Personal Blog

“TUHAN TAK PERLU HELM FULLFACE” (NORMAL SCIENCE VERSUS REVOLUTIONAIRE SCIENCE)


Dua istilah tersebut (normal science dan revolutionaire science) dipekikkan oleh Thomas S. Kuhn, yang sangat getol memperotes cara pikir logika-positivistik. Pertanyaan-pertanyaan mendasar diajukan oleh Kuhn tentang bagaimana mungkin historisitas manusia yang begitu kaya dinamika dan episteme kemudian “dicukupkan” pada satu “rezim ilmu” yang dianggap purna, final, dan komplit.
Fakta sejarah menunjukkan betapa kehebatan Fisika Newton kemudian memperoleh kritiknya dari Einstein yang kemudian diakui sebagai “penyempurna”. Jauh sebelumnya, fisika Newton berposisi sebagai normal science, rezim ilmu, hingga kemudian muncul gugatan Einstein yang berposisi sebagai revolutionaire science.
Begitu pula dalam tradisi kalam atau filsafat Islam lama, yang begitu mendominasikan metafisika dan ontologi sebagai akibat pengkiblatan para filsuf muslim lama pada filsafat “dunia ide” Plato, yang berposisi tegak sebagai normal science, rezim kalam, hingga kemudian muncul revolutionaire science dari al-Ghazali yang mulai memperhatikan unsur aksiologi/historisitas manusia, meski al-Ghazali tidak sangat ekstrem karena kemudian meletakkan sufisme sebagai jalan untuk intim dengan Tuhan.
Demikian halnya dengan lecutan teori falsifikasi Karl R. Popper sebagai revolutionaire science terhadap normal science sebelumnya, yang mempertanyakan dominasi sebuah normal science sebagai ilmu yang bisa saja dikritik dan digantikan serta dinyatakan salah jika terbukti bisa disalahkan oleh “ilmu baru” (revolutionaire science).
Begitu halnya dengan normal science dalam khazanah fiqh lama yang mengalami penggerusan oleh letupan-letupan revolutionaire science di hari ini. Perempuan boleh jadi pemimpin dan terlibat dalam urusan-urusan publik. Perempuan boleh mengajukan gugatan cerai pada suami dengan sebab KDRT. Bahwa metode bayani dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an hari ini sudah tidak lagi memadai, karena berbagai kelemahannya yang hanya terfokus pada metodologi interpretasi teks, dan membutuhkan kolaborasi dengan berbagai disiplin kontemporer lainnya, seperti sosiologi, psikologi, sastra, hingga hermeneutika.
Begitulah. Kita paham bahwa sejatinya tak pernah ada normal science, karena setiap ilmu, sekokoh apa pun, akan selalu memperoleh kritiknya, yang timbul secara almiah sebagai konsekuensi logis laju dinamika historisitas manusia. Akan selalu ada upaya revolutionaire science seiring dengan pergerakan historisitas itu.
Hanya saja, memang sungguh sangat tidak sederhana bagi kita untuk berlapang dada menerima gerakan revolutionaire science itu, apalagi bila kita tergolong ke dalam kelompok pengampu kemapanan, yang umumnya terjadi akibat kita terlena oleh warisan-warisan ilmu yang diabsolutkan sebagai kebenaran tunggal. Dominasi truth claim merupakan pangkal masalah pelik sulitnya kita berlapang dada untuk menerima revolutionaire science. Lihatlah, hadirnya penerjemahan-penerjemahan yang berbeda atas normal science dalam varian hkum Islam (fiqh) begitu mudah divonis sesat, dzalim, bahkan kafir. Double movemenet-nya Fazlur Rahman hingga hudud al-ulya dan hudud as-sufla Muhammad Syahrur begitu sering diklaim sesat-menyesatkan, padahal sejatinya hal itu hanya merupakan konsekuensi logis revolutionaire science atas normal science,  yang bertumbuh seiring bertumbuhnya historisitas umat Islam sendiri.
