Personal Blog

EGOIS? BERSUJUDLAH…

Sejatinya, nggak ada manusia yang nggak egois. Semua egois, tentu dalam kadar masing-masing. Sepihak, egoisme penting sebagai wujud eksistensi kita sebagai manusia. Tanpa egoisme sama sekali, musykil kita bisa memiliki prinsip hidup. Dan orang yang hidup tanpa prinsip hidup sejatinya tidak lagi hidup karena ia tak lagi memiliki orientasi yang jelas dalam hidupnya.
Sampai di sini, menjadi sosok yang egois penting, bukan?
Tetapi, di pihak lain, terlalu egois juga nggak sehat. Egoisme yang berlebihan akan membuat diri kita anti-kritik, sepet pada ragam masukan sepositif apa pun, lantaran itu semua ditampiknya sebagai pengerdilan atas eksistensinya.
Contoh sederhana sering kita lihat atau bahkan kita alami sendiri saat kita marah, benci, pada seseorang, entah sahabat, saudara, pacar, dll., yang semua ragam kemarahan dan kebencian itu berpijak pada egoisme diri.
Saat kita dikuasai egoisme, seketika kita kehilangan sepenuhnya akal sehat kita, bukan nurani. Kalau nurani, selalu saja eksis dan membisikkan kepada kita dengan setia bahwa kritiknya benar, pendapatnya lebih baik, tetapi lebih sering kita gagal mengikuti kata hati itu lantaran otak kita sudah keburu mampat disumbat aliran darah yang super cepat dipompa egoisme itu.
Nggak heran kan, dalam keadaan egois yang lazimnya berwujud amarah dan benci, ucapan dan tindakan kita sering ngawur, ngacau, negatif, jauh sekali dari nilai kebaikan yang mestinya kita pegang selalu, yang kemudian kita akui dalam hati sebagai “yang benar” sesaat setelah egoisme itu mengendur.
Dan, surely, egoisme yang berlebihan ini, tidak pada porsinya ini, hanya memicu kerusakan dalam hidup kita, untuk lantas kita sesali kebodohan ucapan dan tindakan kita. Tapi, ya, gitu deh, nasi sudah jadi bubur, kata-kata tajam telah kadung kita coretkan ke kulit seseorang hingga ia terluka, dan luka akibat tamparan egoisme kita itu akan terus membekas.
Sesal tak pernah mampu mengobati dan menghilangkan luka perih itu, bukan? So, idealnya, kita janganlah melukai perasaan orang lain akibat kita gagal mengendalikan egoisme kita.
Tapi, gimana nih, sulit banget mewujudkan itu kan?
Ya, betul, sulit sekali, dan justru karena sulitnya ia untuk ditegakkan, siapa pun yang mampu menegakkannya, maka dialah sungguh orang yang mulia itu, yang betul-betul muslim kaffah itu.
Tetapi tahukah Anda bahwa ternyata Allah sudah menyediakan “alat terapi” bagi kita untuk mengendalikan egoisme diri itu?
Sujud!
Ya, bersujud.
Coba cermati dan renungkan, mengapa sikap sujud itu disediakan dalam shalat kita? Mengapa pula sujud itu dalam posisi jidat ditundukkan begitu rendahnya, sejajar dengan kaki kita yang rendah?
Kita tahu, kepala adalah simbol keagungan diri kita sebagai manusia. Itulah sebabnya kepala ada di atas selalu. Di kepala kita, otak disematkan, organ berpikir yang dengannya (berpikir) kita menjadi berbeda dengan binatang yang punya organ otak tapi tak bisa berpikir dengannya. Makanya, manusia yang tidak bisa berpikir, sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi binatang. Di organ otak pulalah, segala kinerja tubuh kita dikendalikan. Ibarat mobil, di kepalalah letak ICU-nya. Komputernya. Jadi, jelas sekali, bahwa kepala adalah simbolisasi paling sempurna kemuliaan manusia.
Poisisi kepala bertolak-belakang dengan posisi kaki. Kaki meski dipasangin sepatu semahal apa pun, tetap saja posisinya di bawah, di tanah, dan kadangkala menginjak kotoran dan lumpur pula. So, kaki adalah simbolisasi paling rendah eksistensi manusia.
