Personal Blog

Kacamata

Begitu mantapnya kacamata baruku ini. Mengkilat. Ada brokatnya dikit. Plus cutting stiker Sponge Bob. Keren dah.

Ukurannya juga pas. XL. Mereknya juga keren. Honda. Jangan bahas harga di sini, karena harga memang akan selalu dibayar untuk sebuah kesenangan dan kenyamanan.

Saking bangganya aku dengan kacamata baru ini, kutunjukkan dan kuceritakan kepada semua temanku. Dari yang kelihatan tertarik benar, pura-pura, hingga acuh bebek. Saking banyaknya aku cerita, ahhh…tentu saja kian banyak aku lebay menggombal alias dusta. Hukum alamlah, semakin banyak berkicau, maka semakin banyak hal nggak penting di dalamnya, dan semakin banyak pulalah hal bual di situ. Tapi, bukankah semua kita begitu gemar menggemuruhkan kata-kata bahkan melampaui gelegak guntur itu?

Tahu atau nggak mereka kalau sebagian besar ceritaku itu adalah bualan, nggak pentinglah. Yang lebih penting ialah bahwa aku sukaaaaa banget dengan kacamata ini, begitu kubanggakan, bahkan kupuja setinggi langit.

Lalu, aku pun dengan sangat bahagia mengenakan kacamata ini kemanapun, di manapun, dan kapan pun. Soal pas atau nggak dengan sikonnya, lupakanlah hal itu. Yang penting aku senang banget mengenakannya, membuatku sangat percaya diri, meyakinkanku bahwa aku benar-benar match dengan kacamata ini, sehingga ketampananku pun berlipat ganda dengannya.

Setiap orang yang menatap langsung atau melirik dengan malu-malu padaku, pastilah karena mereka terkesima oleh katampananku. Tentulah mereka iri padaku, ingin memiliki kacamata yang sama denganku ini, agar mereka pun mampu menjangkau level ketampananku ini.

Hooo.hooo…ya beginilah risiko jadi orang tampan. Repot sih kadang, tapi sudahlah, kuanggap itu bagian dari konsekuensi hidupku. Karena itu sudah kutempatkan sebagai konsekuensi, maka kucoba biasakan untuk menerima semua ekspresi mereka itu. Mulai dari yang tampak malu-malu pengen minta foto bareng hingga yang pengen minta tandatangan. Aku selalu siap dengan pulpen andalanku untuk memberikan tandatangan itu.

Begitulah.

Semua ini bermula dari kacamata luar biasa ini. Kacamata yang meski kubayar dengan mahal untuk memilikinya, mampu memberikan nilai plus dalam hidupku. Kacamata yang membuatku nyaman dan bahagia sebagai manusia. Inilah kacamata terbaik yang sangat luar biasa, yang semestinya dimiliki oleh setiap orang di muka bumi ini, agar mereka pun bisa meraih kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidupnya!

“Tapi ini nggak pantas buatku,” kata temanku yang lebih banyak jeleknya ini.

“Ngawur to omonganmu, sembrono…!” Jelas aku marahlah mendengar kata-kata bernada pelecehan gitu.

“Lha kok ngotot sih…?”

“Ya iyalah, sudha kubilang ini kacamata terbaik, terhebat, siapa pun yang memakainya akan menjadi tampan dan keren, sehingga hidupnya nyaman dan bahagia. Kamu ini terutama yang jelek, kudu pakai kacamata ini…” sergahku.

Ia malah terbahak. Ah, tersinggung benar aku dengan kata-kata nggak pentingnya itu.

