Personal Blog

SURAT UNTUK SANG WAKTU



Kepada
Yth. SANG WAKTU
Di Cakrawala Tak Berbatas
Dear, Waktu…
Sebenarnya, sudah sangat lama aku ingin berkirim surat keluh-kesah ini padamu. Tapi, aku tak tahu di mana alamatmu. Semalam, saat aku ngungun sendirian di kesepian, aku baru punya ide ke mana akan kukirimkan surat ini. Makanya, baru kutuliskan surat ini sekarang. Aku akan mengirimkan surat ini kepada angin, kan kulemparkan ke angkasa saat ia menderu, biarkan ia yang membawa keluh-kesahku ini ke cakrawala tak berbatas itu….
Dear, Waktu…
Tahu nggak sih, kamu itu adalah hal yang paling nyata tapi paling tak sanggup kumengerti. Sampai hari ini. Iya, kamu nyata banget!
Jika ada orang yang berkata bahwa kamu abstrak, ah…dia pasti kurang belajar dari kenyataan. Kurang mikir. Bukankah dengan sekadar merenungkan diri sendiri, yang 20 tahun lalu masih balita lari-lari ke sana-sini, tahu-tahu sekarang sudah punya balita sendiri, merupakan bukti nyata (bukan abstrak) keberadaanmu, Waktu?
Bukankah melihat tubuh sendiri yang gede, sesekali mulai sakit pinggang, yang itu berbeda sekali dengan 10 tahun lalu, sudah menunjukkan betapa nyatanya keberadaanmu, Waktu?
Apalagi dengan melihat telah begitu banyak orang tercinta di sekitarku, mulai ibu, paman, bibi, sepupu, sahabat, tetangga, kolega, dll., yang telah meninggal, pergi tanpa pernah kembali, menunjukkan wujud nyatamu dalam kehidupanku, Waktu?
Kau sangat nyata, begitu perkasa, besar pengaruhnya, tapi sangat sulit kumengerti, apalagi kurayu untuk kuminta menghentikan langkahmu.
Dear, Waktu….
Pernah berkali-kali aku mencoba mencari tahu tentangmu lho. Aku kepoin kamu. Di antaranya, informasi dari tahun 1967, saat dunia internasional menetapkan pengertian 1 detik adalah waktu yang diperlukan atom caesium-33 untuk bergetar sebanyak 9.192.631.770 kali. Lalu ada pula informasi yang kudapat tentangmu bahwa kamu adalah:
  • 1 menit = 60 detik
  • 1 jam = 60 menit = 3.600 detik
  • 1 hari = 24 jam = 1.440 menit = 86.400 detik
  • 1 minggu = 7 hari
  • 1 bulan = 30 hari
  • 1 tahun = 12 bulan = 365/366 hari
  • 1 windu = 8 tahun
  • 1 dasawarsa = 10 tahun
  • 1 abad = 100 tahun
  • 1 milenium = 1000 tahun
Aku juga mengetahui dari berbagai buku bahwa dalam penyebutan namamu, juga dikenal istilah panca untuk setiap kelipatan lima dan dasa untuk setiap kelipatan sepuluh. Sebutlah istilah panca windu untuk menyebut 40 tahun dan dasa windu untuk menyebut 80 tahun.
Tapi, aku tetap bingung! Aku tetap nggak berhasil memahamimu, Waktu….
Lalu aku pun mencoba mencari tahu dari para pakar Fisika, dan menemukan teori “lubang cacing”, yang banyak bicara tentang misterimu. Ada Isaac Newton (1642-1727) yang banyak bicara tentang konsep Gaya dalam Hukum Gravitasi dan Hukum Gerak. Lalu Albert Einstein (1879-1955) yang ngetop dengan Teori Relativitas yang terbagi atas Relativitas Khusus (1905) dan Relativitas Umum (1907). Hingga ilmuwan fenomenal pengarang A Brief History of Time (buku ini masuk daftar bestseller di Sunday Times London selama 237 minggu berturut-turut, suatu periode terpanjang dalam sejarah) karya Stephen Hawking (1942), yang jago dalam bidang fisika Kuantum, termasuk teori Kosmologi, Gravitasi Kuantum, Lubang Hitam, hingga Mesin Waktu.
Tapi, tapi, aku tetap gagal paham tentangmu, Waktu….

