Personal Blog

Demi Tahiku!

Pukul 00.30, aku berhenti di rumah makan sederhana langganan ini. “Warung Lesehan Bu Anto, Kalibening/Widas, Saradan Madiun, Telp. 085235016725.”

Hah, seperti biasa, suami, istri, dan satu anak wanita itu lagi lelap. Tapi tak lama kemudian, mereka terbangun oleh suaraku. Dan, dengan hapal, mereka menyiapkan menu pesenanku yang tak pernah berubah: teh panas, pecel telur tempe jangan terlalu pedas, plus ayam goreng kampung kering.

Ini waktu benar-benar terjungkal dalam lelapnya. Jalanan juga sepi, kupikir menuju Jogja takkan butuh waktu lebih dari 3 jam.

Ahhh, mules! Buru-buru aku ke belakang, menuju toilet. Tapi karena WC-nya terletak di luar bangunan warung gedek ini, di belakang dapur, jadi aku melintas lewat pintu dapur.

Gelap sekali, hanya secuil dop 5 watt yang begitu kelelahan membelah pekat dini hari.

Sendirian di WC yang sempit ini, sambil menghisap rokok bercampur aroma kentut dan tahi, aku melamun jauh, betapa sungguh aku ini tak ada maknanya apa-apa di jalanan yang sepit itu, di hadapan Saradan, di hadapan Jawa Timur, apalagi di hadapan dunia dan Tuhan.

Mana sudi aku suruh nongkrong di ruang sempit gini, mau dibayar berapa pun, diperintah siapa pun, jika bukan karena disuruh gerombolan tahi yang mendesak-desak untuk dilahirkan ini.

Ah, hanya dengan tahi, selesailah aku sebagai manusia yang begitu sering bertingkah arogan, egois, dan ekstrem pada sesama dan bahkan Tuhan ini. Punahlah semua identitas besarku sebagai lelaki, yang gagah, keren, wangi, tajir, mapan, cerdas, luas ilmunya, tambahin lagi bijaksana dan bijaksini, tersuruk sendiri di ruang redup sepi ini, hanya gara-gara tahi.

Bahkan umpama tiba-tiba WC yang kutongkrongi ini mendadak amblas oleh pergeseran lempeng kecil di kedalaman bumi sana, yang itu amat sangat mungkin terjadi setiap saat padaku, bablaslah aku menjadi sampah tiada guna, berkumpul dengan gerombolan tahiku sendiri dan sumbangan tahi-tahi dari para budiman lainnya yang entah sudah lenyap kemana, menyeret serta segala keangkuhanku sebagai manusia yang merasa begitu tampan, gagah, dan cerdas!

Weeekk, betapa tiada bergunanya kekuatan manusia di hadapan kuasa alam, apalagi kuasa Tuhan ya…

Baik, sampai di sini, bab melahirkan tahi sudah selesai, ehh…mataku tertumbuk pada sebuah tulisan kecil di tembok: “Tarif 1.000.”

Aku segera keluar, ternyata menuku sudah siap. Hanya sekilas terlintas di kepalaku bahwa nitip tahi di toilet itu harus bayar Rp.1.000. Entarlah, kubayar sekalian sama makanan ini.

Dan, seperti biasa, masakan Bu Anto selalu terasa istimewa di lidahku. Tandas setandas-tandasnya, tidak perlu pake “tandas laki-laki” ala bahasa Malaysia untuk menyebut toilet bagi laki-laki itu.

Duduk sebentar, pas pukul 01.00., aku berangkat. Melaju cepat, meliut gesit, membelah gerombolan truk yang terseok-seok lelah, sesekali beradu akselerasi dengan Eka dan Sumber Selamat (yang tampaknya masih jauh dari cara untuk menyetir dengan selamat itu), dan pas pukul 04.00 aku sampai di halaman rumahku yang masih lelap.

Amazing, pas prediksiku, 3 jam saja!

Menunggu shalat Subuh, aku duduk sendiri memandang teras belakang yang rimbun. OMG! Aku tersentak!

Aku lupa! Lupa sekali! Aku belum bayar uang toilet di warung Bu Anto itu! Ya, seribu perak!!!