“Kalau kamu nggak mau mengenakan kacamata seperti punyaku ini, berarti kita nggak sehati. Ogah aku berteman sama orang yang nggak sehati. Ntar aku bisa ketularan jelekmu malah…”

“Busyeetttt…!” pekiknya. “Ya gini ini akibatnya kalau kamu terlalu memaksakan sesuatu pada orang lain. Ingat ya, apa yang kamu anggap pas, baik, nyaman buatmu, belum tentu pas, baik, dan nyaman buat aku dan orang lain. Jadi jangan dipaksakan, malah buruk hasilnya…”

Sompret! Aku pergi meninggalkannya dengan dada bergelombang. Dasar orang jelek! Oneng! Bajuri! Mali! Omas! Pokoknya sangat nggak penting banget semua kata-katanya itu. Udah jelas-jelas bahwa kacamataku ini adalah kacamata mahal, terbaik, teristimewa, membuatku kian keren dan tampan, ehhh…kok bisa-bisanya dia malah nyolot gitu.

Nggak pas dengan orang lainlah. Nggak usah dipaksainlah. Kentutlah! Dia aja yang buta untuk melihat segala keistimewaan kacamata ini. Dasar orang bego, jelek, sesat!

Sejak kejadian itu, aku nggak mau dekat lagi dengannya. Meski berkali-kali dia berusaha mendekatiku, memperlihatkan kacamata barunya, yang sangat jelek di mataku, yang disebutnya sebagai kacamata bagus dan istimewa.

Kacamata gitu kok bagus? Apanya yang istimewa? Kamu aja yang sedang bermasalah dengan cita rasa, estetika, sehingga hasilnya yang buruk banget gitu.

Tapi, pas sore itu, saat melintas sebuah counter mainan anak, kutangkap sebuah kacamata yang dipajang. Warna bingkainya hijau mentereng. Kacanya gelap. Woww! Segera kuambil kacamata itu, kucoba! Wowwww! Ini amazing!

Tanpa peduli harganya yang 20 ribuan itu, kupakai kacamata itu. Hemmm, ternyata aku bisa lebih tampan lagi ya dengan kacamata gaul ini. Kian pedelah aku dengan kacamata baruku ini dan lupalah aku dengan kacamata lamaku, yang menjadi pokok perselisihanku dengan teman lamaku yang srukat dan galawwan itu.

Tapi sial, pas bangun tidur, ternyata kacamata itu patah tertindih tubuhku. Hadoohhhh!!! Hidupku terasa hambar, hampa. Terasa mengalami disorientasi. Nggak pede banget aku tanpa kacamata sakti itu.

Segera aku menuju ke toko kacamata. Tapi pusingnya minta ampun menyaksikan ternyata begitu banyak model, merek, dan ukuran kacamata yang ditawarkan di sini.

Yang mana ya?

Coba satu, pindah lagi satunya, lagi satunya, satunya lagi, lagi, dan lagi, sampai penjual kacamata itu bertanya, “Mas nyari kacamata yang gimana?”

“Hemm…yang buatku pede dan makin keren, Mas…”

Ia tersenyum. “Semua kacamata juga bisa membuat Mas pede dan keren kok, asal Mas percaya pada diri Mas sendiri…”

“Maksudnya?”

“Kacamata kan hanya alat, Mas, sama dengan sandal, baju, atau topi. Soal Mas merasa pede dan keren jika memakai kacamata A atau B, itu kan bersumber dari hati Mas sendiri, bukan kacamatanya, bukan alatnya…”

Otakku mengkeret. Dadaku gemuruh.

“Ah, kalau begitu, aku nggak jadi beli kacamatanya, Mas…” sahutku kemudian.

“Lho, kenapa?”

“Aku sudah merasa pede dan keren kok…”

Penjual kacamata itu nggak mau kalah, “Tapi tetap aja dengan memakai kacamata sampeyan akan kelihatan lebih pede dan keren, Mas, karena itu penting buat sampeyan untuk memiliki dan mengenakan kacamata…”

“Sampeyan aja nggak pakai kacamata…!” teriakku.

Penjual kacamata itu geleng-geleng kepala sendiri. Mungkin ia tengah menyesali kata-katanya sendiri…

Jogja, 19 November 2011
0 Komentar untuk "Kacamata"

Back To Top