Personal Blog

MAKASSAR, KOTA SERIBU KAFE (Catatan Kampus Fiksi Roadshow Makassar 11 Mei 2014)



Di dekat Losari, saya berhenti di depan sebuah gerobak yang memajang tulisan “Pisang Epe”.
“Bu, ini pisang apa?”
“Epe…”
“Iya, itu pisang apa?”
“Bukan apa, tapi epe. E-p-e.” Diejanya.
“Iya, Bu, ngerti, maksud saya apa gitu….?”
“Dibilang epe kok dari tadi, masih apa aja…”
“Bu, maaf, saya kan…”
“Epe lo?!”
“Kalau itu apa, Bu, bukan epe. Yang bener, apa lo…gitu… Permisi, Bu….”
*adegan ini hanya joke fiktif.
****
Pukul 19.00 WIT, saya menginjakkan kaki di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Wow jugalah ini bandaranya. Gede, keren, modern banget. Bandara Jogja, ah…sudahlah. Finishing langit-langitnya mengingatkan saya pada bandara Abu Dabi, Dubai. 



Begitu keluar dari pintu arrival, saya terkesima sama sambutan hangat kawan-kawan Makassar. Hangat banget! Banyak banget pula! Beneran lho, itu para penyedia jasa transport amat bejibun. Haaaa….dan pilihan saya jatuh begitu saja pada seorang anak yang sangat belia. Saya taksir paling masih seusia sekolah SMA.
Guys, betapa shock-nya saya ketika ia kembali dengan mobilnya, Xenia, ke tempat saya menunggu. Modif abis! Mulai dari lampu interior yang meling-meling sehingga dari luar saya bakal kelihatan kayak ikan dalam sebuah akuarium, lalu jejeran botol bekas minuman di dashboard, hingga jok yang telentang abis, dan tentu saja music!
“Keren nih mobilnya,” kata saya sambil nyengir. Kebayang deh kalau yang naik mobil ini bapak tua sekeluarganya, apa kata duniaaaa…?
Alunan musik dangdutan ala Makassar berdentum, mungkin kalau di Jogja disebut dangdut koplo, mengiringi suara mufler yang memekakkan telinga. Gestur sopirnya kelihatan bangga sekali dengan tampilan mobilnya. Sumpah, baru kali ini saya naik angkutan umum dengan modifikasi beginian.
Di tengah jalan, dia menawarkan saya untuk wisata ke Toraja yang jaraknya 10-12 jam, dan tentu saja saya tolak, dengan alasan saya sibuk kerja ini. Gileee kali, naik mobil sejauh itu dengan kondisi bising knalpot, jok ambruk abis gini, plus ban ceper yang menimbulkan bunyi grek-grek aspal menyergap kabin.
You are gahool finished, Man,” gumam saya dalam hati, “meski tentu saja lo bakal lebih smart jika mobil lo ini kagak dipakai untuk jasa transport beginian atuh.”
Ngoaahaaahhh….
Saya menyimpulkan bahwa kota Makassar ini hanya di bawah dikit dari Bandung. Luas kotanya sih kayaknya luasan Makassar. Padat dan macetnya di bawah Bandung dikitlah.
Tiba di jalan Nusantara, di kiri jalan, berderet kafe dan bar yang sebagiannya kelihatan rada vulgar dihuni para teng crentel. Gadis-gadis berbaju minimalis terlihat teng teletek.
“Dipilih, dipilih….!” Kira-kira begitu deh tagline-nya. Haaaaa….
Sisi lain Makassar sebagai sebuah kota besar. Sisi lain sebuah kota besar yang tak terhindarkan keberadaannya. Saya pun teringat wajah lain Bukit Bintang Malaysia yang punya pula deretan tempat beginian. Setiap kota pasti punya cerita beginian. So, biarin sajalah, nggak usah ribetin itu. Pemerintahnya aja diem kok, kenapa ente yang rempong bingit mau ngubah dunia seragam, woyyy
Okay.
