Personal Blog

COCOTEEE!!!

Tahu cocot?
Dalam menjelaskan sebuah definisi, seseorang boleh saja menggunakan kaidah-kaidah baku, tapi juga boleh tidak. Yang terpenting definisi yang diberikan menjadikan lawan bicara atau pembaca mengerti “intinya”  dan “konteksnya”. Misal, orang akademisi psikologi akan menjelaskan istilah “komunikasi” dalam definisi (misal), “Jalinan dialog dan intensi dua arah yang seimbang dan sejajar, dan inlah yang menghasilkan komunikasi yang positif.” Tapi, saya kadangkala mendefinisikan “komunikasi” dengan cara lain, yakni, “Komunikasi adalah pulsa!”
Kok pulsa?
Sebab SMS yang tidak dibalas, BBM yang nggak digubris, padahal itu penting konteksnya, bisa memicu kegagalan manajerial, kesalahpahaman situasi, dan bahkan disharmoni.
Nah, ini juga berlaku pada kata “cocot”.
Lughatan, orang umum akan mendefinisikan “cocot” sebagai “mulut, alat ucap, dan kata-kata”. Tapi kali ini saya akan menggunakan definisi yang berbasis kemuakan, so “cocotis “Otakmu nggak mikir ya, kok ngomong kayak ngentut, kok pintermu nggak ngefek blas, kok waton nyonthonge…”
Busyeettt…
Ya, saya marah menyaksikan seorang petinggi di negeri ini, yang sedang kesandung kasus tudingan korupsi, semalam dengan begitu ringannya di televisi berkata-kata dengan menggunakan mulutnya, alat ucapnya (dalam lughatan umum), “Kok nggak ada kerjaan KPK mau ngurus sumber yang nggak jelas itu, kok repot kurang kerjaan… Jika serupiah saja saya terbukti, gantung saja saya di Monas…”
Dia orang pintar, terpandang, tokoh. Saya nggak kunjung mengerti bagaimana mungkin dia mengeluarkan kalimat “Kok nggak ada kerjaan KPK mau ngurus sumber yang nggak jelas itu, kok repot kurang kerjaan…” ya?
Ini adalah kalimat intimidasi negasi. Kalimat begini mendorong pihak yang dituju (KPK dalam hal ini) supaya tidak melakukan pengusutan atas dugaan korupsi yang dituding “sumber yang nggak jelas…” Saat intimidasi negasi begini dilontarkan, maka konsekuensi semantik yang menyeruak ke angkasa publik kemudian ialah “Saya tak bersalah, jadi nggak perlu buang-buang energi bersikap bodoh menyelidiki tudingan nggak jelas itu…” Ini menjadi sangat vulgar saat dibumbui kalimat, “Jika serupiah saja saya terbukti, gantung saja saya di Monas…
Sumpah yang mengagunkan makna semantik “saya siap mati dengan cara memalukan” itu mengisyaratkan sang pengucap untuk meyakinkan publik atas kesalahan tudingan itu dan kebenaran dirinya. Komplitlah sampai di sini kebodohan semantik yang diciptakan: mulai dari kegagalan nalar untuk menjunjung hukum sebagai medan pembuktian benar/salah yang mestinya selalu dipihakinya sebagai keteladanan tokoh, nalar arogansi yang tak patut secara etis dipentaskan seorang public figure, hingga intimidasi semantik untuk men-judge diri dalam rel yang dikehendaki.” Satu hal lagi, agaknya sang pengucap lupa betul bahwa pudarnya alur logika sehat sehingga menjadikan pelakunya tak lagi mampu berpikir normal dan logis, secara psikologis, biasanya disebabkan oleh kondisi psikologis yang tidak stabli. Orang marah tidak akan bisa berpikir logis. Orang yang sedang dibakar api kesombongan tidak akan mampu berpikir sistematis. Orang yang sedang dilebur oleh gejolak emosionalnya takkan mampu menimbang secara logis kalkukasi plus-minus dari apa-apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Dan, lazimnya, orang yang sedang bersikap demikian itu, yang sejatinya sama sekali bukanlah cermin utuh personality-nya selama ini, adalah orang yang sedang chaos, kalut, bingung, stres, sehingga mengalami split personality: sekilas hendak menunjukkan diri secara logis-argumentatif namun sekilas lain justru terbunuh oleh argumentasinya yang sama sekali tidak logis.
So, baiklah, semoga saya dan anda semua tidak perlu suatu hari menyaksikan seseorang itu harus dihukum gantung di Monas ya. Karena kalau itu sampai terjadi (tentu hukum gantung takkan terjadi di negeri ini, tapi mari kembangkan itu sebagai berstatus terdakwa dan terpidana dan dipenjara), maka serentak runtuhlah segenap bangunan logika yang dibangun, integritas kejujuran yang dipentaskan, hingga menjadi pembuktian menyakitkan kesekian kalinya bahwa “kapasitas kecerdasan dan keagamaan seseorang sungguh seringkali tidak memberikan makna positif apa pun bagi pemiliknya”, sehingga orang yang demikian itu sejatinya “tidak perlu memiliki otak dan agama sekaligus” karena hasilnya sama saja “antara memiliki otak dan tidak, cerdas dan tidak, dan beragama dan tidak”.
Sampai di sini, saya setuju sekali untuk mengembangkan tafsir progresif Sayyid Qutb bahwa kafir itu bukanlah hanya soal ateisme dan politeisme, tetapi hari ini juga soal korupsi.
Hari ini, koruptor, dalam metodologi ini, sama kafirnya dengan sang ateis, bahkan lebih keji! Jika ateisme dan politeisme bersifat personal, dosa seorang manusia secara transendental kepada Tuhan, maka korupsi adalah kekejian berdampak komunal, menyengsaran ribuan dan jutaan manusia, sehingga sangat layak divonis dosa kepada Tuhan dan sekaligus manusia.
Cocot, how are you today...
Jogja, 10 Maret 2012
0 Komentar untuk "COCOTEEE!!!"

Back To Top