Personal Blog

MEMBELI OTAK ORANG INDONESIA


Mau bilang sakit hati, toh nyatanya anekdot itu benar adanya. Mau diem ikut ngakak, kok hati berasa sobek-sobek. Ya, gimana nggak bakal dilema banget perasaan kita mendengar anekdot ini kan?
“Kalau mau transplantasi otak, jangan pakai otak orang Jepang atau Jerman, karena otak mereka sudah banyak dipakai. Tapi pakailah otak orang Indonesia, karena otak mereka masih jarang dipakai…”
Busyet dah!
Nggak ada seorang pun di antara kita yang berdarah Indonesia ini bakal terima dikatain begitu. Otak jarang dipakai bermakna bahwa kita ini jarang mikir, padahal kegiatan berpikir merupakan salah satu pondasi utama kelebihan manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya (selain kelebihan diberi hati tentunya). Itu berarti bahwa kita ini (dalam pandangan anekdot tersebut) sejatinya nggak begitu beda dengan tikus, ayam, kambing, dan lainnya yang nggak berpikir itu.
Setiap kita sontak akan marah bila kepala kita direndahkan oleh orang lain. Hadirnya rasa marah itu mengisyaratkan bahwa kita nggak sudi kepala kita direndahkan (yang di dalamnya ada otak kita, yang kita yakini bahwa di dalam otak itulah proses berpikir terjadi), lantaran itu dianggap sebagai perendahan terhadap nilai kemanusiaan kita.
Faktanya?
Jauh panggang dari api.
Mari kita sama-sama cermati: “Apa bedanya antara orang yang berpikir selintas dengan orang yang tidak berpikir sama sekali dan dengan orang yang berpikir dalam?”
Anggap misalnya kita sedang cemburu pada seseorang yang dianggap mengganggu hubungan kita dengan sang kekasih.
Orang yang berpikir selintas, niscaya akan lebih dikuasai oleh gelegak amarahnya bahwa perbuatan orang lain yang mengganggu hubungan kita itu tidak bisa didiamkan. Harus diselesaikan. Bagaimana cara dia menyelesaikan masalah tersebut, tentunya akan berada di level dia berpikir yang selintas itu. Bisa saja lalu yang mengemuka adalah melutu tentang martabat dan harga diri yang terusik. Lalu, cara penyelesaiannya adalah dengan menabrak begitu saja orang yang dituduh tersebut. Entah dampak akhirnya akan gimana, urusan ntar deh!
Dia tidak berpikir detail tentang kemungkinan-kemungkinan risiko dari langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Yang ada di kepalanya hanyalah tentang “menyelesaikan masalah”, lalu maju melangkah, dan crash! Demikianlah ending-nya!
Lebih parah lagi orang yang tidak menggunakan pikirannya sama sekali. Ini sama persis dengan kelakuan orang mabuk. Pokoknya maju, tabrak, jder! Hasil akhirnya mau gimana sama sekali tak hadir di tempurung kepalanya. Apa bedanya dia memiliki kepala dengan kepala milik seekor kerbau?
Nggak ada.
Tingkah-lakunya niscaya selalu akan sepadan dengan fisiknya, jika ke kanan maka akan ke kanan, jika ke kiri maka akan ke kiri, tanpa embel-embel timbangan plus-minus sama sekali.
Berbeda jauh dengan orang yang menggunakan pikirannya dengan dalam dan detail. Saat ia terbakar cemburu, otaknya tetap akan menghadirkan pendapat-pendapat untuk menimbang langkah-langkah yang bisa diambilnya untuk “menyelesaikan masalah”, dengan sangat memperhatikan plus-minus ending-nya. Apakah jika aku berkata keras, dia akan bisa menerima dan memahami rasa tergangguku akibat ulahnya ya? Ataukah, sebaiknya aku bicara baik-baik saja sebagai gentlemen? Bisa dengan memberikan analogi padanya, bagaimana rasanya bila hal yang sama terjadi padanya? Dan seterusnya.
Ia takkan langsung main maju seruduk ala banteng yang tak bisa berpikir. Ia pun takkan langsung melangkah tanpa menimbang detail plus-minus langkahnya ala orang yang berpikir selintas. Ia sangat memperhatikan detail dan membangun analisa rasional dalam menyelesaikan masalah yang sama, dengan cara yang penuh harmoni.
