Personal Blog

Ganti Fotomu!

“Plis, ganti fotomu segera, karena ini tidak baik bagiku, bagimu, dan semua orang…” kataku berkali-kali pada lelaki aneh yang menyerboto FB-ku.

Masih seperti kemarin, lelaki gumbus yang kian leter bin ganjen itu selalu berkilah, “Ogah ah, emang gua pikirin…”

Ah, dasar ababil, hacker jahat, orang plin-plan! Hanya begitulah yang mampu kupekikkan dalam hati kemudian. Mau protes gimana pun, tetap aja orang itu akan begitu leluasa menguasai foto profil FB-ku, dan tentu saja dengan seabrek dampak negatifnya.

Gimana nggak buruk coba? Orang kemana-mana, lagi komunikasi dengan siapa pun, selalu saja foto gondrong yang nggak jelas maksud dan tujuan gondrongnya itu menyertaiku. Padahal, jelas-jelas, aku bukan dia, dia bukan aku, dan karenanya sangat tidak mungkin dia mengambil peranku dan aku mengambil perannya.

Tapi, itulah salah satu dampak yang terjadi padaku dari peristiwa itu. Apa pun motif utamanya berbuat buruk begini padaku, pastilah orang yang seperti itu sedang memiliki masalah serius dengan prinsip hidupnya.

Sejauh itukah? Jelas dong! Siapa pun orang yang bermasalah dalam memahami “prinsip hidup”, niscaya ia gagal pula dalam memilih dan memegang apa yang dianggapnya sebagai prinsip hidup itu.

Sefatal itu ya akibatnya? Ya, sebab sejatinya prinsip hidup itu meliputi banyak hal yang sangat kompleks dan panjang dalam kehidupan setiap kita. Mulai dari unsur keluarga, pendidikan, budaya, pergaulan, sosial, hingga keyakinan agama, yang niscaya begitu beragam wujudnya.

Mustahil banget kan apa yang dianggap sebagai “baik, benar, sahih” dalam sebuah komunitas (juga individu) lalu dinyatakan sebagai prinsip hidup bagi semua orang to? Kalau paham ini dipaksakan, maka yang meletup kemudian pastilah hanya ketidakcocokan antara apa yang disebut prinsip hidup dengan latar hidup yang ditempuh sesungguhnya. Itulah sebabnya mengapa setiap komunitas, bahkan setiap individu, orang, bisa memiliki pemahaman dan prinsip hidup yang berbeda, sedemikian luas dan beragamnya, tanpa penting lagi untuk diperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Yang terpenting adalah, ini kudu dicatat segera, prinsip apa pun itu, jangan sampai mengganggu kenyamanan hidup orang lain.

Nah, jika begitu catatannya, lalu bagaimana ya caranya kita membangun prinsip hidup itu?

Sederhana sebenarnya. Meminjam Immanuel Kant, kita hanya perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai “tanda-tanda keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia berupa etika global”. Nah lho! Yupz, etika.

Pernyataan bahwa “etika” merupakan “kondisi global” menegaskan dengan serius kepada kita semua, di mana pun berada, bahwa selalu ada nilai-nilai universal yang menjadi pegangan umum setiap kita. Orang bule dan Jawa sekalipun pasti sepakat bahwa menjalin hubungan itu harus didasarkan pada kepercayaan dan keadilan. Orang Indian dan Madura pun pasti sepaham bahwa semua orang tidak boleh diperlakukan dengan buruk dan dzalim. Semuanya, tanpa kecuali.

Itulah prinsip etika global. Dan ini sangat penting untuk kita perhatikan dalam membangun prinsip hidup masing-masing kita.

Tentu tidaklah patut kita beralasan atas nama “kebebasan berpikir dan berperilaku” lantas kita berbuat sesuatu yang mencederai hak dan perasaan orang lain. Apa pun itu! Kita nggak bisa mengabsahkannya sebagai pilihan prinsip hidup kita jika ternyata itu membuat orang lain terganggu kenyamanan hidupnya.

Selain “etika global” itu, kita mestinya juga memperhatikan “tradisi lokal” dalam hidup kita. Orang Jawa, misal, lebih suka menghindari perdebatan terbuka, yang dilatari oleh karakter khas Jawa yang bersendikan “harmoni sosial”. Sekalipun apa yang dihadapinya membuatnya tidak nyaman, tidaklah mudah bagi orang Jawa untuk langsung bersikap frontal. Ini sangat jauh berbeda dengan tipikal orang Madura, misal, yang lebih mudah untuk menyatakan isi pikiran dan hatinya secara langsung dan terbuka, yang dilatari oleh karakter kemandirian personal khas orang Madura.

Itulah sebabnya, cara kita bersikap terhadap “tradisi lokal” itu menjadi sangat penting, lantaran justru “cara besikap” itulah yang menjadi entry point kita ke dalam kelompok khas tersebut. Diterima tidaknya kita dalam sebuah kelompok seringkali begitu sangat ditentukan oleh soal “cara bersikap” itu.

