking bangetnya) yang pernah diproduksi oleh pabrikan (kayak MotoGP aja). Nggak terima dengan kedangkalan pabrikan, didangkalkannya lagi lebih dangkal sampai batas yang tak terhindarkan dari the darkness imagination of humanbeing. Halahh, opooo ikiiii…
Maka mulailah aku berimajinasi. Imajinasi yang lebih pekat dari pekatnya dunia fantasi ciptaan JK Rowling.
Ah, andai aku bisa ke….bla-bla-bla…
Ah, kalau saja aku ke…tet-tet-tet…
Ah, umpama aku yang ada di…nye-nye-nye…
Ternyata, sudut pandangku, hasil imajinasi terdalam itu, bermuara pada “enyak-enyak” ala Mas Bandul.
Seorang kawan di sebelahku yang sedari dari terdiam, terdengar menghela napas dalam-dalam.
“Kenapa kamu? Sesak napas lihat cewek dangkal itu?” tanyaku.
Ia ngikik. “Ya, gitu deh, dangkal benerrr…”
“Jadi terseret ke adegan Centhini?”
“He em.”
Ah, sama denganku dia!
Di lampu merah, kubuka kaca mobil lalu berkata pada pengamen yang kujulurin uang. “Mas, dangkal banget tuh…”
Ia menoleh, menatap cewek itu, lalu ngekeh, “Iya, jadi pengin…”
Ah, kembali, ada kawan yang sama imajinasinya saat beradu dengan si dangkal itu.
Tiga orang berpikir sama tentang si dangkal itu: sudut pandangnya sama, ya apa lagi toh kalau bukan tentang nye-nye-nye
Yang muda yang bercinta, yang tua yang nggak mau kalah…#halahhh opoo neh ikiii…
****
Tere Liye yang humble dan dekat ke pedot itu, yang bercakap banyak denganku di #JustWrite2 Kaliurang, benar saat mengistilahkan “sudut pandang” sebagai “sesuatu yang berbeda” dari mainstream, arus utama, pemikiran umum. Aku sendiri demen menyebutnya sebagai “no-mainstream”.
Tere Liye telah membuktikan saat semua orang berpikir novel religi dengan judul idiom “Islam dan cinta”, misal Ayat-ayat Cinta, Syahadat Cinta, Surga Cinta, Sajadah Cinta, dia berhasil menemukan sudut pandang baru dengan Hapalan Shalat Delisa. Jeger! Meledaklah buku ini, menyeruak ke permukaan, menaklukkan semua buku yang bernapas sama.
Ya, hanya tentang sudut pandang yang unik, berbeda, eksotik, ekstremnya fresh. Begitu juga dengan Dear, You Moammar Emka yang berhasil menemukan sudut pandang baru dengan pola sajiannya yang quotatif gitu. Juga dengan buku Pocong Juga Pocong, Skripshit, dll.
Ya, semua tentang sudut pandang yang fresh!
“Ah, susah, Bero, Beri, untuk mendapatkan sudut pandang yang baru…” keluhmu sepanjang malam.
Ya, emang! Dan karena susah itulah, maka yang berhasil menciptakannya itulah yang bisa muncul ke permukaan. Dan itu memang nggak banyak! Sehingga yang bisa menanjak ke tangga emas juga nggak banyak! Kalau mudah, banyak yang mencapainya, lalu apa istimewanya lagi coba?
Begitulah. Telah menjadi tugas penulis untuk berusaha sekeras tenaga mencari dan mencari sudut pandang yang unik, fresh, dan out of the box. Gimana cara mencapainya?
Entahlah, aku pun nggak punya sebuah metode sistematis untuk menjelaskannya. Meski, eheemm, mungkin sih kalau boleh disebut, aku pernah punya buku bestseller Andai Aku Jalan Kaki Masihkah Engkau Selalu Ada Untukku? yang ngalami cetak ulang lebih 15 kali dalam rentang 3 tahun.
Sampai sekarang, #EntahKenapa, aku belum berhasil mengulanginya. Pertanda bahwa aku juga nggak memiliki sebuah metode sistematis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk diulangi lagi kesuksesannya. Pertanda bahwa karya-karyaku setelahnya belum berhasil menemukan sudut pandangnya lagi.
Tapi, yang kutahu dan kupegang kini adalah:
Pertama, tak layak bagiku untuk terus suntuk dengan sudut pandang yang berbalik membunuhku untuk tidak lagi menulis. Sama persis dengan nggak layaknya aku untuk menyusun kata-kata indah untuk menembak seorang gadis sampai aku nggak kunjung menembaknya karena merasa belum pernah bisa membangun kata-kata indah itu. So, aku tetap saja menulis!
Kedua, orang yang bisa menjamah sudut pandang yang fresh atau agak fresh, pastilah ia memiliki kekayaan perspektif. Segala hal yang dijumpainya dan diamatinya dan dituliskannya pastilah bersumber pada kekayaan perspektif. Ia tidak hanya akan mengatakan bahwa celana dangkal cewek-cewek di jalanan itu jadi ajang pamer aurat memancing si otong kelololotan resletingnya sendiri. Bukan! Ia pasti akan bisa melihatnya dari perspektif-perspektif lain, yang semakin beda dengan perspektif umum, maka darinya akan lahir keunikan sudut pandang itu.
Maka pastilah orang yang beginian, yang kaya perspektif, adalah orang yang doyan mikir, doyan baca buku, dan doyan bergaul. Yang tidak memiliki tiga item itu, ya sudahlah, ikhlaskanlah untuk terus terjerembab dalam sudut pandang lama, basi, dan jadul tanpa daya.
Ketiga, aku percaya bahwa sikap istiqamah berkarya dalam arus doyan mikir, doyan baca buku, dan doyan bergaul hanya tinggal menunggu momentum untuk mencuat ke permukaan dengan sudut pandang fresh-nya. Yang tidak bisa istiqamah, malah berFathanah, ya lewatlah dan bye bye.
Jadi, kawan-kawan semua!
Dangkal atau tidak sebenarnya benar-benar ada padamu, kok! Sangat! Sepenuhnya! Jika perdangkalan kamu mafhumi sebagai “enyak-enyak”, yang itu adalah sudut pandang jumhur cowok, ya selesaiah kamu di situ dalam kebasian. Tapi jika perdangkalan itu mampu kamu dekati dari ragam perspektif, niscaya akan ada sesuatu yang unik yang bisa kamu ciptakan darinya. Dan itulah yang akan mendorongmu keluar dari genangan jumhur basi, menuju kekuatan karya personalmu!
Teruslah menulis, teruslah berpikir, teruslah membaca, dan teruslah bergaul. Hanya itu cara terbaik untuk menemukan sudut pandanmu!
Jogja, 10 Mei 2013
0 Komentar untuk "DANGKAL ATAU TIDAK ADA PADAMU: “SUDUT PANDANG”"

Back To Top