Pertanyaannya atas analogi tersebut: “Kita berada di posisi mana ya?”
Berpikir selintaskah?
Tidak berpikir blas?
Berpikir dalamkah?
Ingat, selalu saja ada beda yang sangat mendasar antar ketiga kelompok manusia dalam memperlakukan otaknya untuk berpikir. Harmoni dan benturan merupakan akibat dari cara kita menempatkan diri di antara tiga kelompok manusia itu.
Sejatinya, otak kita sungguh sama sekali tidak berkaitan dengan kekuatan fisik kita. Sama sekali bukan. Itulah sebabnya, hari ini, mereka yang menggunakan cara-cara fisik dalam mencapai tujuan atau menyelesaikan masalahnya, disebut sebagai “barbarian”: potret manusia yang main seruduk ala banteng yang mengutamakan otot dan tenaga fisiknya, dengan meminggirkan otaknya.
Capaian sebuah tujuan atau penyelesaian masalah apa pun dalam hidup kita ini akan selalu setimpal-selaras dengan kemampuan masing-masing diri kita, dengan pilihan menggunakan otak atau otot. Pilihan mengedepankan kekuatan fisik menandaskan pudarnya kekuatan pikiran pada diri kita. Ini tidak berlaku sebaliknya, pilihan mendahulukan kekuatan pikiran lantas menghabiskan kekuatan fisik kita. Tidak. Pilihan mengutamakan analisa logis, yang jelas itu melibatkan intensitas pikiran, justru akan banyak memberikan “menu pilihan” bagi kita dalam mencapai tujuan kita atau menyelesaikan masalah-masalah hidup kita.
Orang bijak sering menyatakan bahwa “kerja cerdas jauh lebih berhasil dibanding kerja keras”. Ungkapan bijak ini (hanya sebuah contoh) menciptakan pembandingan antara “kerja otak” dan “kerja otot”, dengan akibat: kerja otak tidak perlu menjadikan fisik bermandi keringat dan kerja otot selalu menuntut keletihan fisik yang sangat bahkan.
Hasilnya?
Selalu saja mereka yang berhasil dan sukses dalam hidupnya adalah mereka yang memiliki kemampuan manajerial, strategis, kebijakan, prediksi, hingga kreativitas, yang itu semua berpangkal dari “kerja otak”, bukan “kerja otot”.
Kita semua sungguh hanya tinggal memilih mau menjadi sosok seperti apa dalam memperlakukan pikiran kita. Pilihan setiap kita akan sejalan dengan hasil akhirnya kelak.
Setiap otak manusia memiliki lebih dari tiga miliar sel. Banyaknya kesalingterhubungan antar sel itu dipengaruhi oleh banyaknya kebiasaan kita untuk berpikir. Semakin banyak digunakan untuk berpikir, maka ketersambungan miliaran sel otak itu akan semakin banyak, dan bila semakin banyak, maka akan semakin geniuslah pikiran kita. Sebaliknya, otak yang jarang dipakai mikir akan sangat berkurang ketersambungan sel-sel otaknya itu, sehingga tidak akan menghasilkan kinerja pikiran yang baik.
Orang pintar dan bego, dengan demikian, sebenarnya memiliki jumlah sel otak yang sama. Karena itu, sesungguhnya, tidak pernah bisa dibenarnya klaim bahwa menjadi pintar atau bego itu adalah soal “pemberian Tuhan” (given), sebab semua kita sama-sama diberi sel otak yang sama. Seseorang menjadi pintar atau bego sepenuhnya disebabkan oleh intensitas masing-masing dalam  menyambung sel-sel otak itu melalui kegiatan berpikir.
Nah, bila otak orang Jepang dan Jerman sudah banyak tersambung sel-selnya, karena mereka banyak berpikir, sehingga mereka cerdas-cerdas, masak iya kita yang diberi sel-sel otak yang sama oleh-Nya tidak bisa mencapai capaian mereka?
Bisa banget!
Caranya simpel: pakailah otakmu untuk berpikir, sebanyak-banyaknya dan sesering-seringnya. Semakin banyak berpikir, maka akan semakin cerdas.
Jangan sampai anekdot nyeri itu terbukti suatu kelak: otak pemberian Tuhan kepada kita tidak pernah tumbuh menjadi cerdas, tetapi bila otak yang sama itu ditransplantasikan kepada orang Jepang atau Jerman, lantas otak itu menjadi cerdas.
Malu….
Jogja, 7 April 2012
0 Komentar untuk "MEMBELI OTAK ORANG INDONESIA"

Back To Top