Personal Blog

DAKWAH ITU KASIH YANG SANTE


Sebagai muslim sejak dari rahim, saya tahu bahwa berdakwah merupakan kewajiban setiap kita. Libtighai mardhatillah, mencari ridha Allah; amar ma’ruf nahyi munkar, menebar kebaikan dan mencegah keburukan; hingga jihad fi sabilillah, berjuang di jalan Allah.
Apa pun itu istilah yang dipilih sebagai landasanmu, saya sebarisan denganmu: dakwah itu penting.
Di antara kita, ada yang berdakwah dengan cara dagelan, budaya, satire, straight, hingga keras, bahkan mencerca dan menggebuk.
Baiklah, yuk tengok dulu landasan naqli berdakwah itu. Kita ambil dua deh, dari al-Qur’an dan hadist.
Pertama, ayat ini: “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kasih sayang (bi al-hikmah) dan kalimat-kalimat yang baik (mau’idhah hasanah) dan debatlah mereka dengan perdebatan yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Kedua, hadits ini: “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak bisa ubahlah dengan lisannya, jika tidak bisa ubahlah dengan hatinya.” (HR. Bukhari Muslim).
Secara tekstual, ayat tersebut amat benderang menyuruh kita berdakwah, tetapi tidak boleh dengan cara-cara kasar, keras, atau sejenisnya yang memicu dampak negatif. Ayat tersebut hanya menetapkan dakwah dengan cara: kasih sayang, kalimat yang baik, dan (bila terpaksa) berdebat dengan debat yang lebih baik. Pesan moralnya dari segala jenis cara dakwah ini ialah “baik”.
Baik di sini bukan tentang niatnya lho ya, bukan niat dakwahnya, tapi dampaknya. Kalau bab niat, ya pasti baiklah, namanya berdakwah. Tapi dampak dari caranya itu lho. Ini patut dicermati. Kiranya inilah yang melandasi munculnya kaidah keren ushul fiqh ini: mencegah keburukan harus lebih didahulukan daripada meraih kebaikan.
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (2011) Volume 6 (hlm. 774-777), ayat tersebut menunjukkan tiga cara berdakwah:
Satu, dakwah dengan hikmah ditujukan pada kaum cerdik pandai. Kaum melek ilmu. Menghadapi mereka haruslah didekati dengan cara dakwah berhikmah. Dengan menukil ar-Raghib, beliau menerjemahkan kata “hikmah” sebagai “sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal”.
Dua, dakwah dengan mau’idhah ditujukan pada kaum umum atau awam. Mau’idhah adalah nasihat-nasihat yang menyentuh hati.
Tiga, jidal oleh beliau diterjemahkan sebagai cara dakwah “dengan diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih lawan diskusi/debat dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh lawan diskusi/debat”.
Quraish Shihab masih menambahkan bahwa untuk mau’idhah disifati oleh hasanah (baik) dan jidal (debat) disifati oleh ahsan (yang lebih baik). Jadi, esensinya, ketiga metode dakwah itu mewajibkan praktik baik. Yang tidak membawa kebaikan, bukanlah dakwah.
Sharih. Lanjut.
Hadits shahih tersebut amat popular dijadikan pegangan oleh muslim yang menempatkan dakwah sebagai jalan hidupnya. Itu tak salah. Ya memang bunyi teksnya demikian.
Hanya saja, kali ini, saya akan membidik tafsir hadits tersebut dari dua landasan teori. Satu, teori kuasa/pengetahuan (power/knowledge) Michel Foucault. Dua, teori batas Muhammad Syahrur.
Hei, Sampeyan ndak perlu melanjutkan membaca kajian ini jika merasa dua landasan teori itu haram. Oloohh…oloohgenuingan lieur eta mah…