Sungguh, betapa misteriusnya kamu. Kamu nyata, ada, tapi tak kuasa kubaca. Tentu saja, sebagaimana orang-orang semua, aku sangat ingin mengenalmu. Dengan maksud utama ialah untuk merayumu agar kamu memberiku waktu yang lama untuk hidup di muka bumi yang enak ini. Jika rayuanku gagal, aku akan berusaha menyuapmu, seperti para politikus di negeriku yang juara banget main suap tanpa malu bak binatang paling buruk rupa. Jika itu pun gagal, dengan mengenalmu, aku akan berusaha menipumu! Mensiasatimu. Tujuanku tetap sama: membuatmu memberiku waktu yang lama untuk hidup.
Tapi, seperti pula orang-orang lain, sejak zaman dulu kala, dari sosok Nabi Adam, hingga para penakluk dunia seperti Julius Caesar, Khu Bilai Khan, Constantine, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Mehmet II Al-Fatih, Al-Mu’tasim Billah, Harun ar-Rasyid, Gajah Mada, sampai Colombus, Napoleon Bonaparte, Hitler, George Bush, Benyamin Netanyahu, dll., semuanya tak ada yang berhasil merayumu, menyuapmu, atau pun mengibulimu. Semuanya tenggelam di balik ketiakmu, di antara lapis-lapis sejarah yang kamu lindaskan pada hidup ini.
Begitu pula nasib para taipan dunia mulai dari Qarun, Steve Jobs, hingga Bill Gates, semuanya tak berkutik di hadapanmu.
Orang-orang genius pun macam Plato, Ibn Rusyd, al-Khawarizmi, hingga Newton, Einstein, dan termasuk Hawking, semuanya juga terlibas oleh kekuatanmu.
Lalu mereka yang disebut sebagai simbol pesona manusia, mulai dari Nabi Yusuf, hingga Cleopatra, Eva Brawn, Lady Di, Marlyn Moonroe, Demi Moore, Madonna, Shakira, apalagi cuma Syahrini yang alay itu lho, semuanya habis ditelan oleh kekuasaanmu.
Kalau kita sepakat bahwa puncak pencapaian umat manusia ialah kekuasaan, dengan asumsi bahwa di tangan kekuasaanlah berkumpul semua puncak kekayaan, kecerdasan, dan kekuatan manusia yang dengannya semua hal bisa dilakukan, lihat saja 5 kekaisaran paling besar dalam sejarah dunia, yang semuanya rontok diinjak kakimu, Waktu…
Mulai dari Kekaisaran Romawi (27 SM-1453 M), Imperium Britania (1603-….), Kekaisaran Mongolia (1206-1368), Kekaisaran Ustamaniyah atau The Ottoman Empire (1299-1923 M), dan Kekaisaran Persia Akhaimenia (550-330 SM), semuanya lantak di hadapanmu dan kini hanya menyisakan puing-puing jejak kekuasaan masa lalu yang menakjubkan. Datang saja ke Istana Top Kapi, kamu akan menyaksikan jejak-jejak kekuasaan The Ottoman Empire, misal.

Dear, Waktu….
Apalagi cuma aku? Ya, aku? Apa coba yang bisa kulakukan untuk membendung lajumu melindasku?
Nggak ada! Sama sekali nggak ada kekuatan apa pun padaku di hadapanmu. Lalu, aku hanya bisa mengelus dada, mengerutkan kening, mendesah lelah sebagai sosok lemah, atau pun sesekali menangis saat kaki-kakimu menginjakmu tanpa ampun dalam beragam rupa peristiwa.
1 September 2010, kamu menghancurkanku dengan cara mengambil ibuku dari kehidupanku. Tentu kamu tahu sekali betapa aku sangat mencintainya, melebihi cintaku pada siapa pun, bahkan diriku sendiri. Aku memekik di hadapanmu, memohon agar kamu mau memutar jarummu, mengembalikan ibu ke balik dekapanku, meski aku harus menebus dengan apa pun. Tapi, kenyataannya, ibu tak pernah kamu kembalikan padaku, kan?
Beberapa bulan kemudian aku kembali dibuat menangis olehmu saat kamu mengambil bulik dan pakliku tercinta. Sebelumnya, kau juga renggut nenekku.
Tahun lalu, 2013, kamu membawa pergi bapak mertuaku. Ia yang sepuh tanpa kuasa kuundurkan sekejap pun tahu-tahu kamu renggut dari hidupku.
Sebelumnya lagi, kamu ambil sahabatku, Andre yang masih belia. Beberapa tetangga yang kenal baik denganku pun telah kamu renggut. Tanpa ampun. Tanpa terhindarkan. Sedetik pun!
Kemarin, kamu mengambil lagi sahabat yang kuhormati, Pak Johan Toga Mas. Usianya baru 50 tahun. Celakanya, pas beliau ultah di Jogja bulan Pebruari 2014 lalu, aku tak bisa menghadiri undangannya. Aku sempat BBM-an dengannya. Ya, dan tahukah kamu, Waktu, aku masih menyimpan BBM-nya sekarang, juga fotonya?