Baiklah, cukup melegakan memang beberapa kalangan muslim kemudian melecutkan semangat “al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil aslah” (memelihara warisan lama yang baik dan mengambil pemikiran baru yang lebih baik). Memelihara “warisan lama yang baik” (normal science) dan mengambil “pemikiran baru yang lebih baik” (revolutionaire science) mengisyaratkan kesadaran untuk membangun dialektika antara normal science dan revolutionaire science sekaligus. Sebuah sikap kompromi untuk menghindari konflik diametral, bersemangatkan dialektika harmonis yang lama dan yang baru.
Tetapi sayangnya, semangat ini lebih banyak bersifat retoris, idealisme an sich, hanya “dunia ide” ala Plato. Betapa tetap sangat sulit dalam kenyataannya untuk memberikan ruang yang seimbang antara “yang lama” (normal science) dan “yang baru” (revoluitionaire science). Akibatnya, semangat itu hanya menjadi “gincu merah” pemanis bibir, yang seringkali gagap untuk diwujudkan dalam kenyataan.
Misal, meski kita paham bahwa warisan lama tentang berzakat, bersedekah, yang diambangi 2,5% itu sering tidak adil hasilnya (normal science), sehingga kemudian muncul revolutionaire science untuk memaksimalkan persentasenya, demi terciptanya rasa keadilan dan sekaligus “pesan dasar” ayat zakat untuk memaksimalkan pemberdayaan bagi kaum dhuafa, tetap saja kita mempertahankan kecenderungan lama bahwa persentase 2,5% itulah yang diajarkan Islam, al-Qur’an, bahkan Tuhan.
Misal lain, kendati kita mengerti bahwa al-Qur’an telah menetapkan tahap-tahap “nasihatilah yang baik, pisahi ranjangnya, lalu pukullah (baca: cerailah)” terhadap istri yang nusyus, yang mengisyaratkan tidak bolehnya melakukan kekerasan terhadap istri, tetapi faktanya kita lebih cenderung untuk mengabaikan “nasihatilah yang baik, pisahi ranjangnya” dengan langsung menuju pada “lalu pukullah/fadribuhunna” dalam penerjemahan yang literal-tekstual, dengan landasan normal science bahwa laki-laki (suami) “qawwamuna ‘ala an-nisa’” (imam/pemimpin bagi kaum perempuan), yang tentu saja itu mengabaikan revolutionaire science.
Selalu saja terjadi dominasi kuat untuk mengebaikan revolutionaire science di hadapan normal science, meski kita begitu getol meneriakkan semboyan “al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil aslah”, yang menjadi kian ironis lantaran dipondasi kuat dengan beton “inilah maksud al-Qur’an, inilah maksud Tuhan”.
Rezim memang cenderung anti kritik, meski ia tahu pikiran dan sikapnya tidak lagi relevan dengan zamkan-nya (zaman wa makan). Rezim memang cenderung mengorbankan kebaikan dengan membiarkan ketidakbaikan merajalela asalkan tahta kekuasannya tetap eksis.
Di hadapan rezim seperti ini, korpus suci menjadi tumbalnya, umat pun menjadi korbannya. Tak heran, peradaban Islam mengalami ketertinggalan yang sangat serius di hadapan peradaban-peradaban lain yang tidak menjadikan korpus suci, juga Tuhan, sebagai helm fullface pelindung stabilitas kursi politik rezimnya.
Tuhan, melalui al-Qur’an-nya, tak butuh helm fullface itu. Jika helm itu dilepaskan, maka ilmu akan sehat, umat pun akan maju!
Jogja, 29 Pebruari 2012
0 Komentar untuk "“TUHAN TAK PERLU HELM FULLFACE” (NORMAL SCIENCE VERSUS REVOLUTIONAIRE SCIENCE)"

Back To Top