Personal Blog

“ISLAM KATA ALLAH”


“Jamaah sekalian, beginilah cara berislam yang benar, yang diridhai Allah…”
Orang-orang di seluruh tepian masjid raksasa itu tertunduk, simak.
“Jika engkau ingin masuk surga-Nya, maka ikutilah jalan itu, jalan yang telah diuraikan itu, karena begitulah yang dikehendaki-Nya…”
Aku tepekur sendiri membayangkan jalan lempeng yang dijabarkan lelaki bersurban lebar itu.
“Pokoknya ya cuma begini cara berislam yang benar, seperti yang diajarkan Rasulullah, yang diwahyukan Allah! Kalian jangan mengarang-ngarang paham sendiri, itu sesat namanya, kafir, neraka tempatnya…!!!”
Meledak. Menggelegar.
“Allaaaaahu akbarrrrrrrrr…!!”
Seisi lapangan luas ini meletus. Diselingi pekikan takbir, juga sebagian bershalawat. Berasa sangat aura spiritualnya, surgawinya…
Ya, ya, ya…gairah spiritual membahana semacam itu merupakan bagian nyata keseharian kita. Cermin keyakinan. Totalitas. Spirit.
Tak ada yang salah dengan semua semangat itu. Meski kemudian dalam hati saya sering sekali merenung: “Bagaimana itu dinyatakan sepenuhnya sebagai yang dikehendaki Allah? Yang berarti, yang lain darinya bukanlah jalan yang dikehendaki-Nya? Bagaimana cara pengetahuan mutlak itu diperoleh? Melalui wahyukah? Mimpikah? Mukjizatkah? Penafsirankah? Atau warisan tafsir dari gurunya, yang juga mewarisi hasil tafsir guru-guru sebelumnya?”
Hemm…sejak kepergian Rasulullah, jelas kita semua yakin bahwa tak pernah ada lagi seorang pun di muka bumi ini yang diberikan wahyu oleh Allah. Wahyu di sini mari kita pahami bukan semata sebagai “mukjizat”, tapi sekaligus segala jenis pengetahuan. Yang diwariskan Rasulullah sebagai orang terakhir penerima wahyu adalah al-Qur’an (teks) dan hadits (teks). Keduanya kita terima dan ketahui sebagai tulisan, teks, yang keduanya terbatas secara materi.
Di dalam al-Qur’an dan hadits, tidak ada ajaran tentang facebook, twitter, blog, , K-Pop, hingga iPad. Juga tak ada muatan tentang bagaimana warna jilbab, modelnya, bahkan pula tentang cara bersurban, motif sajadah, jidat hitam.
We know, al-Qur’an dan hadits hanya memuat garis-garis besar yang mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai muslim. Itu saja. An sich. Faqad. Toujour.
Selebihnya, yang bersifat praksis, terapan, hahhh…jelas adalah tugas otak kita untuk mengambil peran. Membacanya. Memahaminya. Lalu menafsirkannya. Sebagian, mengajarkannya kepada orang lain. Sebagian lagi, agak berlebihan, memfatwakannya sebagai “begini lho…”
Bahkan, dengan amat keras!
Salahkah?
Sebagai sebuah keyakinan personal, jelas wajib dong bagi kita untuk meyakini apa yang kita pahami sebagai benar dalam hidup kita. Hidup tanpa prinsip jelas akan rapuh. Labil. Bentar-bentar galau.
Tapi sebagai bagian dari organ masyarakat yang beragam, tentu tidak pada proporsinya untuk menyorongkan prinsip yang kita yakini untuk diikuti oleh banyak orang, semua orang, karena harap maklum bahwa jubelan kepala meniscayakan jubelan pikiran dan pilihan. Kehendak memaksakan serentak meletupkan ketegangan, benturan, pertikaian.
Bahwa ada begitu banyak orang yang memiliki pikiran dan pilihannya sendiri dalam hidupnya, biarlah itu menjadi bagian dari sunnatullah. Tidak perlu kita bersusah-payah, apalagi berdarah-darah, untuk menjadikannya seragam. Allah saja membiarkannya kok sebagai sunnatullah. Masak kita yang rempong banget mau mengubahnya.