Dear, Waktu….
Bagaimana caraku berhadapan denganmu? Jika merayumu, menyuapmu, dan mengibulimu merupakan hal yang tak mungkin mempan dilakukan siapa pun, tolong beritahu aku tentang cara lain yang punya makna bagi hidupku di hadapanmu.

Demi waktu,
Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman
Dan berbuat kebaikan-kebaikan
Dan saling nasihat-menasihati dalam kebenaran
Dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.

Dear, Waktu…

Aku terdiam ngungun saat ketemu lagi dan lagi dengan surat pendek dalam al-Qur’an ini. Surat ini mewartakan dengan benderang bahwa semua kita, termasuk aku, adalah manusia-manusia yang selalu berada dalam kerugian. Pembukaan surat tersebut yang mengatasnamakanmu, Waktu, bahkan dengan isim qasam (huruf sumpah), jelas mengabarkan bahwa sosokmu bukanlah sosok main-main. Kamu sosok yang extraordinary, berada di luar jauh jangkauanku yang ordinary.
Tentu, aku paham, yang biasa takkan bisa mengatasi yang luar biasa. Yang kecil takkan bisa mengalahkan yang besar. Yang malas takkan bisa mengungguli yang rajin. Yang bodoh takkan bisa menaklukkan yang cerdas. Yang gigih akan selalu berada di atas yang lemah. Yang bijak akan selalu menang atas yang galauan.
Aku tahu banget itu, Waktu. Jadi, setelah kupikir-pikir surat al-Qur’an tersebut, aku ngerti kini bahwa percumalah aku berjuang merayumu, menyuapmu, dan mengibulimu karena itu takkan pernah sukses. Kamu terlalu luar biasa untuk dipegang oleh tanganku yang biasa.
Aku kini menemukan empat pilar yang harus kulakukan agar aku “tidak merugi” di hadapanmu.

Kecuali orang-orang yang beriman.
Ya, beriman. Sebagai muslim, aku beriman pada-Nya, rasul-Nya, dll., sampai kehidupan setelah kematian. Ini bukan melulu tentang seberapa banyak aku shalat sunnah, ngaji, sedekah, haji, umrah, dll. Bahwa itu benar sebagai ekspresi imanku yang sifatnya ‘ubudiyyah dan mu’amalah, jelas iya. Tetapi bahwa yang lebih penting, pokok, sebagai muslim ialah dengan iman aku menjadi punya orientasi hidup. Punya kompas hidup. Panduan.
Misal gini, Waktu.
Karena aku iman bahwa akan ada kehidupan setelah kematian (kehidupan akhirat), aku harusnya bisa selalu mawas diri untuk tidak congkak, songong, ngibul, ingkar janji, menyakiti orang lain, dll. Iya kan! Lha, bagaimana logikanya aku bisa memaki atau menyombongi orang, misal, jika aku sadar selalu kok bahwa aku akan segera mati dan dimintai pertanggungjawaban nanti? Apa coba alasan logisku untuk sombong pada orang lain karena pintar atau kaya (misal) wong nyatanya jelas-jelas aku akan mati segera kok? Berarti aku kan naïf, nisbi, fana. Barang naïf, nisbi, dan fana masak iya pantas untuk sombong dan sok?
Nggak logis kan!

Dan berbuat kebaikan-kebaikan.
Berkat iman yang begituan kan, lalu aku bisa mengerti bahwa karena aku ini hanya fana, naïf, dan dhaif, ya harusnya aku menjauhkan diri selalu dari segala keburukan kan. Mendekatkan diri pada kebaikan-kebaikan kan. Logikanya ya sungguh sesederhana itu kan.
Maka logisnya jika aku memiliki iman yang baik, niscaya aku dekat dengan perbuatan yang baik-baik. Iman harusnya menjadi mindset penopang aksi-aksi nyata kebaikan sehari-hari. Iman dan aksi harusnya bekerja secara simbiosis-mutualis alias saling berkaitan.
Sungguh nggak lucu kalau aku ngaku beriman, bersyahadat, shalat, puasa, zakat, haji, umarah, ngaji, dll., tapi kok nggak ada koneksi jelas antara ranah mindset dengan aksi nyata. Jika aku demikian adanya, berarti aku ini sesungguhnya “sedang bermasalah dengan imanku”.
Jika aku rajin ikutan pengajian shalawat, tapi aku masih demen aja ngatain orang lain, berarti mindset-ku “sedang bermasalah” sehingga menyebabkan tidak terjadi koneksi itu tadi.
Umpama aku ke mana-mana selalu pakai hijab dengan mindset bahwa itu wajib hukumnya kupakai untuk menutupi aurat sebagai salah satu ajaran imanku, tetapi aku masih doyan gunjingin orang, nyakitin orang, ngibulin janji, berarti mindset-ku “sedang error” sehingga menyebabkan tidak ada koneksi itu tadi.
Dan seterusnya.

