Personal Blog

KRITIK NALAR ARAB MUHAMMAD ‘ABED Al-JABIRI

Tulisan ini adalah deskriptif, bukan analisis-kritis, karena memang dimaksudkan hanya untuk memberikan gambaran sederhana belaka dalam sebuah forum sederhana.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, lahir di Maroko1936, sebuah wilayah yang menjadikan bahasa Arab dan Prancis sebagai bahasa resminya. Wajar bila al-Jabiri intens dengan tradisi Arab (Islam) dan Prancis (Barat) sekaligus yang kaya akan metode analisis sejarah, kritik filsafat, dan jauh dari bentuk-bentuk formalisme ala kaum Postmo. Al-Jabiri dalam posisi ini selevel dengan Mohamed Arkoun, Nasr Hamed Abu Zayd, atau Hassan Hanafi, yang menggunakan pendekatan dekonstruksi dalam memahami tradisi (turats) di hadapan pembaruan (tajdid), dengan intens melibatkan metodologi semiotika, antropologi, sejarah, dan juga filsafat strukturalisme hingga post-strukturalisme.
Sebelum membicarakan tiga kunci utama epistemologi al-Jabiri dalam kritik nalar Arab, ada baiknya kita memahami dulu pandangannya tentang tradisi Islam. Menurut al-Jabiri, tradisi Islam adalah segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek-aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai ajaran doktrinal, syari’at, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat, hingga tasawuf, yang kesemua itu bergolak berkelindan antara satu sama lainnya dalam hubungan saling mengisi, mengkritik, dan bahkn menjegal. Karenanya, al-Jabiri memilih menggunakan tiga metode dalam menganalisis tradisi Islam atau nalar Arab, yakni: (1) strukturalis, kajian-kajian harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya, (2) analisis sejarah, dengan tujuan melihat segenap lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya, dan (3) kritik ideologi, untuk mengungkap peran ideologi yang berkembang yang mempengaruhi fungsi sosial-politik yang terkandung dalam pemikiran tertentu.
Inilah yang kemudian melandasi al-Jabiri membangun proyek Naqd ‘al-Aql al-‘Araby (Kritik Nalar Arab), bahwa untuk memahami tradisi Islam harus dilakukan dengan menelaah seluruh khazanah kearaban, secara strukturalis, sejarah, dan ideologis. Lalu al-Jabiri membangun tiga pondasi epistemologi atas proyek ini, yakni epistemologi bayani, ‘irfani, dan burhani.
Pertama, Epistemologi Bayani adalah himpunan kaidah dan aturan untuk menafsirkan wacana/kandungan pemikiran dalam teks (nash), bagaimana mengorientasikan al-far’u (kasus khusus yang tidak ada dalam teks) kepada teks sebagai al-ashlu (induk/pokoknya). Bayani menjadikan teks sebagai sumber pengetahuannya, sumber rujukannya, dengan melibatkan nalar logika untuk mengambil kesimpulan makna tertentu, meski dalam operasinya posisi logika tidak diberi kebebasan penuh. Rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan tertentu kecuali bersandar pada teks. Tujuan utama dalam bayani adalah syari’at, fiqh, dan ushul fiqh. Qiyas atau silogisme merupakan metode paling populer dalam bidang ini.
Bahasa menjadi fokus utama bayani. Studi tentang tradisi Arab tidak bisa dilepaskan dari studi bahasanya sebagai “sentral rujukan” yang melandasi lahirnya sstem pengetahuan atau ideologi apa pun di dalamnya. Karenanya, bahasa dinyatakn memiliki hubungan erat dengan pengetahuan, sehingga untuk mengetahui dasar-dasar lahirnya pengetahuan apa pun dalam dunia Arab-Islam, harus memasuki wilayah bahasanya.
Kedua, Epistemologi ‘Irfani adalah sistem pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara kasyf, tersingkapkan rahasia-rahasia oleh Tuhan kepada seseorang personal melalui olah ruhani. Seseorang yang diyakini memiliki kesucian hati berkat olah ruhaninya bisa memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan. Kata ‘ifran memiliki akar kata yang sama dengan ma’rifat, yang dalam tasawuf diterjemahkan sebagai pengetahuan tertinggi yang ditanamkan oleh Tuhan dalam hati seseorang melalui cara kasyf (mistik, gnosis, ilmuninasi). Perdebatan antara bayani dan ‘irfani karenanya selalu tentang benturan syari’at dan hakikat. Abdul Qadir al-Jailani merupakan satu contoh ahli mistik yang mendamaikan relasi syari’at dan hakikat itu sekaligus, antara bayani dan ‘irfani, dengan pernyataannya bahwa seseorang untuk mencapai fase hakikat harus menempuh dulu jalan syari’at.
