Personal Blog

Surat Untuk Tuhan (Semoga Orangtuaku Membacanya)

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al-Israa’, 17:23).


Yang Kusembah, Tuhanku…

Sengaja, di awal surat ini, aku mengutip ayat-Mu yang dengan amat sangat terang itu, lughatan wa istilahan wa hermeneutikatan, memerintahkan padaku sebagai seorang anak untuk berbakti sebakti-bantinya pada orang tuaku. Aku paham, pensejajaran (tarkib) antara “menyembah-Mu” dan “berbakti pada orangtuaku” menunjukkan sebuah perintah yang memiliki kekuatan kausalistik, dengan konsekuensi mutualis bahwa bila aku hanya menyembah-Mu, tapi aku abai pada kewajibanku memuliakan kedua orangtuaku, maka hakikat kemuslimanku menjadi tidak sempurna. Sebaliknya, aku juga tidak berhak menyebut diriku muslim jika aku hanya berbakti pada orangtuaku dan tidak berbakti pada-Mu.

Diri-Mu dan orangtuaku, dalam pemaknaan begitu, laksana sebuah mata uang, yang satu sisi dengan sisi lainnya memang berbeda dzatnya, wujudnya, tetapi tidak bisa dipisahkan sama sekali. Mencintai-Mu otomatis mencintai kedua orangtuaku. Begitulah posisiku di hadapan ayat-Mu itu.

Lalu, yang lebih mengerikan lagi buatku selaku anak, ayat-Mu itu mengandung konsekuensi logis bahwa jikalau aku gagal berbakti pada orangtuaku, kendati aku begitu istiaqamah menjalankan semua perintah-Mu dan menjauhi semua larangan-Mu, semua itu hanyalah kesia-siaan belaka di hadapan-Mu karena berarti aku tidak menepati keutuhan ayat-Mu itu.

Tuhanku, aku pun sangat mengerti, bahwa penggunaan idiom “uff” (ah) dalam ayat-Mu itu sekaligus menjadi “ukuran” bagiku tentang bagaimana caraku berbakti pada kedua orangtuaku. Engkau jelas tidak main-main saat meletakkan idiom itu sebagai ukuran berbakti.

Jika sekadar berkata “ah” nggak boleh, apalagi bila aku berkata “huh, dasar, hiyaah, jijay, puuffght, EGP, shit, damn, pappa’an takaek, sialan, brengsek, kurang ajar, merepotkan, nggak berguna, atau kok nggak mati saja sih”. Semua kosakata yang kutuliskan ini jelas najis mughalladah hukumnya untuk kuucapkan pada mereka.

Jika berkata negatif saja Engkau jadikan batas baktiku, apalagi jika aku berbuat kasar dan buruk pada mereka. Itu haram muakkad wa murakkab alias haram kuadrat banget!

Jika berkata dan bersikap buruk Engkau haramkan, apalagi jika kuabaikan keberadaan mereka di antaraku. Itu jelas “haram ultim” alias haram di atas haram!

Tuhanku, aku pun sangat mafhum bahwa selamat/celakaku kelak di hadapan-Mu sungguh bergantung pada ridha-Mu. Dan salah satu entry utama untuk mendapatkan ridha-Mu adalah dengan cara mendapatkan ridha orangtuaku. Wejangan Rasul-Mu, “Ridhallahu fi ridhal walidaini” (ridha Allah berada dalam ridha kedua orangtua), menyempurnakan posisi selamat-celakaku sebagai seorang hamba di hadapan-Mu.

Tuhanku, aku pun sangat tahu bahwa karakter dasarku sebagai manusia yang selalu menginginkan kebaikan dan kenyamanan, termasuk di kehidupan akhirat, yang itu terkejawantah dalam surga-Mu, akan berhadapan dengan ukuran baktiku pada kedua orangtuaku. Saat Nabi-Mu menyatakan bahwa “surga berada di bawah telapak kaki ibu”, yang mengandaikan bahwa surga sebagai puncak kebahagiaan hidupku kelak itu Engkau surukkan begitu rendahnya di hadapan seorang ibu (juga bapak tentunya), itu perlambang bahwa, bagi-Mu, surga yang kujunjung tinggi dalam cita-cita ukhrawi-ku itu, jauh lebih rendah derajatnya dibanding keharusanku untuk memuliakan kedua orangtuaku.

Surga itu nggak ada artinya buat-Mu dibanding arti kedua orangtua. Maka, logika sehatku lalu memahami bahwa tidak selayaknya aku mengejar surga-Mu dengan cara abai pada kedua orangtuaku. Karena kedudukan orangtua lebih agung dibanding surga itu, maka mendambakan surga tanpa berbuat baik sebaik-baiknya pada kedua orangtuaku adalah ilusi belaka.

