Personal Blog

Bertengkar Itu Biasa, Tapi Kudu Indah… (Awas, Jangan Dekat-dekat Panitia Kurban)

Gimana rasanya berantem?

Saat sedang di atas ring, pasti kita merasa sangat terpanggil untuk mengerahkan semua kesaktian kita, mulai dari kata-kata setajam silet hingga tinju-tinju segagah Mike Tyson. Poinnya, harus menang! Setelak-telaknya!

Usai pertarungan, entah itu keluar sebagai pemenang atau pecundang, dua-duanya ternyata kok sama-sama menyesal ya? Iya, sesal yang menggunung, yang begitu sulit untuk dienyahkan, bahkan menjadi beban sejarah hidup, yang sontak mengubah segala kenyamanan menjadi ketaknyamanan.

Lantas, apa jadinya bila pertengkaran itu terjadi dengan orang terdekat dalam hidup kita, entah itu pacar atau suami/istri?

Bubrah!

Ya, itu akibat dahsyatnya.

Saat kata-kata setajam silet sudah mengiris wajah pasangan kita, melukai hatinya, sematan luka-lukanya akan terus tertoreh. Meskipun ia kemudian bisa disimpan, tapi ia takkan pernah bisa disembuhkan, apalagi dihilangkan. Sesekali ia akan menyeruak ke permukaan menyulut panas otak dan hati menjadi bahan bakar yang siap menghanguskan segalanya.

Ah, kalau begitu, mending nggak usah bertengkar saja kan?

Betul, tapi itu juga sangat mustahil.

Nggak mungkin nggak akan ada pertengkaran, sekecil apa pun, antar pasangan. Sangat mustahil. Pertengkaran sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap hubungan, apalagi hubungan intensif pacaran atau pernikahan.

Intensitas, itulah biang kerok pertengkaran itu. Semakin kita intim dengan seseorang, ketemu setiap saat, dalam berbagai suasana pikiran dan hati, maka akan semakin besarlah potensi perselisihan itu. Hal yang sesungguhnya bukan sebuah masalah tiba-tiba bisa menjelma perkara pemicu pertengkaran jika salah satu pihak (atau malah keduanya) sedang berada dalam suasana pikiran dan hati yang buruk.

Mudah dicerna karenanya kadangkala hanya karena soal telor digoreng ceplok atau dadar, bisa menjadi pemicu pertengkaran. Semalaman nggak mau bertegur sapa, tidur di kamar terpisah, malah kalau perlu salah satunya meninggalkan rumah.

Ahhaaa, semakin intim maka akan semakin terkuaklah pintu pertengkaran itu.

Kalau begitu, berarti lebih baik tidak intim dong, jarang ketemu gitu, agar kemungkinan berselisih kian kecil?

Ini bukan solusi prinsipil atas persoalan keintiman itu, karena di sisi lain, keintiman merupakan kunci utama kedekatan dan kesatuan dua pikiran dan hati. Ibarat mobil, keintiman berperan sebagai kaca depan dan kaca belakang sekaligus. Bayangkan Anda naik mobil yang ada kaca depannya, tapi bolong kaca belakangnya. Masuk angin kan?

Haaa…so intim itu sangat penting untuk dibangun selalu, meski juga harus diiringi dengan tata-kelola yang baik agar tidak memicu perselisihan.

Caranya?

Saya ingin bercerita dulu tentang seorang kawan yang baru saja menikah. Sebagai keluarga baru (catat ini buat para pelaku pacaran), dia tersentak menyaksikan begitu banyak pikiran dan sikap pasangannya yang tak pernah diketahuinya selama menjalin hubungan pacaran bertahun-tahun ini. Begitu banyak hal yang tak diketahuinya tentang pasangannya selama ini. Dan celakanya itu tentang hal-hal yang kurang berkenan di hatinya.

Tidurnya ngorok! Kalau mandi, lamaaaa banget! Sikat giginya juga sering agak siang! Kalau masak apa aja mesti rada gosong dan asin! Masak air aja jadi gosong! Kalau pengen sesuatu, ngotot banget! Kalau dikasih tahu tentang sesuatu, yang jelas-jelas penting untuk dirinya sendiri, mesti pake acara ruwet dulu! Komplit dah!