Sekelebat pikiran hadir di kepalaku, “Sudahlah, ntar-ntar juga bisa dibayar kan, kalau menuju kea rah Surabaya lagi, kan sering mampir di situ. Cuma seribu ini kok. Lagian, kan lupa, bukan sengaja…”

Iya, sih, lupa, bukan sengaja, dan kutahu lupa bisa menggugurkan kewajiban. Jangankan bayar uang toilet itu, saat puasa aja, kalau aku lupa sedang puasa lalu aku makan dan minum sampe kenyang pun, tetap aja aku sah melanjutkan puasaku. Ya, lupa bisa menggugurkan kewajiban!

Agak tenang hatiku mendengar sekelumit bisikan rasional itu.

Tapi… “Iya kalau umurmu nyampe untuk datang kesana lagi, bisa bayar utang seribu itu. Tapi kalau nggak? Besok, minggu depan, bulan depan, tiba-tiba kamu mati karena sebuah sebab, yang itu sangat amat bisa terjadi, berarti kamu masih punya utang WC itu kan? Bagaimana pun, utang harus dibayar, lagian sekarang kamu sudah ingat bahwa kamu belum bayar kan…”

Ya Tuhan…

Adzan Subuh yang melaju ke telingaku nggak mampu mengangkat bokongku untuk menuju tempat shalatku, lantaran hatiku begitu pepat membayangkan bahwa ternyata aku kini jadi punya utang, yang meski itu hanya seribu rupiah tetap saja aku kudu membayarnya sebelum mati. Sebelum mati berarti harus secepatnya, karena aku nggak pernah tahu kapan aku mati. Yang pasti, sebelum mati aku harus melunasinya!

Ya, sambil memikirkan bagaimana cara terbaik dan terefektif membayar hutang beol itu, aku shalat, terus tiduran. Dan tertidur beneran! Dalam tidur, aku mimpi tengah menempuh prosesi hisab di akhirat.

Dan, ternyata, aku divonis harus direndam dulu di neraka, gara-gara tahi yang kukeluarkan di warung Bu Anto itu tidak kubayar tarifnya!

Aku mencoba menego malaikat dengan mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi karena aku lupa, bukan sengaja, dan bukankah manusia itu secara kodrati adalah gudangnya lupa?

Negoku mentok. Gagal. Bahwa aku tidak membayar tarif itu karena lupa, sampai di sini bisa dibenarkan. Tapi persoalannya menjadi tidak selesai lantaran aku kemudian mengingat hal tersebut dan aku tak kunjung melunasinya hingga mati!

Ahhhhhh…tidaakkk!!!

Sungguh nggak ada ampun secuil pun buatku, tetap saja dicemplungin ke neraka gara-gara tahi bertarif seribu perak itu!

Lalu, bagaimana pula bila itu kulakukan dengan sengaja? Dengan jumlah yang banyak? Yang memicu penderitaan dan kesengsaraan pada orang lain? Yang menyebabkan negeri kaya ini jadi kere dan terhina terus-menerus?!

Saat tersentak bangun kemudian, aku menelpon Ribut, sopirku, dan memintanya menitipkan sebuah amplop ke bus yang menuju arah Surabaya, di dalamnya berisi uang seribu rupiah, kukasih tulisan: “Warung Lesehan Bu Anto, Kalibening/Widas, Saradan Madiun, Telp. 085235016725”.

“Ini, kasihkan ke sopir busnya ya…” kataku menjulurkan uang lima puluh ribu. “Bilang ke sopirnya, pastikan amplop ini nyampe ke Bu Anto, jangan sampe tidak…”

Sambil mengangguk, Ribut bertanya iseng, “Bu Anto Saradan itu kan, Pak, warung langganan? Amplop sumbangan ya, Pak…?”

Aku tersenyum kecil dan menyahut sekenananya, “Itu demi tahiku…”

OMG! Jika secuil itu, tak sengaja lagi, di mata-Mu tetap kudu ditebus dengan siksa-Mu, apalagi yang sengaja ya, yang gede-gede itu ya?

“Ngeri, Bung!” sahut Hamid, ayahnya Luluk sambil nyolder laptop, yang sedari tadi hanya diam khusyuk dengan laptopnya.

Jogja, 8 November 2011
0 Komentar untuk "Demi Tahiku!"

Back To Top