Personal Blog

SETAN PUN WASPADA PADA KITA

Ikrar setan, yang diwakili iblis, untuk terus-menerus menggoda manusia sepanjang masa, agar manusia tergelincir ke jurang kebejatan, agar manusia kelak menjadi sahabat setan di kerak neraka, hari ini justru telah berbalik arah, menjadi bumerang yang menghantam setan sendiri.
Dua hal saja sebenarnya yang paling prinsip dalam kinerja setan menggoda manusia: (1) agar manusia ingkar ibadah, dan (2) agar manusia berbuat jahat pada sesame (termasuk alam semesta dan isinya di sini).
Sekarang perhatikan sekitar (upps…diri kita sendiri juga dong), dari dua poin prinsipil itu, adakah yang tidak kita langgar?
Insya Allah, mayoritas kita (untuk tidak menyatakan semua) merupakan pelaku paling istiqamah terhadap pelanggaran dua hal tersebut.
Nggak percaya karena Anda merasa pelaku shalat yang istiqamah, juga menegakkan puasa Ramadhan, serta mengeluarkan zakat, dan bahkan telah berkali-kali haji dan umrah?
 Shalat: boleh saja kita ajeg menegakkan shalat lima waktu, plus shalat-shalat rawatib lainnya. Menjadikan kegiatan rutin itu sebagai penanda bahwa kita telah benar-benar mushalli (shalat) tidaklah memadai hanya dengan bersandar pada rutinitas itu. Di atas rutinitas itu, hal mendasar yang harus kita tanyakan pada diri kita masing-masing: “Apakah saya sudah berhasil meraih keterhindaran dari kekejian dan kemungkaran (tanha ‘anil fahsya’i wal munkar) yang merupakan esensi perintah shalat?”
Telah berhasilkah?
Sudahkah kita menjadi sosok muslim yang tunduk pada-Nya dalam sepenuhnya kehambaan, santun dan amanah pada sesama, dan ramah pada lingkungan?
Apakah kita sudah berhasil selalu berempati pada orang yang lemah? Apakah kita mampu menepiskan godaan duit yang tidak jelas kehalalannya? Apakah kita telah bisa menjaga lisan dari kedustaan?
Seabrek soal masih amat panjang untuk diajukan, yang mengerucut pada: “keterhindaran dari kekejian dan kemungkaran (tanha ‘anil fahsya’i wal munkar)”.
Semoga memang sudah. Tapi jika ternyata kok belum, atau kadang sudah dan kadang lagi tidak sudah, berarti kita belumlah seorang mushalli. Kita hanya bergerak secara fisik dan rutin untuk bershalat, namun shalat kita dalam keadaan mabuk (sukara’). Orang mabuk jelas takkan menyadari apa yang dikatakan dan dilakukannya, sama persis dengan kecenderungan umum kita menegakkan shalat tetapi tidak mengerti apa yang kit abaca dan gerakkan, serta bagaimana merasakan hadir-Nya di dalam shalat kita. Itulah shalatnya orang mabuk, shalat yang tak menghadirkan “rasa kehambaan” apa pun dalam jiwa kita. Maka otomatis kita pun gagal untuk meraih “keterhindaran dari kekejian dan kemungkaran (tanha ‘anil fahsya’i wal munkar)”.
Wajar, wajar sekali karenanya, bila mayoritas kita tetap saja menjadi bagian dari pelaku kekejian dan kemungkaran, meski kita begitu istiqamah menegakkan shalat. Tentu saja, bukan beginilah yang diinginkan dari perintah shalat itu. Shalat dan tidak shalat menjadi tak terbedakan lagi manfaat ruhaniahnya yang terkristalisir dalam perilaku nyata keseharian, dibanding orang yang tidak shalat tetapi sedang senam, jogging, yoga, slasa, dan sebagainya.
Zakat: jika kita masih menempatkan perintah zakat sebagai “mengeluarkan secuil harta” belaka, berarti kita masih berzakat di permukaan. Esensi perintah zakat (termasuk di dalamnya infak, shadaqah, dll), jelas sekali dimaksudkan untuk mengangkat derajat hidup orang-orang lemah di sekitar kita. Bila Anda berpikir saklek bahwa kewajiban zakat anda adalah 2,5%/pertahun, maka berarti Anda hanya akan “mengangkat derakat hidup orang-orang lemah” setahun sekali dengan jumlah yang tak pernah berhasil mengangkat derajat hidup mereka.
