Personal Blog

CERITA SEBUAH STATUS


Saya termasuk orang yang setuju dengan teori bahwa di saat kita emosi, otak kita kehilangan nalar sehatnya sampai 95%. Jadi, hanya tersisa 5% akal sehatnya, selebihnya gelap gulita mati lampu.
So, mudah dimengerti kan, saat kita dikuasi emosi, mengapa banyak sekali di antara kita yang kelakuan dan tingkahnya konyol bodol kayak cimol kemol-kemol, yang nggak bakal kita lakuin dalam keadaan sehat walafiat. Beragam modus ekspresinya. Dari yang memaki begitu jalang hingga yang menumpahkannya di status facebook, twitter, atau BBM.
Sepanjang kita masih lebih banyak kehilangan akal sehat kita, yang berarti kita masih didominasi oleh amarah murka itu, sepanjang itu pulalah kita akan menyatakan apa yang kita lakukan dan katakana atau tuliskan adalah memuaskan, melegakan, benar, sahih, plong, mantep. Lalu, seiring dengan surutnya emosi, yang itu berarti akal sehat kita telah kembali pulang ke rumahnya, sontak kita jadi malu sendiri, nyesal sendiri telah berbuat, mengatakan, dan menuliskan sesuatu yang tak pantas kita kerjakan.
Buru-buru kita menghapus status emosional itu. Diam-diam, dengan harapan takkan banyak orang yang membacanya.
Kita jadi malu pada tingkah kita sendiri. Kita tidak ingin orang lain menganggap kita lagi marah, emosional, hilang kendali, kayak orang nggak berpendidikan. Tapi, mampukah kita menghapus ingatan orang lain yang sudah kadung membacanya dan menancapkan penilaian tentang kepribadian kita?
Tidak pernah mampu.
Lantas, biasanya, kita akan membangun apologi, pembelaan, argumentasi, pada orang lain yang mempertanyakan tentang sikap kita. Sejuta analisa kita berikan, yang tujuannya hanya satu: mencabut anak panah yang telah kadung menancap di kepala orang lain tentang kita.
Berhasilkah kita mencabutnya?
Tidak pernah sungguh-sungguh berhasil.
Sekali saja kita gagal mencabut hanya gara-gara kita umbar emosi kita, bayangkanlah, apa jadinya bila ini kemudian menjadi habit pada diri kita, kebiasaan. Sebentar-sebentar uplod sesuatu yang menghujat, marah, emosional, yang mengiringi setiap desah napas hidup kita. Bukankah akan sangat sempurna kita layaknya membiarkan diri sendiri bertelanjang ria di jalanan ramai?
Orang lain takkan pernah mampu menyelesaikan masalah apa pun yang menimpa kita. Ya, hanya kitalah yang bisa menaklukkannya. Dan mengumbar emosi takkan pernah mampu menjadi samudera penampung masalah kita. Apalagi umbaran emosi itu dilemparkan ke pasar yang ramai itu.
Orang lain justru hanya akan menilai kita sebagai pribadi yang temperamental, emosional, ekspresif, reaktif, di kala menemukan status-status kita yang tidak berakal sehat itu di media sosial luas itu. Sisi negatif tentang kita akan menyeruak dominan ke permukaan. Ya, negatifnya!
Amat langka, untuk tidak saya nyatakan nggak ada, orang yang kemudian mampu berempati untuk membantu kita mencarikan solusi atas masalah kita, yang diketahuinya lewat status kita. Dengan kata lain, orang akan lebih suka bersorak-sorai atas masalah-masalah kita. Sebagian besar di antaranya bahkan dengan begitu ikhlas bergotong-royong menyebarkan emosi kita kemana-mana, tentu dengan bumbu-bumbu yang lebih pedas, getir, kecut, dan pahit!
Bro/Sist, kita semua sejatinya paham bahwa kita hanya akan menuai malu yang tak terobati lagi kalau kita mengumbar emosi kita di status-status. Kita pun sepenuhnya mafhum bahwa serapah apa pun di status takkan pernah bisa menolong meringankan masalah yang memicu emosi kita. Kita pun mengerti benar bahwa umbaran status-status itu hanya akan mencederai kemuliaan pribadi kita sebagai manusia yang berakal dan berhati yang tak pernah sudi direndahkan.
Tapi, faktanya, kita sendirilah yang merendahkan diri kita dengan umbaran status-status sakit jiwa itu, sehingga sungguh tak perlulah kita kemudian menyalah-nyalahkan orang lain atas hadirnya penilaian negatif tentang diri kita. Sungguh ini sebuah ironi yang membantai diri kita sendiri oleh tangan kita sendiri, yang mencerminkan dengan sempurna setiap lekuk kemaluan kita kepada orang-orang lain yang tak berhak untuk mengetahuinya.
Sampai kapan kamu akan begitu?
Sampai kamu mampu memahami bahwa sikapmu itu adalah kebodohan semata dan kamu mampu memaksa diri untuk tidak melakukannya lagi, lagi, dan lagi, dengan dalih apa pun!
Jogja, 18 Pebruari 2012
0 Komentar untuk "CERITA SEBUAH STATUS"

Back To Top