Dari sini, menjadi benderang buat kita semua bahwa apa pun pilihan prinsip hidup yang kita ambil, sekalipun ditopang kesadaran logis atas potensi-potensi plus-minusnya, tetap saja kita nggak bisa abai pada pilihan prinsip-prinsip hidup orang lain beserta seabrek potensi plus-minusnya juga. Kita nggak bisa berdiri di atas kaki sendiri, lantas dengan paham ini kita merasa boleh berprinsip apa pun, lantaran kita sungguh tidak benar-benar pernah mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Kalau ada di antara kita yang mengklaim bahwa pilihanku adalah pilihanku dan aku siap dengan segenap konsekuensinya (seolah mencerminkan kematangan cara berpikirnya dalam mengambil pilihan hidup), tetap saja ia takkan mampu eksis sebagai dirinya sendiri jika ternyata apa yang dipilihnya membentur hak hidup orang lain. Anda niscaya akan menghadapi tentangan, benturan, bahkan begitu hebatnya, jika Anda bersikap abai pada kaki-kaki lain yang sejatinya menjadi bagian penopang kaki Anda sendiri.

Anda tidak bisa kan memutuskan diri untuk menjadi seorang ateis murni di negeri ini dengan dalih filosofis apa pun, misal karena merasa sudah sehati dengan Nietzsche atau pun Sartre, toh Anda akan selalu berbenturan dengan kebutuhan-kebutuhan struktural dan sosial yang sangat nyata wujudnya yang akan begitu menentukan kelangsungan eksistensi Anda sendiri. Mana mungkin di negeri ini Anda akan dinikahkan dengan resmi jika Anda tidak menganut sebuah agama? Mana bisa Anda diterima kerja di perusahaan manapun jika Anda bilang seorang ateis atau anti Pancasila?

Sama halnya, bagaimana mungkin Anda akan bisa berkarir di kantor pemerintah atau swasta jika Anda tidak memiliki ijazah, kendati Anda segenius Einstein sekalipun, lantaran Anda berprinsip bahwa sekolah formal itu nggak selalu berkaitan dengan kapasitas keilmuan, skill, dan kepribadian seseorang, karena itu Anda menganggapnya nggak penting banget?

Semua ini menunjukkan dengan tegas pada kita bahwa kita adalah bagian mutlak dari sebuah sistem budaya, sosial, politik, dan agama, yang karena ikatan itulah, maka suka atau nggak suka, kita tidak bisa menabrak-nabraknya sesuka hati, atas nama pilihan prinsip hidup sekalipun! Suka tidak suka, semestinya prinsip hidup yang kita ambil, sekalipun tidak sama, selaras dengan ikatan besar itu, setidaknya tidak memicu disharmoni.

Maka, pekikan nurani saya agar hacker jahat itu segera mengganti fotonya yang ditempelkan ke foto profil FB-ku itu, yang sampai sekarang masih diacuhkannya, mencerminkan protesku atas rontoknya kenyamanan hidupku akibat ulah seseorang yang nggak jelas dalam memilih prinsip hidupnya itu. Aku sungguh amat cemas bahwa pemasangan foto jelek itu di FB-ku akan mencederai kredibilitasku, yang tentu saja akan berimbas pada hubungan baikku dengan banyak orang, mulai teman, keluarga, hingga relasi bisnis. Dan jelas ini suatu kondisi yang membuatku nggak nyaman!

Bisa saja kan ada orang yang kemudian berpikir, “Wah, ternyata pernah gondrong ya, pernah jadi preman pasar ya, pernah ketombean ya, pernah kutuan ya, pernah tersesat ya, pernah jelek ya, dll….?”

Bisa banget kan! Selanjutnya, kan bisa saja orang kemudian melekatkanku dengan hal-hal yang sungguh nggak ada kaitannya sama sekali denganku, lalu menjelma stigma di kepala mereka tentangku, untuk kemudian mempengaruhi cara mereka bergaul dan berkomunikasi denganku.

Sungguh betapa sangat menumpuknya dampak serius dari suatu hal yang kita lakukan terhadap orang lain, sekecil apa pun itu, yang menabrak kenyamanan orang lain, atas nama pilihan prinsip hidup yang kita yakini sekalipun.

So, wahai orang jelek di FB-ku, cepet ganti foto itu sebelum aku putus asa dan mendoakan buruk agar Tuhan tidak memberimu jodoh selamanya…” pekikku di tengah malam buta usai ngaji dengan mata bersimbah air mata.

Nah lho, ngeri kan kalau sudah mulai masuk ke urusan doa orang terdzalimi gini?

Jakarta, 15 November 2011
0 Komentar untuk "Ganti Fotomu!"

Back To Top