Begitu keluh-kesahnya. Buseyet juga ya, Bro/Sist, masak air aja bisa sampe gosong saking nggak bisanya tuh masak, haaa..haa…

“Tapi sekarang aku udah punya jurus sakti menghadapi semua egonya,” ujarnya sambil nyengir nggak bagus gitu. “Kalau dia marah, nyerocos gitu mulut bangirnya, aku hanya menyahut gini: ‘Pokoknya aku sayang kamu deh, full banget…’ Mau nyerocos gimana, aku diam kemudian. Meski hatiku kadang terpancing panas juga, tapi aku harus mampu memaksa diri untuk diam. Nonton tivi atau tinggal tidur aja. Acaranya lebih bagus. Yang penting dia sudah tahu bahwa aku sayang banget ma dia…”

Diam. Iya ya, bukankah beduk kalau ditabuh pada dua sisinya sekaligus takkan pernah menghasilkan harmoni nada yang mengenakkan pendengaran ya? Jadi, kalau salah satunya yang lagi ditabuh, maka mestinya sisi lainnya harus diam.

Kalau salah satunya lagi marah, nyerocos, maka yang satunya mesti bisa untuk diam. Jangan ikut nyerocos, karena rumus listrik telah jelas-jelas mengajarkan, bila plus dipertemukan dengan plus, maka hasilnya adalah korslet. Tapi bila plus ketemu sama min, maka lampu menyala terang deh.

So, salah satu harus diam (sepanas apa pun mendengar klakson mulut itu). Ini kunci pertamanya.

Alihkan perhatian, ini kunci kedua. Ya, jangan fokus pada kata-kata siletnya, anggap saja itu hanya bunyi ember pecah yang nggak penting banget untuk didengarkan layaknya sebuah musik. Sebab, kata-kata yang diluncurkan dalam keadaan emosi, akan selalu kehilangan nalar logis dan perspektif sahihnya. Sehingga hasilnya hanyalah tumpukan serapah dan jolakan api yang menjilat-jilat.

Sesulit apa pun, jangan fokus pada amarahnya. Atau, hemm…ini juga menarik: tinggal tidur aja! Ntar kan pasti capek sendiri orang yang menabuh ember pecah itu to, haaa..haaa..

Nah, yang terakhir, sangat penting nih, katakana padanya, “Pokoknya aku sayang banget deh, full banget, penuh, komplit, seduniaku hanya untukmu…”

Huaahh, kalaupun disahuti, “Gomballl mukiyooo…!!!”, biarin ajalah, yang penting dia selalu diberi tahi, ehhh…tahu, bahwa kamu selalu mencintainya seorang, dalam marah atau damai, dalam keadaan abis minum es atau pun makan sambal berlauk kobra, bahkan dalam keadaan hidungnya yang pesek, sepesek nalar logisnya menyikapi setiap masalah sehingga gampang marahan mulu.

Weekk…!

Memang betul, selalu harus ada yang menyediakan dirinya menjadi samsak sementara atas amarah salah satu pasangan. Emang nggak mudah menyediakan diri menjadi samsak. Sebab, di balik samsak itu, ada sesosok individu yang merasa memiliki harga diri, martabat, dan kehormatan. Tapi, tanpa ada yang mau jadi samsak, yang berarti semuanya pengen jadi sarung tinju, maka pertarungan sengit takkan bisa dihindari.

Beratnya menjadi samsak buat pasangan sesungguhnya selevel dengan berat apa yang kita rasakan sebagai “harga diri, martabat, dan kehormatan” itu. Seberapakah ukuran berat sebenarnya?

Nggak ada sama sekali! Aslinya, sama sekali nggak ada.

Yang kemudian menjadikannya begitu berat, kian berat, bahkan sangat berat hingga kita sendiri yang merasa memilikinya nggak mampu untuk memikulnya, hingga kita terjatuh terjerembab ke dalam tungku amarah pula, adalah hanya “imajinasi” tentang “harga diri, martabat, dan kehormatan” itu. Dan kita tahu, imajinasi itu adalah sebuah ilusi yang sungguh tak nyata wujudnya, apalagi manfaatnya.

Bukankah sungguh hanyalah sebuah kebodohan yang lebih bodoh dari kambing dongo jika kita malah saling cakar berebut mengumbulkan ilusi yang sama sekali tak nyata itu di hadapan pasangan hidup kita?

Kalau ternyata Anda berstatus begitu, pliss jangan dekat-dekatlah pada panitia Kurban ya, ntar dikira Anda kambing kurban lho…

Sumenep, 6 November 2011
0 Komentar untuk "Bertengkar Itu Biasa, Tapi Kudu Indah… (Awas, Jangan Dekat-dekat Panitia Kurban)"

Back To Top