****
Pukul 10.30 hari Sabtu, saya naik taksi menuju Battimurung. Lumayan jauh sih, sebagian jalannya juga lumayan memar. Ohhh, ini lokasi air terjun itu lho. Kalau di Jogja, kira-kira nyaris serupa Telogo Putri di Kaliurang. Overall, biasa aja. Yang menarik di sini ialah penjelasan penjaja cindera mata bahwa kata Battimurung berarti “Membanting Kemurungan”. Haaa, entahlah, benar atau tidak, tapi itu cukup menghibur saya untuk ngakak dan kemudian membeli serenteng cindera mata berupa gantungan kunci seharga Rp. 150.000. Maka jika kau berkesempatan datang ke Battimurung, jumpailah penjaja cindera mata gantungan kunci itu, lalu mintalah ia bercerita padamu tentang arti Battimurung, agar kau bisa membanting kemurunganmu di sini. Glek!
Lalu saya pindah ke tempat penangkaran kupu-kupu. Sepi. Rupanya, tutup. Meski ini weekend. Tapi berkat kebaikan sang sopir, saya diijinkan masuk juga. Baru masuk sekitar sepuluh meter, saya memilih keluar segera saat gerimis datang dan terutama setelah melihat beberapa ekor kaki seribu berpacaran, eh…berta’aruf ding, di jalan berundak. Waahh, saya bener-benar nggak mujur kali ini.
“Oke, Pak, lanjut ke Fort Rotterdam aja,” kata saya kemudian sambil memejamkan mata menikmati kenyataan.
Saya pun masuk ke benteng yang jadi ikon kota Makassar ini. Ada apa sih di sini? Nggak ada apa-apa. Hanya tembok-tembok tebal khas warisan kompeni. Saya kira, benteng Vre de Burg Jogja masih lebih eksotis lho. Maaf. Panas mengunyah kepala. Kepala saya dikentang habis-habisan oleh matahari di sini. Di tengah areal benteng ini, ada sebuah konter cindera mata. Mudah-mudahan saya menemukan sesuatu yang unik di sini. Kaos kali. Bertuliskan Fort Rotterdam gitu.
Saya pun masuk ke konter itu dan yang saya jumpai adalah kaos-kaos dengan desain kopi dan kopi. Siaapppp grak! Saya pun guling-guling 10 kali, salto 10 kali, lalu kayang 10 kali, lalu sit up 10 kali, lalu pingsan 10 kali! Pas 50 kali semua aktivitas itu saya lakukan di sini.
Untung, kemudian es kepala muda dan semangkok sup buah menyadarkan saya kembali di seberang benteng ini. Saya memutuskan pulang ke Aston.
Keesokan harinya, Minggu pukul 09.30, saya dijemput oleh dua kawan Pacarita, Pak Bahtiar dan Pak Gege, untuk menuju ke Kafe Belima, tempat diadakannya acara Kampus Fiksi Roadshow Makassar. Acara yang semula di-plan di Universitas Hasanuddin diubah ke sana. Sebagai orang asing, tentu saya sih iyes aja no. Pak Bahtiar dan Pak Gege amat sangat ramah. Khas orang Makassar. Iya lho, orang Makassar itu overall ramah-ramah memang.
Firasat saya mulai nggak enak setelah melihat jalanan yang ditempuh mobil APV biru ini kian lama kian menyempit. Tanda tepian kota. Pukul 09.00, kecemasan saya menyata. Kafe Belima ini adalah sebuah ruko di pinggiran kota dengan jalan tanah membelah di depannya. Begitu turun dari mobil, saya melihat beberapa orang yang tak banyak tengah membersihkan tempat acara. Sebenarnya, saya ingin kayang-kayang lagi di sini 100 kali sekalian biar jadi atraksi unik gitu. Tapi saya memutuskan duduk saja di teras ruko sebelah sambil menikmati kegalauan. Detik demi detik berkelejaran, membuat saya kian teringat event-event Kampus Fiksi roadshow di banyak kota lainnya sebelum Makassar ini.