Operasi epistemologi ‘irfani ini menggunakan metode qiyas dan syatahat. Qiyas ‘irfani berbeda operasinya dengan qiyas bayani, di mana qiyas ‘irfani lebih sebagai upaya menyesuaikan antara pengetahuan kasyf yang telah diperoleh dengan teks (nash), sehingga posisi pengetahuan kasyf lebih tinggi dibanding teks, kasfy sebagai ushul (utama) sedangkan teks sebagai fuqu’ (cabang). Karenanya, qiyas ‘irfani tidak memerlukan segala macam kaidah qiyas bayani, seperti ‘illat, karena berpedoman pada petunjuk ruhani (isyarah). Dalam bahasa lain, metode ini merupakan penafsiran esoteric terhadap al-Qur’an. Dalam tradisi filsafat Barat, metode ini juga dikenal pada penganut aliran esoteris atau intuitif. Sementara syatahat ialah pengetahuan yang diungkapkan semata-mata atas dasar kasfy tanpa mengikuti kaidah apa pun. Jika qiyas ‘irfani masih melibatkan keselarasan dengan nash, maka syatahat sepenuhnya pengetahuan bebas (untuk tidak dikatakan liar) atas dasar klaim pengetahuan mistik itu. Ungkapan “anal Haq” al-Hallaj dan “Maha Besar Aku” Abu Yazid al-Bushtami merupakan contoh nyata pengetahuan tersebut. Kalangan sufi sunni menolak model pengetahuan ‘irfani syatahat ini, karena menurut mereka isyarah tetap harus diungkapkan dalam makna zahir teks (nash).
Ketiga, Epistemologi Burhani adalah sistem pengetahuan yang dibangun atas dasar kekuatan nalar dan demontrasinya, eksperimentasinya, empirisasinya sekaligus. Secara istilahah, burhani disebut sebagai pengetahuan yang definitif dan jelas. Karenanya, ia membutuhkan keterlibatan intensif nalar di satu sisi dan empiris di sisi lain. Sederhananya, epistemologi ini bercorak rasionalisme dan empirisisme sekaligus, karena memang epistenologi ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Burhani mensyaratkan sebuah pengetahuan dinyatakan benar bila memiliki sidat benar secara logika dan atau mencapai derajat benar secara empirik. Peranan nalar dalam epistemologi ini untuk melihat realitas dan memproduksi pengetahuan atasnya dengan menyingkap sebab (idrak al-sabab). Tak pelak, ini menuju pada upaya menemukan hukum kausalitas di balik realitas: yakni menalar  “esksistensi sesuatu” untuk menemukan sebab dan akibatnya. Dalam pembandingan untuk memproduksi pengetahuan, jika bayani menjadikan teks sebagai ushul-nya dan realitas sebagai furu’-nya, maka burhani menjadikan realitas (al-waqi’) sebagai ushul-nya, lalu dengan menggunakan nalar dan pembuktiannya, akan lahir pengetahuan tertentu, yang bersumber dari penalaran dan pembuktian atas sebab-akibat realitas (al-waqi’) itu. Anda mungkin bertanya: “Lalu dimana posisi teks atau nash itu?”
Burhani memang cenderung meletakkan nash dalam posisi “spirit” (makna substansialnya) belaka, namun tidak berarti burhani menafikan makna teks. Posisi teks di hadapan burhani diletakkan sebagai spirit etik/religius yang melandasi practical life yang didasarkan pada pengetahuan burhani itu, pengetahuan yang telah dilahirkan melalui mekanisme nalar logis dan pembuktiannya. Maka maqashid al-syar’ie menjadi “ruh” dari pengetahuan burhani ini.
Tetapi penting untuk segera ditegaskan bahwa burhani sama sekali tidak berhasrat untuk mengukuhkan teks atau nash, seperti pada bayani. Burhani bekerja terus-menerus melakukan analisis terhadap realitas (al-waqi’) dan melahirkan kesimpulan atau pengetahuan baru darinya secara dialektis antara nalar dan empirisisme. Akal benar-benar memperolehj posisi tertinggi. Metode praktis yang dipakai dalam penggalian ilmu burhani ini ialah silogisme (qiyas al-jami’), induksi (al-istiqra’), dan infensia (penyatuan hal-hal yang memicu munculnya sebuah realitas), dengan mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan. Dalam posisi terakhir ini (tujuan-tujuan, universalitas-universalitas, dan aspek kesejarahan), maqashid al-syar’ie menjadi nilai-etiknya bagi umat Islam.
Burhani dengan kata lain adalah muthabaqah baina al-aql wa al-waqi’ (sintesa antara nalar dan realitas empirisnya).
Dari tiga epistemologi nalar Arab itu, al-Jabiri melakukan kritik nalar Arab dengan cara menghasratkan sintesa antara bayani dan burhani, dalam posisi supaya burhani melandasi bayani. Tujuannya jelas, bahwa bila cara kita menggali pengetahuan terhadap teks (nash) berhasil dilepaskan dari tujuan utama “mengukuhkan nash” (khas bayani), tetapi mengacu pada setiap realitas yang timbul dalam kehidupan aktual masyarakat Islam, dengan berpandu pada nalar dan pembuktiannya (khas burhani), maka pemikiran-pemikiran Islam kontemporer akan cakap dan terampil dalam mengaktualkan diri di hadapan realitas-realitas aktual. Sehingga Islam tidak akan ketinggalan dalam membaca, menggali, dan mengkonsepsikan isu-isu kontemporer. Ini tidak berarti bahwa al-Jabiri adalah sekuleris, karena ia tetap kukuh mempertahankan bayani, yang itu berarti bahwa ia mengidealisasikan pengetahuan-pengetahuan baru atas isu-isu baru (burhani) tetap memiliki landasan spiritual pula (bayani). Akan tetapi memang al-Jabiri tidak berpoisisi untuk menjadi legitimator teks (bayani), yang terlihat dengan jelas betapa ia mendorong pemikiran-pemikiran Islam untuk berdialog dengan ilmu-ilmu sosiologi, antropologi, teknologi, filsafat, dan seterusnya.
Al-Jabiri sepenuhnya menolak epistemologi ‘irfani, karena menurutnya, ‘irfani justru menggerogoti bayani dari dalam, yang terlihat dengan terang (misal) dalam hal metode qiyas dan syatahat-nya yang menegasikan kaidah-kaidah dasar bayani.
Jogja, 6 Maret 2012
0 Komentar untuk "KRITIK NALAR ARAB MUHAMMAD ‘ABED Al-JABIRI"

Back To Top