Dalam sujud, Allah memerintahkan kita untuk meletakkan kepala sama rendahnya dengan kaki kita. Kepala sebagai simbol termulia diri kita diperintah untuk direndahkan sama rendahnya dengan kaki kita. Itu berarti, dengan posisi kepala sedemikian rendahnya dalam sikap sujud, Tuhan hendak mendorong kita untuk memahami dan menyadari selalu bahwa eksistensi kita ini, yang sering begitu kita muliakan sedemikian langitnya, yang berkatnya kita sering menjadi songong, arogan, marahan, penuh dendam, dan seabrek turunan sikap egoisme lainnya, TIDAKLAH lebih mulia dari nistanya tanah, debu, dan kotoran. Kepala yang kita unggulkan (seabrek egoisme di dalamnya) sungguh begitu nyata dihancur-leburkan oleh Allah dalam sikap sujud itu.
Sadar bahwa saya ini hanyalah makhluk rendah, nisbi, fana, jelas akan mendorong kita untuk mampu bersikap rendah hati. Tidak sadar bahwa diri ini hanyalah makhluk lemah, jelas hanya akan membuat diri kita merasa kuat, gagah, perkasa, pintar, hebat, kaya, berpangkat, dll., yang sempuran menjadikan kita selalu sombong dan penuh egpisme.
So, kita mau pilih yang mana?
Yang sadar bahwa diri ini hina, nista, rendah, setara dengan kaki yang suka menginjak sampah dan kotoran, ataukah kita akan memilih menjadi kelompok yang nggak sadar akan kelemahan diri kita sehingga terus merasa terunggul dan terhebat?
Sebagai “alat terapi”, tentu saja sujud tidak selalu memberikan keberhasilan terapi bagi pelakunya. Sama persis dengan obat-obatan apa pun yang tidak selalu berhasil menyembuhkan keluhan sakit kita.
Apakah obatnya yang salah kalau ternyata nggak berhasil?
Apakah sujudnya yang tidak manjur lagi?
Tentu bukan. Tetapi kitanya sajalah yang gagal menyerap hikmah besar dari “alat terapi” sujud itu.
Bahwa sujud adalah simbolisasi kerendahan dan kelemahan diri kita, tidak selalu ini berhasil kita pahami. Sebagian lain, meski telah memahaminya, tetap saja gagal untuk menancapkannya sebagai prinsip kesadaran dalam setiap tindak-lakunya.
Karenanya, soal berhasil-gagalnya sujud kita untuk menerapi egoisme diri kita sepenuhnya tergantung pada seberapa mampu kita menyerap hikmah sujud dan kemudian menancapkannya di dalam hati sebagai pandu setiap tindakan keseharian kita.
Jika kita sadar bahwa kita ini tiada artinya, tiada kekuatan sama sekali, di hadapan-Nya, yang itu kita raih dari posisi sujud itu, lantas kesadaran ini menjiwai setiap tindakan keseharian kita, yang terwujud dalam sikap rendah hati pada orang lain, maka itu pertanda bahwa kita telah berhasil dalam menerapi egoisme diri melalui sujud itu. Sebaliknya, jika kita sudah sering rajin sujud, tetapi kita tak menggali makna simbolik apa pun darinya, sehingga sujud kita sama sekali nggak beda dengan gerakan senam saja, maka otomatis kita takkan mampu mengendalikan egoisme kita, sehingga sikap keseharian kita tetaplah sedemikian arogan, angkuh, sok, dan egois sekali.
Begitulah. Anda tinggal memilih mau jadi yang seperti apa, meski Anda dan saya sama-sama menempuh alat terapi yang sama, sujud yang sama itu. Yang manapun yang Anda pilih, akan menjadi seperti itulah perilaku keseharian Anda, dan akan menjadi sedemikian pulalah personalty Anda, dan akan kembali kepada Anda sendiri segala konsekuensinya.
Tuhan telah menyediakan sujud sebagai sarananya, kini tinggal kita sendiri mau gimana…
Jogja, 11 Pebruari 2012
0 Komentar untuk "EGOIS? BERSUJUDLAH…"

Back To Top