Sampai pukul 09.40, saat acara mau dimulai pukul 10.00, tempat ini belum siap. Beberapa peserta yang datang nongkrong di parkiran ruko sebelah. Saya pun mendatangi mereka, say hello, berbincang, dan memohon maaf atas keadaan ini. Hati saya gemetar hebat saat dua orang peserta bercerita bahwa mereka datang dari jarak 300 KM dari Kafe Belima ini.
Pukul 09.50 saya mengajak para peserta masuk aja. “Yuk, lesehan,” kata saya sambil memberikan contoh. Pukul 10.00 tepat saya minta panitia membuka acara. Acara pun dibuka tanpa sound system, proyektor, dan banner apa pun meski desain banner sudah saya emailkan jauh-jauh hari.
I’m so sad.
Lalu, saya meratap pada salah satu panitia untuk mengusahakan setidaknya ada mike. Saya nggak sanggup membayangkan acara yang diikuti 100-an orang ini, berdurasi 4 jam-an, harus ditempuh tanpa mike. Alhamdulillah, setelah saya memulai sesi setengah jam kira-kira, mike pun datang. Makasih Pak Gege untuk mike-nya.
Whatever keterbatasan persiapan kawan-kawan yang mengundang saya untuk acara Kampus Fiksi Makassar ini, alhamdulillah-nya sih para peserta antusias sampai acara ini selesai. Betul, kondisinya memang tidak sesuai sama sekali dengan standar Kampus Fiksi yang biasa saya tangani. Tapi, saya sampaikan ke panitia, terima kasih lho sudah saya repotin begini, dan juga saya katakan kepada para peserta, “Bagaimana pun kalian desak-desakan begini, terbatas begini, kita harus bersyukur acara ini bisa digelar sampai rampung. Yang penting kalian semangat bahwa materi yang saya sampaikan ini bermanfaat buat bekal kalian jadi penulis fiksi.”
Pukul 15.00, acara Kampus Fiksi Roadshow Makassar ditutup dengan tepuk tangan meriah semua peserta. Semoga, lain kali, saya bisa kembali lagi bikin event tersebut dengan kondisi yang lebih matang.
Terima kasih buat kawan-kawan panitia lokal dari Pacarita. Utamanya kepada Bapak Nur, owner Kafe Belima yang keramahan dan semangatnya sungguh luar biasa. Saya salut padamu, Pak…
Ada satu curhat peserta yang menyesakkan dada di akhir acara ini. Seorang gadis kira-kira usia kuliah awal dituntun oleh seorang ibu mendekati saya. Ternyata ia (maaf) tuna netra.
Ia lalu bercerita pada saya bahwa ia telah mengumpulkan beberapa tulisannya dan kawan-kawannya dan diserahkan ke sebuah penerbit indie di Semarang (ia menyebut nama dengan lengkap sih, clue-nya dengan awalan N dan akhiran A, di tengahnya ada huruf T), dan ia sudah menyetor sejumlah uang. Sekian lama bukunya tak pernah jadi. Berkali-kali dihubungi nggak direspons.
OMG, so bedebahnya kamu! pekik saya dalam hati.
“Saya harus bagaimana, Mas?”
Speechless. Sejenak, saya nggak tahu harus berkata apa. Saya kebayang jerih-payahnya untuk nulis dalam sikon terbatas fisik begitu, lalu semangatnya ia ngumpulin dan milihin karya teman-temannya, lalu berhematnya ia dan kawan-kawannya untuk ngumpulin duit, dan DITIPU!
Damn!
Afuuuuuuu!
Dengan suara lemas, saya hanya bisa berkata gini, “Dik, udah ya lupain masalah itu, anggap saj itu bukan rejekimu. Sekarang, ayo kamu semangat lagi nulisnya, nulis yang baik ya, ntar kalau udah jadi, serahin ke saya, akan saya terbitkan kalau emang baik. Kalau belum, bisa direvisi. Yang benar itu penulis dibayar, bukan membayar…”
Ia tersenyum.
Saya pun tersenyum, meski hati terluka.
Memang, salah satu materi saya ialah membahas tentang penerbit mayor dan indie. Betul, mau mayor atau indie bisa saja sama brengseknya. Tidak semua mayor itu baik, serupa tidak semua indie itu jelek. Tapi, saya memang tak setuju dengan proses kreatif lewat penerbit indie, sebab ia tak menyediakan kompetisi seleksi dan display di market luas sebagai seleksi pasar pembaca, yang itu sangat mutlak pentingnya untuk menaikkan level mutu proses kreatif setiap penulis. Titik.
****
Besoknya, hari Senin, sebab nggak dapat tiket balik, saya pergi ke Benteng Somba Opu. Dekat sih, dari Aston paling hanya 15-20 menit. Jalanan menuju daerah cagar budaya ini memang kurang terawat. Tapi, mata saya seketika melek benderang saat saya mulai menyaksikan deretan rumah-rumah adat Sulawesi di sini!
WOW banget!
Ini baru keren!
Saya pun segera turun dan berjalan kaki berkeliling dengan keringat bercucuran. Ini fantastis, Kawan!








