Personal Blog

MESKIPUN VS KARENA

“Aku sayang dia, meskipun dia….” Atau “Aku tetap sobatan sama dia, meskipun dia…”

Bandingkan kalimat tersebut dengan kalimat berikut:

“Aku sayang dia, karena dia….” Atau “Aku tetap sobatan sama dia, karena dia…”

“Rasa bahasa” macam apakah yang kamu rasakan bedanya? Makna apakah yang kamu rasakan dari dua kalimat yang hanya berbeda pada kata “meskipun” dan “karena” tersebut?

“Meskipun” dan “karena” sama-sama merujuk pada “sesuatu yang melekat pada dia”. Tetapi lekatan sesuatu itu bersifat “minus” (untuk kata meskipun) dan “plus” (untuk kata karena).

Perbedaan nilai lekatan “plus” dan “minus” ini jelas menghantarkan sikap subyek yang berbeda, di mana yang menggunakan kata “meskipun” siap menerima segala kekurangan dan kelemahan obyeknya, sementara yang menggunakan kata “karena” menjadikan lekatan “plus” obyeknya sebagai pendorong lahirnya sikap subyek itu.

Dengan kata lain, orang yang mau menerima kehadiran seseorang dalam hidupnya, entah sebagai suami/istri, pacar, atau sahabat, atas dasar prinsip “meskipun” adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menjadikan kekurangan dan kelemahan sebagai bagian dari orang lain tersebut. Meskipun dia pesek, ngentutan, bawel, rada oneng, sering egois, banyak keras kepalanya, misalnya, aku tetap menerimanya dengan legawa. So, “meskipun” sejatinya mencerminkan sikap empati yang tulus, ikhlas, dan tidak menuntut seseorang untuk menjadi ideal sebagaimana mimpinya.

Sebaliknya, orang yang mau menerima kehadiran seseorang dalam hidupnya atas dasar prinsip “karena”, adalah orang yang selalu menjadikan kelebihan seseorang itu sebagai syarat dari penerimaannya. Karena dia kaya, keren, wangi, mancung, berkulit putih, nurutan (bahkan meski dijambaki sekalipun), pintar, smart, anak orang terhormat, dll., misalnya, aku mencintainya atau mau sobatan dengannya. So, “karena” sejatinya mengkondisikan sebuah hubungan dalam kelebihan semata, bukan kekurangan, sehingga bila kelebihan itu tidak lagi tersedia, yang otomatis hanya menyisakan kekurangan, maka rasa sayang atau sobatan itu akan tercerabut pula seiringnya.

Lalu pertanyaannya, adakah di antara kita ini yang sudi dicintai atau dijadiin sobat atas dasar suatu kelebihan pada diri kita, apalagi dari orang tua kita? Adakah di antara kita yang merasa nyaman didekati seseorang hanya karena kelebihan kita, tidak sekaligus kekurangan kita?

Nggak ada!

Semua kita selalu ingin dianggap hadir dalam kehidupan orang lain atau kelompok tertentu atas dasar ketulusan. Katulusan selalu menuntut penerimaan atas segala kekurangan. Kalau kelebihan, tidak perlu kita jadikan bagian dari ketulusan, karena siapa pun pasti mau banget menjadi bagian dari kelebihan itu.

Ini mengandaikan bahwa hubungan apa pun yang tidak tulus adalah hubungan yang jauh dari kenyamanan dan kelanggengan. Jelas nggak nyaman, karena selalu saja kita terkondisikan untuk tampil dalam kelebihan-kelebihan dengan menutup sedemikian rupa segala kelemahan yang niscaya merupakan bagian mutlak dari wajah kemanusiaan kita. Juga jelas nggak langgeng, karena kelanggengan hanya akan terbit atas dasar penerimaan kekurangan sekaligus di antara kelebihannya.

Bahwa setiap hubungan harus didasarkan pada kesiapan masing-masing pihak untuk memahami dan menerima setiap kelemahan dan kekurangan, ini mutlak hukumnya. Kesiapan memahami dan menerima kelemahan dan kekurangan ini merupakan ruh peniup rasa empati dan simpati atas setiap persoalan yang hadir di dalamnya. Mana mungkin kita mampu menerima pasangan atau sobat yang kita tahu agak gagap diajak ngobrol serius jika kita tidak siap menerima kelemahannya tersebut? Mana mungkin pula kita akan mampu melihat kelebihan pasangan atau sobat jika kita tidak bisa menerima kelemahan dan kekurangannya, lantaran kita hanya mengindahkan kelebihan-kelebihannya?

Ingat selalu bahwa hadirnya kelebihan justru karena hadirnya kelemahan. Penghargaan terhadap kelebihan muncul dikarenakan adanya pengertian terhadap kelemahan. Tidak mungkin kelebihan hanya diberdirikan di atas kakinya sendiri dengan cara memalingkan muka kita terhadap kekurangannya. Ini berarti bahwa sungguh tidak akan pernah ada seseorang yang mampu kita hadirkan dalam hidup kita sebagai pasangan atau sahabat sejati, ya sejati, jika kita masih saja mengimpikan memiliki kelebihannya tanpa mau menerima kekurangannya. Ini sekaligus menjawab secara mutlak mengapa setiap kelebihan niscaya selalu diiringi oleh kekurangan dan setiap kelemahan niscaya disertai oleh keutamaan lainnya.

Mungkin saja kamu mendapatkan pacar yang hidungnya mancung banget sebagai kelebihannya, sampai-sampai orang lain berpikir bahwa betapa borosnya dia menghabiskan oksigen untuk bernapas, betapa gedenya upilnya, dan betapa melimpahnya ingusnya, tetapi kamu juga kudu siap untuk menerima kekurangannya bila ternyata ia cukup tak cerdas sehingga lebih banyak manyunnya saja saat diajak ngobrol tentang urusan politik, misalnya.

Mungkin pula kamu berhasil mendapatkan pacar yang berkulit putih dan wangi selalu sebagai kelebihannya, tetapi kamu juga kudu harus mampu menerima kelemahannya bila ternyata ia begitu bau kentutnya gara-gara dia suka bohong (tahukah kamu bahwa semakin sering seseorang bohong maka kentutnya akan semakin bau, karena setiap kebohongan itu memicu pori-pori usus kecil dan besar merenggang melonggar sehingga tidak mampu menyaring gas dalam perut dengan lebih rapat, sehingga gas lebih mudah lepas begitu saja sebelum tersaring dengan baik dan menghasilkan bau kentut yang lebih busuk atau tidak lulus uji emisi kentut).

Ahaaa….

So, mau pakai “karena” atau “meskipun” itu urusan masing-masing kamu, tetapi ingat bahwa mutu kenyamanan dan kelanggengan hubunganmu dengan siapa pun (cinta atau persahabatan) sangat dipengaruhi oleh pilihanmu tersebut.

Note: teori kentut bau karena suka bohong itu masih kuuji kebenarannya secara ilmiah di Laboratorium The Sabajarin Institute yang dipimpin Moh. Faizi von Anto Saradan, S.Pd., M.Tr. (gelar Sepeda Motor)


Jogja,
25 November 2011
0 Komentar untuk "MESKIPUN VS KARENA"

Back To Top