Menurut Foucault, manusia akan bertindak berdasar system relasi antara kekuasaan di satu sisi dan pengetahuan di sisi lain. Keduanya menyublim, saling bertaut.
Wes, ndak usah ribet. Idup udah jadi kian ribet gara-gara foto bugil Pamela Safitri. Gampangnya gini aja kok. Level pengetahuan kita akan menghasilkan “level kekuasaan” pada diri kita. Baik secara ekonomis, politis, hingga sosial. Misal, seorang disebut kiai ya karena pengetahuan agamanya. Lalu ia digugu, didengarin, diiyain, sehingga punya kuasa mempengaruhi tatanan sosial lingkungannya.
Atau bisa juga sebaliknya, orang yang berkuasa itu bisa mempengaruhi sebuah pengetahuan. Misal, seorang kepala sekolah punya wewenang untuk mengijinkan sebuah ekstra dilakukan atau tidak.
Begitu. Kuasa/pengetahuan, keduanya, saling bertaut.
Nek dipikir-pikir, teori Foucault ini kok ya ngena banget dengan realitas hidup kita. Cucok. Lintas agama bahkan. Apalagi aliran. Jadi boleh to kini pakai teori apa pun dalam kajian apa pun, termasuk agama.
Mari bayangkan, apa jadinya bila seseorang atau sebuah komunitas bertindak dengan tidak mematuhi bingkai hierarki kekuasaan itu? Atas nama dakwah sekalipun. Maksud saya begini. Saya punya istri. Ya baru satu. Eh, punten, keceplos. Istri saya kok ya males bener shalat.
Apa yang akan saya lakukan?
Awalnya, ya saya nasihati dia baik-baik. Jangan digebuk. Jangan, messakke. Eh, kok ndak dengerin. Lalu saya jewer, misal. Jewernya pakai duit ratusan ribu. Alhamdulillah kok berubah. Berarti dakwah saya berhasil to. Tanpa perlu menimbulkan guncangan relasi. Beda kasusnya kalau saya main gebuk pakai balok, meski saya suaminya, ya KDRT. Ndak elok.
Sekarang gimana kalau yang ndak mau shalat itu istri tetangga? Olooh, olooh, ya tentu haruslah berbeda cara dakwahnya. Saya ndak patut-patut amat untuk menasehatinya dengan memanggilnya duduk berdua, apalagi menjewernya. Jika nekat melakukan itu, atas nama dakwah sekalipun, itu tanda Sampeyan orang yang seloooo banget, maksudnya selooo kemetung.
Inilah yang dimaksud dengan relasi kuasa/pengetahuan itu. Saya punya kuasa pada istri, sehingga hierarki dakwah dengan tangan, lisan, hingga hati itu bisa saya lakukan dengan leluasa. Relasi kuasa/pengetahuan saya ndak berlaku ma istri tetangga.
Jika sistem relasi ini ditarik ke ranah yang lebih tinggi, maka kira-kira begini wujudnya: presiden berhak ngatur seluruh rakyat, gubernur sesuai propinsinya, lalu bupati, dan seterusnya hingga Pak RT. Jangan coba-coba kok Pak RT Ocit mau ngatur kabupaten Bantul atas nama dakwah apa pun. Ya bengep! Bonyok! Ndak terima saya sebagai calon bupati Bantul.
Jadi pahamilah bahwa hierarki dakwah berdasar hadist itu pelaksanaanya ndak bisa dipisahkan dari realitas sosial: siapa saya, bagaimana posisi saya, kuasa saya, hingga kalkulasi dampak buruknya.
Tengkyu Mas Foucault atas teori kerennya ini.
Lalu teori batas Syahrur.
Menurut Muhammad Syahrur (namanya Islami, lho, Sampeyan bisa membacanya di buku Islam dan Iman), hukum Islam harus digali berdasar patokan “batas atas” (had al-‘ulya) dan “batas bawah” (had al-sufla). Di antara batas atas dan bawah inilah, umat boleh menafsirkan, memainkan pandangannya, pahamnya, dan seterusnya. Yang penting tidak boleh melampaui batas atas dan bawah ini.
Baiklah, yuk praktekin.