Lalu, bagaimana ukuran sebenarnya zakat itu?
Jawabannya terukur dalam (1) kepemilikan harta kita, dan (2) terentasnya kelemahan orang lain.
Jika Anda punya harta 100jt, dan Anda mengeluarkan zakat setahun sekali 2,5%, yaitu sebesar 2,5jt, mari bertanya: “Berhasilkah itu mengentaskan kelemahan orang lain?”
Bukankah duit segitu, zakat Anda, hanya akan cukup untuk dimakan 3-4 bulan saja dengan irit seirit-iritnya? Lalu, setelah waktu itu? Kalau duitnya sudah habis? Sementara Anda belum mengeluarkan lagi karena merasa belum “jatuh tempo” setahun sekali?
Nonsens!
Pola zakat begini takkan pernah mampu menjangkau ruh “mengentaskan kelemahan orang lain”. Akibatnya, wajar saja bila Anda kemudian tak kunjung mampu memiliki empati besar atas kelemahan dan nestapa hidup orang lain. Dan wajar pulalah bila kemudian Anda masih saja terperam dalam kecenderungan menyikat uang-uang yang tak jelas status kehalalannya, lantaran Anda belum memiliki “sifat tazkiah” (sifat penyucian) yang merupakan sifat dari perintah zakat itu. Sifat penyucian harta ini hanya akan teraih bila Anda sudah memiliki empati pada orang lain, yang akan mendorong Anda untuk tidak serakah pada harta, tidak pelit pada kepemilikan Anda, sehingga Anda begitu istiqamah memelihara status kehalalan harta Anda.
Dengan kata lain, kemampuan menerapkan pola zakat yang mampu “mengentaskan kelemahan orang lain” sejalan dengan hadirnya rasa empati pada jiwa Anda dan sejalan pula dengan kehati-hatian Anda dalam mencari harta. Zakat, dengan demikian, benar-benar merupakan wahana untuk menyucikan harta kita.
Puasa Ramadhan: semua kita mafhum bahwa melalui puasa, kita diajarkan untuk turut merasakan bagaimana hidup dalam lapar dan haus. Betapa nggak enak sekali rasanya. Masihlah kita mujur bila setiap hari kita bisa makan dan minum dengan baik. Di luar sana, amat banyak sekali orang-orang yang hanya bisa menjilat lidahnya sendiri menyaksikan tumpukan makanan dan minuman lezat tetapi tak terjangkau oleh kepapaannya.
Empati sosial seiring sejalan dengan praktek puasa.
Puasa juga menempa jiwa kita untuk berani menolak hal-hal yang bukan hak kita, meski tak ada yang mengetahuinya. Di tengah puasa, Anda tidak boleh makan, minum, berhubungan badan, dan melanggar segala larangan puasa lainnya, meski tak ada yang tahu sekalipun. Berpuasa dengan sendirinya sejalan dengan memampukan diri sendiri menahan diri dari segala hal yang tidak boleh kita lakukan.
Karena itu, seorang maling, penipu, pengumpat, hingga koruptor sungguh takkan pernah berani melakukan semua kebejatan itu jikalau ia berhasil memampukan dirinya menahan diri dari segala hal yang dilarang itu. Orang yang masih berani korupsi sungguh bukanlah seorang ahli puasa. Ini sama sekali bukan tentang ketahuan atau tidak, tetapi sepenuhnya tentang “memampukan diri” menahan nafsu dari hal-hal yang bukan haknya.
Haji dan umrah: segala ritual haji dan umrah sepenuhnya menempa kita untuk melepaskan diri dari kesombongan. Tak peduli pangkat apa, status apa, kaya seperti apa, semua kita harus mengenakan baju ihram yang seragam. Siapa pun Anda tetap kudu melakukan tawaf dan sa’i,  yang dalam proses pelaksanannya menyulap diri Anda benar-benar tercopot dari segala label status sosial dan ekonomi Anda.