Eksotisme, keunikan, dan kekhasan ragam rumah adat benar-benar terpajang sempurna di sini. Mulai dari rumah adat Toraja, Bugis, Mandar, dll. Utuh dan kokoh, padahal katanya sudah berusia ratusan tahun. Memang sih, sebagiannya juga nggak terurus. Bahkan, di deretan rumah adat Toraja, ada satu rumah yang sudah hancur begitu saja. Duh, ke mana nih pemerintahnya ya, warisan budaya sekeren ini disia-siaain gini aja? Hiiks…


Di ujung perjalanan keliling benteng luas ini, saya singgah ke museumnya. Ditemani seorang petugas di sana,  saya mendapat banyak cerita tentang benteng ini. Tentang perjuangan Sultan Hasanuddin mempertahankan benteng ini dari serbuan kompeni. Duh, sayang sekali sih kalau ingat perjuangan beliau itu, yang kini terlihat nggak begitu diurus begini. Beliau pasti akan sedih sekali jika melihat anak cucunya nggak peduli sama kekayaan budaya adiluhung ini, malah repot berpolitik aja.
Jika kau ada waktu cukup, tentu akan lebih eksotis jika kau pergi ke Tana Toraja sekalian. Berjarak tempuh 10-12 jam naik mobil, jauh memang dari kota Makassar. Ada bus yang nyaman kok untuk menuju ke sana. Kalau mau nyewa mobil juga bisa, asal jangan mobil modif yang ngangkut saya dari bandara itu lho, dijamin kau akan kram di tengah jalan!
Semoga lain kali saya berkesempatan datang ke Tana Toraja di saat upacara adatnya lagi digelar. Kabarnya, kerbau-kerbau yang dikorbankan di sana bisa berharga 100 jutaan. Wow!
Jika kau tak punya banyak waktu di Makassar, datanglah ke benteng Somba Opu ini. Eksotisme rumah-rumah adat Sulawesi akan membuatmu lupa akan betapa biasanya Fort Rotterdam, Pantai Losari, maupun Battimurung.
Last, wajah lain yang buat saya amazing sama Makassar ialah begitu banyaknya kafe. Mulai dari kafe branded macam Starbuck, Kopitiam, Black Canyon, hingga kafe-kafe pinggir jalan dan kaki lima. Dan, sepanjang amatan saya, selalu saja setiap kafe itu dipenuhi pengunjung! Wow, kota ini benar-benar kota kopi ya, kota nongkrong, dan pastinya asyik sekali bisa menjadi bagian darinya, meski hanya dalam jeda 4 hari. Dan, di beberapa kafe yang saya singgahi, rata-rata kopinya memang ueeenaakk! Bahkan, di warkop sederhana sekalipun, kopinya maknyes! Keren dah Makassar untuk bab kafe dan kopi ini.


Well, titip kaki bentar, pegel. Catatan saya ini tentunya nggak utuh benar, sebab saya hanya 4 hari di Makassar. Thanks kawan-kawan di Makassar. See you next time….
Bagaimana pun, saya termasuk orang yang percaya pada dogma umum kaum traveler, bahwa setiap tempat punya keunikannya. Meski kali ini, saya memang gagal menemukan hal itu….
Jogja, 14 Mei 2014
16 Komentar untuk "MAKASSAR, KOTA SERIBU KAFE (Catatan Kampus Fiksi Roadshow Makassar 11 Mei 2014)"

:"3 Salam saya untuk kakak itu, semangat ya kak. Kita sama-sama semangat nulisnya.

Mobil Modifnya keren ye :P

Saya sih juga pas pertama kali survey lokasi udah ngeduga apa yang akan bapak rasakan. sama dengan perasaan saya saat lihat lokasinya (6 hari sebelum acara) Huh semoga ketika kemari bisa lebih siap lagi..

Bener-bener kebanting banget kemurunganku baca tulisan ini.....hahahaha....kocak abis ;) Semangat Pak!

Sukaaaaaaaaaaaaa :) #peserta kampus fikisi Makassar :)

Sayang sekali, saya ketinggalan info soal kampus fiksi. :(

Membaca tulisan ini seperti melihat dan mendengarkan Pak Edi dengan materinya di kampus fiksi kemarin.

Wah, saya ke-pret-pret sambil nangis bacanya ini pak.... Duhhhh

Back To Top