Benar begitu kan, Tuhanku?

Kalimat Nabi-Mu yang menyatakan bahwa “Umpama seorang anak hendak mempersembahkan dunia dan seisinya kepada orangtuanya, maka itu tidak cukup bahkan hanya untuk menebus aliran susu dari sebelah susu ibunya” menjawab pertanyaan itu dengan amat terang bahwa aku takkan pernah mampu membalas semua pengorbanan orangtuaku sejak aku di dalam kandungan, dilahirkan, hingga tumbuh dewasa seperti sekarang ini. Kalimat Nabi-Mu itu menandaskan bahwa tak pernah ada seorang anak yang mampu berbakti pada orangtuanya hanya dengan limpahan kekayaan, sehingga karenanya aku sebagai seorang anak tak berhak untuk mendapat surga-Mu akibat kegagalan baktiku itu.

Lalu, apa yang bisa kubaktikan, ya Tuhan, agar aku bisa memperoleh ridha mereka, lalu mendapat ridha-Mu, lalu meraih surga-Mu?

Sampai di sini, aku amat galau membayangkan apa yang bisa kupersembahkan untuk mereka.

Kemudian aku berpikir begini: jika limpahan harta ternyata tidak bisa dijadikan alat bakti yang purna untuk mereka, maka kini yang bisa kupersembahkan hanyalah bersikap baik sebaik-baiknya untuk menyenangkan hati mereka. Ya, “menyenangkan hati mereka” menjadi satu-satunya ukuran yang mampu kulakukan sebagai bukti baktiku pada mereka. Aku rasa, ini pulalah ukuran dasar yang Engkau maksudkan dalam ayat itu untuk tidak berkata “ah” pada mereka, sebab kata “ah” jelas menghadirkan ketaksenangan di hati mereka.

Tapi, Tuhanku, Engkau kan juga Maha Tahu, betapa aku ini individu mandiri juga, sesosok juga, yang terpisah dengan individu orangtuaku, yang di dalamnya bersemayam setumpuk cita-cita, keinginan, harapan, kehendak, dan perspektif. Nyatanya, tidak semua pemikiran dan kehendakku lalu bisa selaras dengan pemikiran dan kehendak orangtua.

Dalam kondisi begini, posisiku menjadi benar-benar sangat dilematis. Rumit. Di satu sisi, aku harus selalu berusaha menyenangkan hati mereka, tetapi di sisi lain, aku juga memiliki pemikiran dan kehendak sendiri yang menurutku itulah yang terbaik buatku.

Aku tahu kok, Tuhan, jika aku menolak pemikiran dan kehendak mereka, tentu mereka akan kecewa padaku. Mengecewakan mereka sama halnya dengan tidak berbakti pada mereka. Dan itu jelas bukan sikap yang boleh kuambil sebagai seorang anak di hadapan mereka.

Tatapi, Tuhan, Engkau juga Maha Melihat kan bahwa seringkali sungguh sangat tidak sederhana untuk membuat mereka mengerti dan memahami “dunia baru” anaknya, yang seringkali jauh berseberangan dengan “dunia lama” mereka, dalam menghasratkan sesuatu dalam hidup ini, bahkan untuk sesuatu yang jelas-jelas ditilik dari sudut apa pun adalah yang terbaik buatku. Entah itu soal jodoh, rumah tangga, pekerjaan, belajar, jalan-jalan, bergaul dan sebagainya.

Ketidaksederhaan untuk membuat mereka memahami aku sebagai individu otonom inilah yang kerap menjadi biang kerok gejolak ini.

Contoh konkretnya gini, Tuhan.

Aku mencintai teman kuliahku. Amat sangat. Bangetlah. Bahkan, sering kuberpikir saking besarnya cintaku padanya kayaknya aku nggak akan pernah mendapat kebahagiaan dalam hidupku, selamanya, jika aku tak bisa bersanding dengannya.

Ah, kedengarannya sih emang lebay nih, Tuhan. Tapi, begitulah yang kurasakan.

Eehh, ternyata orangtua tidak setuju. Alasannya berjibun, mulai soal nggak jelas keturunan siapa hingga madesulah alias masa depan suram, yang pangkalnya adalah vonis mutlak mereka bahwa “Ini semua demi kebahagiaanmu sendiri”.

Ahhh, mereka begitu hobi menempatkan diri sebagai orang yang merasa sepenuhnya tahu bahagiaku itu apa, bagaimana, dan dimana. Padahal, kebahagiaan itu kan sangat relatif. Bagi orangtuaku, kemapanan pekerjaan adalah sumber kebahagiaan. Buatku sih nggak selalu begitu. Memang betul pacarku itu hanya mahasiswa, nganggurlah, nggak punya income. Nggak mapanlah. Hanya kosnya yang berdinding papan. Tapi setiapkali aku bersamanya, aku selalu merasa amat sangat tentram. Nyaman banget! Perhatiannya, nalar logikanya, sikapnya, dan kepribadiannya benar-benar membuatku amat sangat bahagia bersamanya.