Tak heran karenanya bahwa janji Allah terhadap balasan haji dan umrah yang mabrur sejalan dengan afsyus salam wa ith’amut tha’am (menebar keselamatan dan memberikan makanan). Bagaimana mungkin kita yang merasa wah, gagah, berpangkat, dalam rupa kesombongan apa pun, akan bisa menebarkan kebaikan dan keselamatan pada orang lain? Bagaimana mungkin pula kita yang sombong akan legawa berempati pada orang lain dengan memberikan makanan dan minuman kita?
Sungguh, haji dan umrah sama sekali tidaklah terukur dengan berapa kali Anda berangkat ke Makkah dan Madinah, mencium Hajar Aswad atau belum, tetapi sepenuhnya tentang “afsyus salam wa ith’amut tha’am (menebar keselamatan dan memberikan makanan)” itu. Tanpa praktek itu sepeulang hai dan umrah, otomatis Anda bukanlah seorang mabrur.
Wawwww….
Di poin pertama saja (ibadah), dengan mencermati ukuran-ukuran tersebut di atas, betapa sungguh sulit rasanya untuk meyakinkan diri bahwa kita sudah berhasil lolos dari jeratan setan.
Lalu, bayangkan lebih-lebih untuk poin keduanya (agar kita terhindar dari berbuat jahat pada sesama, termasuk alam semesta dan isinya)?
Dapat dipastikan bahwa kegagalan menyelamatkan diri dari goda setan di bagian pertama tadi selaras dengan kegagalan menghindarkan diri dari godaan setan di bagian kedua.
Mengapa?
Karena sejatinya, kemampuan mencetak diri untuk santun dan amanah secara sosial sepenuhnya bersumber dari kesadaran ruhaniah personal sebagai seorang hamba yang lemah, hina, dan fana, yang itu merupakan “ruh” dari perintah berbagai syari’at Islam. Otomatis, kegagalan memiliki “ruh syari’at” berimbas langsung pada kegagalan memiliki “ruh sosial”.
Empati sosial yang baik bersumber dari laku syari’at yang baik. Ukuran laku syari’at yang baik berada dalam “ruhnya”, yang terkejawantah dalam perilaku nyata sosial kesehariannya, bukan pada sifat fisik berapa kalinya atau rutinitasnya (meski rutinitas shalat, zakat, puasa, dan haji umrah merupakan bagian mutlak darinya), sehingga kemampuan “istiqamah” bukanlah jaminan “hadirnya ruh syari’at” itu dalam jiwa kita.
Jika kita cermati orang-orang di sekitar dan terutama diri sendiri saat ini, rasanya tak ada keyakinan kuat apa pun dalam jiwa setiap kita untuk menegaskan bahwa kita bukanlah bagian dari kelompok setan itu. Bahkan, dengan ekstrem bisa diungkapkan betapa hari ini setan-setan tak lagi perlu bekerja keras untuk menjerembabkan kita ke lubang-lubang kekejian dan kemungkaran. Bahkan, ekstrem lagi, silabus setan pun kini  telah kita hapal dan jalankan dengan begitu marak dan bersahaja, sebagaimana (saksikan) betapa marak dan bersahajanya orang-orang untuk berdusta, menipu, mengumpat, hingga korupsi, nyolong, dan menindas orang lain.
Tak berlebihan rasanya jika akhirnya ditegaskan bahwa hari ini setan-setan saja patut untuk berguru pada kita semua dalam mengembangkan ragam model kebejatan dan kemungkaran agar setan-setan tak kehilangan gelar kesetanannya dibanding kita. Tak berlebihan bila kita ekstrem membanggakan diri bahwa kita telah jauh lebih canggih dalam berbuat keji, bejat, buruk, dan mungkar dibanding  setan-setan yang terkutuk itu.
Perilaku bejat kita sungguh telah jauh lebih terkutuk daripada setan!
Lalu, dengan fakta-fakta kebejatan yang iqtiqamah banget kita lakukan dan kembangkan tersebut, apa lagi sih yang perlu dikejrakan setan di dunia ini?
Nggak ada!
Justru setanlah yang kini harus waspada kita pada.
Jogja, 30 Maret 2012
1 Komentar untuk "SETAN PUN WASPADA PADA KITA"

keren...
cukup membuat saya merinding, Mas.
:)

Back To Top