Personal Blog

“Aku Ikhlas…!!!”

“Aku ikhlas kehilangannya. Aku pun nggak pernah mendoakan buruk padanya. Malah aku mendoakannya bisa bahagia dengan selingkuhannya itu, ehh…kekasih barunya itu…” kalimat berbau, ya bau, ikhlas itu menyiratkan betapa tegarnya ia menghadapi kenyataan yang tidak sesuai harapannya itu.

Luar biasa! Kamulah jamaah itu. Haiihh, kayak Ustazd Tipi aja. Meski, kutangkap titik-titik kabut menjadi hujan di pojok matanya. Wajarlah, gumamku, orang juga pasti akan bergetar hatinya saat menghadapi suatu masalah pelik yang melukai perasaannya. Ada yang membuncah dalam air mata, ada yang menjjenterah dalam amarah. Biasa sajalah semua ekspresi itu. Yang tidak biasa ialah bila kemudian orang yang mengalami peristiwa menyakitkan itu ternyata bisa bersikap bijak, dewasa, alias ikhlas!

Yups!

Ikhlas, betapa sulitnya ia mampu direngkuh di antara gemuruh egoisme diri. Ikhlas berdiri layaknya anak gunung Krakatau di kejauhan sana, di balik kabut yang nyaris sempurna menelannya. Ia tampak, kelihatan, benar-benar ada. Begitu disadari beapa pentingnya untuk meraihnya. Tapi ia justru sering menjauh, menjauh, lalu hilang ditelan kabut pekat egoisme diri itu.

Dan, kebanyakan kita gagal meraih pesona tegarnya gunung ikhlas itu.

Siapa pun yang gagal memeluk gunung ikhlas itu, menancapkannya dengan tegar di relung hatinya, niscaya yang akan muncrat dari sosoknya adalah “amarah”. Dalam ragam ekspresinya. Mulai dari yang nangis menjerit-jerit bak kuntilanak kesetanan, ngamuk sedemikian butanya bak banteng kesurupan setan, hingga melulu menyatakan hal buruk tentang sosok yang dianggap biang kerok luka hatinya bak speaker TOA yang ngebass nggak karuan itu.

Segala macam ekspresi egoisme akibat gagalnya merengkuh gunung ikhlas itu jelas tak pernah mampu memulihkan keadaan buruk yang sedang dialami. Mau nyobeki jilbab dan boxer sampai habis semua koleksinya di lemarimu, sebagai ekspresi amarahmu, tetap saja lelaki tercinta yang kau anggap pengkhianat itu takkan pernah kembali dengan senyum manisnya ke pelukanmu. Yang ada kan justru kamu jadi kedinginan sendiri gara-gara nggak punya boxer lagi, lalu harus utang kesana-kemari, kadang terpaksa ngambil kredit ke Bank Plecit, demi mengembalikan boxer-boxer andalanmu itu kan. Alamakk…!

Semua yang telah terjadi sungguh takkan pernah pulih. Semua kesedihan, amarah, airmata hingga caci-maki sama sekali takkan pernah berkuasa untuk memutar waktu dan mengubah hati orang lain.

Orang lain tetaplah akan eksis sebagai diri mereka sendiri, seberingas apa pun kita mengutuk sebuah keadaan. Bukankah justru hanya akan menjadi kerugianmu belaka jika ternyata orang yang kamu murkai itu, ehh…lagi jalan-jalan dengan cekakak-cekikik bersama teman-teman atau kekasih yang amat kamu benci itu to? Kan nggak bakal pernah amarahmu itu mampu mengurangi keindahan yang tengah mereka rengkuh bersama itu kan?

So, jika kita sudah paham betapa ruginya melanturkan egoisme diri atas nama kekecewaan atau pengutukan, maka kini sesungguhnya kita tengah bertarung dengan diri kita sendiri. Ya, memerangi diri sendiri.

Bila kau bercerita buruk tentang orang yang kau anggap melukaimu itu, maka sebenarnya kamu tengah dimakan oleh mulutmu sendiri. Semakin banyak kau cerita, semakin pudarlah batas antara yang nyata dan murka, maka semakin habislah kau dikunyah oleh mulutmu sendiri.

Begitu pula jika kau memilih menggunakan ajaran aneh tentang “doa orang terdzalimi itu mustajab”, lalu kau berdoa siang-malam agar segala sakit hatimu dibalaskan oleh-Nya kepada si biang kerok itu, maka sejatinya kau tengah mendorong dirimu sendiri untuk bernilai buruk di mata-Nya. Bahkan bisa pula dinyatakan, kau tengah memaksa Tuhan untuk berbuat buruk pada orang lain, yang jelas-jelas itu bukan sifat kasih-Nya, atas nama doa orang terdzalimi itu.

Begitu clear kan, sampai di sini, betapa kamu takkan pernah menjadi pemenang dalam peperangan melawan dirimu sendiri itu sepanjang kamu masih saja membiarkan cerumuk egoisme bertengger di hatimu.

Hemm…kalau sekadar berkata bahwa aku ikhlas, tapi dalam hati kok bersorak atas suatu musibah yang menimpa orang yang kamu benci itu, jelas hatimu sendiri tak pernah menemukan kelegaan di dalamnya. Ikhlas sama sekali bukan tentang mulut, gigi, lidah, apalagi jigong, Bro/Sist! Ikhlas sepenuhnya tentang hati, dan ukuran paling umum yang bisa dijadikan pegangan oleh siapa pun untuk mengetahui apakah ia sudah ikhlas atau belum, adalah “kelegaan”.

Seberapa lega hatimu atas perkara apa pun yang menimpamu, yang kamu rasakan sakit sesakit-sakitnya, yang sampai bikin dokter manapun nggak sanggup mendiagnosanya, itulah alat ukurnya.

Mudah nggak?

Hooo…jelas nggaklahyaw. Justru karena ia tidak mudah diraih, maka siapa pun yang mampu meraihnya, dialah sang pemenang atas peperangan melawan diri sendiri itu.

Satu hal yang pasti, yang bisa dijadiin tips untuk memenangkan pertarungan egopisme itu, untuk meraih ikhlas itu, ialah “Semarah apa pun kamu, ingat selalu bahwa amarah itu takkan pernah mampu memulihkan segala sakit hatimu.”

Kok masih sulit ya padahal sudah pakai tips itu?

Hooo..hoo…tampaknya kamu perlu berguru pada Ve, si srukat itu, yang telah tobat dari segala kegalawwan akibat diusir oleh bu kostnya lantaran menyobek-nyobek tembok, jendela, pintu, bak mandi, WC, genteng, sampai habis, gara-gara ia telah kehabisan jilbab dan boxernya untuk dirobeki.

“Aku nyesel, jadi rugi dan melarat sendiri,” tangisnya di ujung jempol kakiku. “Aku nggak mau galaww lagi, nggak mau marah lagi, karena aku jadi rugi sendiri gini…”

Ikhlaskah dia?

Meneketehe…yang kutehe adalah ia sudah nggak doyan nyobekin benda-benda lagi.

Amplaz Jogja, 20 November 2011
0 Komentar untuk "“Aku Ikhlas…!!!”"

Back To Top