Personal Blog

JE NE SUIS PAS ULAMA


Istilah kiai memang hanya khas Indonesia, yang menunjuk pada sosok ulama. Ulama, ya, tentu ini pelekatannya sebagai waratsatul anbiya’, pewaris nabi, yang darinya cermin bening kenabian memantulkan cahayanya kepada semua orang di sekitarnya.
Sebagai cermin bening, tentu ia harus mampu menjalankan fungsinya. Sederhana, memantulkan bayangan di depannya. Cermin nabi tentu bertugas memantulkan bayangan nabi. Maka bila ada cermin yang tidak bisa memantulkan cahaya nabi, jelas itu bukan cermin nabi, bukan warastatul anbiya’, dan tentu otomatis bukan ulama. Meski, bisa jadi tetap disebut kiai.
Nah, sampai di sini, terang sekali bahwa kiai belum tentu ulama. Keulamaan-tidaknya seorang kiai sepenuhnya tergantung pada kemampuannya memantulkan bayangan nabi.
Itu saja.
Sayang seribu sayang, esensi ini kian terpinggirkan dalam kehidupan keseharian kita. Jauh lebih mengemuka pada sisi labeling-nya, bukan fungsi esensialnya. Sehingga, wajarlah, kini begitu seabrek menemukan orang berjuluk kiai dan ustadz. Dalam labeling.
Bahwa nabi adalah anutan, suri teladan, kita semua menyepakatinya. Bukan hanya dalam ranah konsep ajaran, tetapi sekaligus praktek perilakunya. Maka tanyakanlah kini apakah kiai-kiai dan ustadz-ustadz yang Anda kenal mencerminkan posisi keteladanan itu?
Mari kita tengok satu contoh keteladanan nabi saja. Nggak usah banyak-banyak.
Dalam sebuah hikayat, dikisahkan bahwa nabi setiap akan ke masjid selalu menyempatkan diri menyuapi beberapa butir kurma kepada seorang buta yang duduk selalu di jalanan yang dilintasi nabi. Sambil menerima suapan nabi, si buta itu tak henti mencemooh nabi sebagai orang kurang ajar, brengsek, dan sebagainya. Segala serapah ia tumpahkan. Hingga suatu hari, nabi meninggal, lalu peran menyuapi orang buta itu digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Saat disuapi pertama kali, sambil nyerocos menyerapahi nabi, si buta itu berkata, “Kamu pastilah bukan orang yang biasa menyuapkan kurma padaku. Beda rasanya…”
Ali menjawab, “Iya, benar…”
“Kemana orang yang biasa menyuapiku itu?”
“Orang itu sudah meninggal.”
“Siapa dia?”
“Dialah nabi Muhammad…”
Sontak, si buta ini menangis sejadi-jadinya. Tak pernah disangkanya, orang yang rajin menyuapinya begitu tulus itu adalah orang yang diserapahinya selalu.
Hemmm…
Anggaplah itu kisah memberikan tekanan keteladanan nabi dalam hal “kesabaran” dan “ketulusan”.
Pertanyaannya, apakah kiai dan ustadz kita hari ini mampu melakukan hal sejenis itu?
Mampukah mereka bersabar di saat mengalami sebuah deraan cemooh, hujatan, serapah?
Tuluskah yang mereka lakukan di hadapan kita semua, baik langsung atau pun melalui televisi, facebook, twitter, dll., sebagaimana tulusnya nabi yang tak pernah mewartakan apa pun atas perbuatan luhurnya itu?
Tentu, soal tulus dan tidak, ada dalam hati. Dalamnya hati, siapa yang tahu. Namun, setidaknya, indikasi-indikasi yang terbersit dari setiap penampilan para kiai dan ustadz kita sekarang ini agak meragukan untuk dinyatakan sebagai ketulusan tak terwartakan.
Entahlah.
Mungkin saya yang terlalu hopeless dengan keadaan ini. Mungkin saya yang terlalu idealis mendambakan sosok teladan yang benar-benar bisa saya banggakan setiap ucapan dan lakunya hari ini.
Hanya, saya harus menyatakan bahwa terlalu banyak kiai dan ustadz hari ini yang menurut parameter yang saya bangun berdasar konsep cermin bening itu bukanlah ulama. Bukanlah cermin bening itu.
Je ne suis pas ulama, saya bukan ulama…
Jogja, 24 Pebruari 2012
3 Komentar untuk "JE NE SUIS PAS ULAMA"

pak edi uda bisa bahasa Perancis ya? tu bahasa perancis bukan?

di dunia ini semua terlihat samar pak...

semoga saya tidak berada di zaman yang Anda takutkan itu...

Salam,
"Pak Flinstones"

Back To Top