Tentu, untuk meraih kelegaan hati menyaksikan keragaman prinsip hidup dibutuhkan kesadaran kognitif bahwa (1) keragaman itu adalah kehendak-Nya, sunnatullah, (2) tingkat kebutuhan orang sangat berbeda-beda, dan orang akan mendasarkan pikiran dan pilihannya atas dasar kebutuhan itu, (3) setiap kepala takkan pernah sama isi otak dan orientasi hidupnya, (4) apa yang kita anggap benar sesungguhnya adalah benar secara relative, sebagaimana relatifnya benar milik orang lain, yang semua itu berada di ranah pemahaman dan penafsiran, bukan ruh kebenaran itu sendiri.
Yang terakhir inilah yang begitu sensitif untuk kita pegang, betapa kita semua ini, tanpa terkecuali, sama sekali tak pernah tahu kok sebenarnya yang benar dari maksud Allah ini yang mana sih. Apakah yang A, B, C, atau X, Y, dan Z?
We know nothing!
Kita semua berada dalam posisi menerka atau menganalisa saat berusaha memahami al-Qur’an dan hadits. Sebuah terkaan dan analisa, sehebat apa pun ilmu metodolologinya, akan selalu berdenyut dalam dua kemungkinan: kemungkinan benar dan sekaligus kemungkinan salah.
Sama halnya saya tidak pernah tahu daerah Senggigi itu di mana, maka saat saya berusaha untuk menuju Senggigi, bisa saja saya benar sampai ke sana atau bisa pula saya salah arah.
Sejatinya, dengan kesadaran seperti itu, kita semua patutnya membiarkan “Benar” itu milik Allah. Biarkanlah diri kita berada dalam maqam-nya, posisinya sendiri, sebagai pencari kebenaran, pejuang kebenaran, tanpa perlu mengambil-alih posisi Allah selaku Pemilik Kebenaran itu sendiri.
Dua posisi ini mempunyai efek makna yang jauh berbeda: jika kita memaksakan diri untuk mengklaim pemilik kebenaran, maka di waktu yang sama kita akan merampas hak-hak kemungkinan kebenaran orang lain. Tetapi jika kita sadar menempatkan diri sebagai pencari kebenaran, penafsir kebenaran, maka kita akan bisa lebih legowo untuk membuka pintu kemungkinan kebenaran-kebenaran di ruang-ruang lainnya.
Ini berarti bahwa kita semua ini, tanpa terkecuali, tidak patut untuk membaptis diri sebagai “jubir Allah”, kecuali dalam batas bahwa kita meyakini prinsip pemahaman yang kita peroleh secara langsung dari teks suci itu atau kita warisi dari leluhur dan guru-guru kita. Paling jauh, kita bisa mendorong diri untuk menyampaikan dan membagikan apa yang kita yakini sebagai prinsip hidup kita, tetapi tidak dengan cara ngotot memaksa, apalagi memberangus prinsip-prinsip kebenaran lain yang berbeda, plus apalagi dengan mengharamkan, menyesat-nyesarkan, mengkafir-kafirkan, meneraka-nerekakan!
Menjadi “jubir Allah” saja ada batasnya, lantas kok bisa-bisanya berani melangkah lebih jauh lagi untuk menjadi “satpol-PP Allah” dengan cara-cara kekerasan yang justru kontraproduktif bagi semua pihak?
Sudahlah, Bro/Sist, nggak ada pantas-pantasnya bagi kita semua untuk bersikap arogan atas nama kebaikan, kemuliaan, karena kebaikan dan kemuliaan menolak sepenuhnya arogansi dan kekerasan. Nggak ada etis-etisnya buat kita semua guna memekik-mekik bahwa “inilah Islam kata Allah”, toh senyatanya, sejujurnya, sejatinya, sepeninggal Rasulullah, tidak pernah ada seorang pun dari kita yang pernah dibisiki oleh Allah: “Gini lho berislam yang benar…”
Faktanya, semua kita sepenuhnya selalu berada dalam upaya “pencarian kebenaran”, maka otomatis semua kita tak pernah absah untuk mengklaim diri sebagai “terbenar”, meski kita tetap kudu yakin bahwa apa yang kita pegang merupakan prinsip berislam kita, yang bisa saja berbeda dengan prinsip-prinsip orang lain.
“Islam kata Allah” bukanlah hak saya dan Anda saja untuk menyatakannya, tetapi hak semua muslim, di mana pun, kapan pun…
Jogja, 27 Maret 2012
0 Komentar untuk "“ISLAM KATA ALLAH”"

Back To Top