Dan saling nasihat-menasihati dalam kebenaran.
Jika aku ketemu seorang kawan, lalu kami berbincang tentang benar dan salah, niscaya seumur hidup kami akan habis tanpa pernah mencapai titik temu. Ya, ya, aku paham kok, Waktu, namanya manusia punya keragaman latar belakang, sudut pandang, landasan, sampai kepentingan.
So, aku memilih untuk menerjemahkan kebenaran sebagai kebaikan. Ini kukira lebih spesifik. Tentu, tidak menuntaskan debat itu sepenuhnya.
Dan aku punya sedikit pegangan untuk menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah. Yakni: “Jika timbul rasa sesal setelah melakukan sesuatu, berarti itu perbuatan yang salah. Jika timbul rasa tenang setelah melakukan sesuatu, berarti itu perbuatan yang benar.
Ya, ya, sesederhana itu kok aku menerjamahkan kebenaran, Waktu. Jika kamu masih ingin bertanya, bukankah manusia itu beragam latar dan rasa? Aku punya jawabannya kok: “Setiap manusia, lintas SARA, dianugerahi ‘nurani’ atau ‘ruhani untuk beriman’ oleh-Nya. Ia menjadi ‘suara Tuhan’ yang tersemat dalam jiwa setiap manusia sejak ditiupkannya ruh di rahim ibunya. Ia menuntun pada ‘kebenaran’. Nah, kan?”

Dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.
Waktu, aku ngerti kok kenapa poin ini penting bagi hidup. Ya, bersabar. Bahwa untuk beriman, jelas butuh kesabaran. Berbuat baik juga butuh kesabaran. Berjalan ke arah kebenaran jelas butuh kesabaran. Segala apa-apa yang arahnya kepada “kebermaknaan” selalu membutuhkan kesabaran. Berbanding terbalik dengan apa-apa yang mengarah pada keburukan alias “ketakbermaknaan”.
Pengin kaya agar bisa lebih banyak membantu orang lain, maka aku harus hemat, rajin menabung, itu sangat butuh kesabaran. Beda banget dengan kegiatan menghamburkan uang yang tak butuh kesabaran sama sekali.
Pengin bisa membaca al-Qur’an, ya jelas harus bersabar. Beda banget kan kalau pengin dugem yang tinggal mencelat aja tanpa menuntut kesabaran.
Digosipin nggak enak sama orang lain, ya sikap terbaik kita ialah bersabar, bukan kok maladeninya. Coba pikir deh, kalau cuma untuk menampar orang atau memaki orang atau memusuhi orang karena kita merasa dizalimi, siapa saja manusianya pasti bisa. Tapi itu kan cermin kita nggak punya stok kesabaran. Itu sekaligus menjadi pengukur kita nggak punya potensi untuk mengarah kepada kebaikan, tetapi malah menuju kepada keburukan.
Begitulah tuntutan kesabaran bekerja dan menghasilkan pembeda antara orang yang keren dan buruk, orang yang rugi dan untung. Semua jenis kebaikan selalu bekerja dalam ranah kesabaran. Sunnatullah-nya begitu. Hukum alamnya begitu.

Dear, Waktu….
Sudah ya, sudah capek saya nulis surat ini. Aku kini nggak akan lagi berpikir, apalagi berusaha, menaklukkanmu dengan cara merayu, menyuap, atau mengibulimu. Tidak. Aku tahu itu sia-sia belaka.
Aku kini hanya akan selalu berusaha agar tidak menjadi “orang yang merugi” itu. Soal kamu akan melindasku kapan saja, itu hakmu, kuasamu. Kapan pun itu terjadi, aku harus memastikan bahwa aku bukanlah golongan dari orang-orang yang merugi itu.
Oh ya, Waktu, aku ingat satu hal di sini. Saat Akhiles menyerahkan jasad Hektor pada Raja Priam, ayah Hektor, ia menangis sejenak di hadapan Hektor dan berbisik begini: “Saudaraku, takkan lama aku pasti menyusulmu. Sampai jumpa….”
Waktuku, waktumu, dan waktunya sungguh sangat tak lama. Jika kau terbersit pikiran bahwa waktumu masih lama, sungguh kau akan menjadi orang yang lalai, karenanya kamu akan menjadi orang yang merugi.
Iiihhhh….ampun!
Jogja, 7 April 2014
3 Komentar untuk "SURAT UNTUK SANG WAKTU"

yang jelas, sang waktu akan meninggalkan kita yang lalai dengannya

Mengharukan... T__T Saat ini seakan semua orang sibuk mengejar waktu, padahal sebenarnya mereka tak akan pernah menang...

Back To Top