Cara pandang yang berbeda begini harus kusikapi gimana coba, Tuhan?

Aku galawww banget!

Iini menjadi kian pelik saat orangtuaku mulai melancarkan jurus-jurus khas orang tua. Ya apa lagi kalau bukan, “Anak nggak berbakti…!” atau “Kalau kamu memilih dia, berarti kamu nggak menghormati orangtuamu…!”

Hadeehhh…

Tuhan, akhirnya, setelah merenung dan berpikir sekian lama, aku bertekad memilih mengikuti pikiran dan suara hatiku sendiri. Aku memutuskan menolak tuntutan mereka. Kutahu itu mengecewakan mereka, membuat mereka marah. Sampai di sini, aku takut membayangkan betapa kekecewaan mereka atas pilihanku bisa menghilangkan nilai baktiku pada mereka!

Tapi bagaimana pun risiko yang kuterima atas pilihanku ini, aku bertekad takkan mengurangi baktiku sedikit pun pada mereka. Berat memang menghadapi semua ekspresi kecewa mereka. Aku sering diperlakukan begitu buruknya oleh mereka, sampai aku berpikir bahwa mereka benar-benar nggak adil padaku. Tapi itu hanya di alam pikiranku, sementara dalam action-ku, aku tetap bersikap santun dan hormat pada mereka.

Ah, andai mereka membaca tulisan Kahlil Gibran, yang bunyinya “Anakmu bukanlah anak-anak zamanmu…”, kukira pemikiran mereka akan menjadi lebih lapang terhadap perbedaan-perbedaan pilihan hidup ini, antara dunia orangtua dan dunia anak. Tapi mereka lebih memilih unjuk pangkat keorangtuaan mereka. Kadang begitu menyakitkan buatku. Kasar. Keras. Arogan. Egois. Komplitlah…

Tuhan, apakah aku salah dengan pilihan hidupku ini? Apakah aku salah jika tidak selalu menuruti kemauan mereka yang menurut akal logisku dan suara hatiku bukanlah yang terbaik buatku, di masa kini dan masa depan?

Entahlah. Aku tak tahu jawabannya benar atau salah. Tapi yang kutahu adalah bahwa sebagai seorang anak sangat mutlak hukumnya buatku untuk berbakti pada orangtua.

Aku selalu bersikap santun dan hormat demi memuliakan mereka semulia-mulianya, meski itu tak berarti bahwa aku harus kehilangan eksistensiku sebagai aku sendiri. Aku akan tetap mengambil hakku secara penuh untuk menjadi diriku sendiri, bukan untuk menjadi selainku, termasuk menjadi lukisan orangtuaku, atas dasar pemikiran sehat dan pertimbangan matang untuk kebahagiaan jangka panjangku sendiri.

Tentu aku tak pernah berharap ada konflik dalam perjuangan menjadi diriku sendiri ini, apalagi dengan orangtuaku. Tapi kalaupun alirannya harus bergelombang, aku akan selalu berusaha menekan gelombang konflik itu sekecil-kecilnya. Dan jika ini pun tak berhasil, di mana aku harus menghadapi gelombang besar mereka, aku akan tetap selalu menempatkan diriku sebagai anak mereka, yang santun dan hormat pada mereka.

Tuhan, aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa masa depanku, kebahagiaanku, berada di tanganku sendiri. Sepenuhnya! Firman-Mu yang sangat tegas bahwa “Aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri…” menginspirasiku untuk memperjuangkan kebahagiaanku sendiri.

Aku tidak pernah ingin, apalagi bersengaja, menyakiti hati mereka. Karenanya, apa pun yang mereka katakan dan lakukan padaku, sekeras dan seburuk apa pun, tak pernah kubalas dengan keburukan dan kekerasan.

Ujungnya, aku memilih diam.

Ya, diam saja. Menyediakan telinga, otak, dan hatiku menerima semua ucapan dan perbuatan keras mereka. Menyediakan diriku menjadi samsak yang babak-belur ditinju dan ditendang oleh mereka. Menyediakan sehelai egoku begitu berdarah-darah penuh luka. Meski dalam langkah nyatanya tak kuturuti tuntutan mereka…

Tuhan, maafkan aku...

Ibu, Bapak, maafkan anakmu ini…

Jogja, 2 November 2011
0 Komentar untuk "Surat Untuk Tuhan (Semoga Orangtuaku Membacanya)"

Back To Top