Hadist dakwah itu batas atasnya adalah “dengan tangan” dan batas bawahnya adalah “dengan hati”. Dari cara yang tertinggi sampai terendah. Ndak boleh bagi kita melampaui batas atas itu misal dengan berdakwah pakai pentungan apalagi pedang. Itu terlalluuhh! Sebaliknya, ya ndak jumeneng bagi kita untuk sebodoh teuing aja sama keburukan di depan mata.  Seyogyanya, kita harus berada di batas terendahnya, ya dalam hati. Misal, astaghfirullah….tapi dalam hati lho ya.
Begitu sampel praktik teori batas Syahrur ini.
Mungkin muncul pertanyaan, istilah dakwah dengan tangan itu kan multitafsir to. Apa digebuk? Dijewer? Dikampleng? Dijitaki? Digunduli? Diborehi telor dan tepung kayak Bella saat ulang tahun?
Mari pahami argumen lazim dalam ilmu metodologi tafsir ini: sebuah dalil, pasti bersifat tematik. Ia pasti tak berdiri di atas satu dalil. Ini, kata Fazlur Rahman, disebut sebagai metode tafsir tematik. Baik dari lingkup ayat atau pun hadits. Dan relasi antara ayat dan hadits itu hirerakis: ayat lebih utama daripada hadits. Tidak boleh penafsiran kita atas sebuah hadits mengalahkan maksud sebuah teks ayat yang setema. Begitu. Karenanya, secara tekstual, ayat dan hadits tak mungkin bertentangan, sebab fungsi hadits dalam ilmu tafsir ya sebagai penafsir ayat.
Maka, jika diterapin, ayat tentang seruan berdakwah dengan limit “hikmah”, “mau’idhah hasanah”, dan “jidal” itu tidak boleh ditabrak dengan penafsiran hadits “dakwah dengan tangan” itu. Sampeyan tidak boleh manafsirkan dakwah dengan tangan itu sebagai pembolehan memukul orang, misal, sebab jelas-jelas ayat itu bunyinya haruslah dengan hikmah (kasih-sayang), mau’idhah hasanah, dan jidal yang ahsan. Kecuali Sampeyan termasuk orang yang kurang piknik lalu menganggap gebukan di kepala orang sebagai ekspresi kasih sayang.
Begitu. Ya, begitu. Bukan begini. Sebab begitu dan begini itu maknanya beda. Beda itu artinya tak sama. Dengan kata lain, jangan dipaksain sama. Jika masih maksa, monggo pelesir dulu….
Tentu saja, kategorisasi batas atas dan batas bawah ini akan selalu bekerja dalam sistem relasi kuasa/pengetahuan ala Foucault tadi. Diakui atau tidak, dipahami atau tidak. Kepada keluarga sendiri, ya kita leluasa untuk mendakwahkan dengan cara obrolan langsung, nasihat, teguran, hingga sebutlah jeweran di telinga. Sebab mereka berada di dalam genggaman kuasa/pengetahuan kita.
Dengan demikian, segala bentuk dakwah yang mencerca pihak lain, menyakiti orang lain, apalagi memukul orang lain, yang memantik dampak negatif secara relasi sosial, haruslah dihindari sebab tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berdakwah sebagaimana dimaksud.
Begitu. Ya, begitu. Mari berdakwah yang sante mawon, ndak usah tersengal-sengal saking kebeletnya hendak mengubah dunia seisinya menjadi seperti Sampeyan, atas nama dakwah fi sabilillah sekalipun. Bagaimanapun, pluralitas alias keragaman paham, pilihan hidup, hingga agama, adalah sunnatullah. Kehendak Allah. Menentang pluralitas sama dengan melancangi kehendak Gusti Allah, yang tentu kebiaangeeeteenn wanine. Hambokkk istirahat dulu, barangkali Sampeyan sedang lelah.
“Umpama Allah menghendaki, maka akan dijadikanlah semua manusia itu satu umat…..untuk dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan mereka.”
Jogja, 11 April 2015

Tag : Kajian Agama
3 Komentar untuk "DAKWAH ITU KASIH YANG SANTE "

Pamela Safitri ikut lagi :D
Pak Edi belum pindah ke lain anu

Anu, Bulik, saya wotta-nya Safitri.

Back To Top