Personal Blog

JAUH KAU PERGI…


Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan
Ingin kulupakan
Semua tentang dirimu
Namun bayangmu selalu ada dalam setiap langkahku….

Jauh kau pergi meninggalkan diriku
Di sini aku merindukan dirimu
Ingin kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi kan seperti dirimu…oh kekasiihhh…
(Lagu “JAUH”)

Hemmm…
Ingat benar aku waktu melihat my “galau” daughter, Ve, terkapar suruk dalam banjir airmata karena kehilangan kekasihnya yang syahdan mulai leher, dada, perut, paha, hingga jempol kakinya kotak-kotak saking sixpack-nya (sebagian lain meeriwayatkan bahwa sesekali rambutnya pun kotak-kotak).
“Sakit ya…?” bisikku sambil mengelus rambutnya.
Ve mengangguk, “Hem emmm…” (Tentu, airmatanya terus deras sampai harus kulipat celanaku agar nggak kebasahan).
“Oke, nangis teruslah, ya, itu bisa melegakan sakit hatimu…”
“Iya, huaahhh…huaahhh…hiikkk…” suaranya meleduk lagi, persis kerasnya lagu Kompor Bleduk Benyamin Syueb.
Ya, tahu sih aku, sakitnya memang nggak akan hilang dengan deraian airmatanya, mau sederas apa pun itu. Meski pula kutahu airmata seringkali menjadi satu-satunya tumpuan hati yang tak bisa lagi memilih lainnya kala kesedihan mendera jiwa. Walau hanya sedikit yang bisa diringankan olehnya.
“Mendingan?” gumamku kemudian.
“Iya…agak longgar dadaku…”
“Banyak?”
Ve menggeleng, “C’est la petite…” sambil menyorongkan jempol dan telunjuknya dengan amat tipis. Tipis banget! Pertanda kelonggaran yang diraihnya berkat tangisan panjang itu hanya memberikan jeda sedikit sekali dari gunungan sesak dadanya.
Betul-betul hengkang entah kemana seketika segala senyum dan kekehannya yang amat gahar selama ini. Ya, saat kita kehilangan seseorang yang amat berharga dalam hidup kita, sontak segalanya akan tersulap meaningless. Seseorang yang telah kita masukkan ke dalam hati kita sebagian bagian dari denyut jantung kita, desah napas kita, lebar tawa kita, setiap langkah kaki kita, bahkan segala angan cita-cita kita.
Tapi, siapa yang bisa membantah tangan Takdir?
Tidak juga aku saat harus kehilangan ibuku tercinta di tanah suci dua tahun lalu, yang tak akan pernah bisa kujumpai lagi dalam nyata. Aku pun ambruk dalam gelimang airmata. Lara menggedor jiwa. Hidup seketika musnah. Matahari pun padam. Rembulan pun layu. Hari-hari pun meaningless.
Ve pun begitu saat harus kehilangan kekasih yang amat dipujanya siang malam, pagi sore, Subuh Maghrib, barat selatan, utara timur, dalam keadaan sujud atau pun i’tidal. Ia pun lebur remuk dihantam badai kehilangan itu.
Siang malam, sambil berlinang air mata, ia rajiiinnnnnnn banget menyanyikan lagu JAUH yang nggak jelas siapa penciptanya itu. Sesekali dicampur lagu Kerispatih, Demi Cinta. Tapi belakangan mulai diselinginya dengan lagu Iwak Peyek sih.
Ahhh…
Manusia, manusia, dalam kefanaannya sungguh tak pernah memiliki kuasa apa pun. Ketakberdayaan tak mungkin bersanding di pelaminan bersama keberdayaan. Kebersamaan tak mungkin pula seiring di perjalanan bersama perpisahan. Dan siapakah gerangan yang mampu melerai kunjungan perpisahan dalam ketakberdayaan dan kefanaannya?
Nggak ada!
Bahwa sakit yang menguliti hidupmu akibat perpisahan, bukan hanya tubuhmu, tetapi terutama jiwamu, jelas tak akan bisa dihilangkan layaknya kita melupakan sebuah mimpi yang hadir dalam lelap. Tidak bisa!
Perlu waktu.
Semua kita selalu membutuhkan waktu yang tidak secuil untuk mendorong diri sendiri mampu merelakan kepergian seseorang. Boleh saja akal sehat kita berkata bahwa kita takkan pernah mampu melawan takdir, tetapi hati kita takkan pernah mudah untuk mencapai posisi ikhlas, rela, legawa atas sentuhan takdir itu.
Aku tahu benar saat Ve berkali-kali bilang, “Aku sudah ikhlas kok, ikhlas kok, ikhlas kok…” bahwa sejatinya ia belum pernah sungguh-sungguh bisa ikhlas merelakan kepergian kekasihnya itu. Bahwa kan selalu saja ada setangkup hati yang cuil tercabik luka perpisahan itu, yang itu bisa bertahan selamanya, seumur hidup, atau sekian tahun dalam hidupnya, hal itu niscaya dialami semua orang.
Tu es prete?” tanyaku pada Ve.
Oui, je suis prete…”
Aku terbahak dalam hati. Ah, bohong bangetlah kalau lisan kita begitu tegas menjawab “Aku siap” untuk melupakan seseorang yang teramat kita cintai itu.
Mengapa bohong?
Sejatinya, ini bukan tentang siap atau tidak kan. Ini sepenuhnya tentang bagaimana kita akan memperlakukan hidup kita sendiri setelah ditinggal pergi seseorang itu.
Airmata, jeritan, adalah penyuram matahari hidup kita. Suramnya matahari itu jelas akan berdampak pada suramnya cara pandang kita dalam menempuh sisa kehidupan yang ada. Tidak semangat. Ngelentruk. Hopeless. Pas tres bien!
Itulah akibat langsung seramnya matahari hidup kita. Sampai kapan mau begitu?
“Ada jutaan lelaki di Indonesia, ngapaian mikirin satu orang itu selamanya. Itu hanya kerjaan loser…” kata Ve suatu hari.
Ah, aku bangga mendengar kalimatnya ini, meski kutahu itu tak sepenuhnya bisa dijadikan agunan bahwa ia telah mampu melepaskan diri dari kisah masa lalunya. At least, itu bisa dijadikan indikasi bahwa kekuatan nalar logisnya telah mendominasi gejolak hatinya yang terluka.
Betul, Bro/Sist, abaikan saja dulu soal ikhlas nggak ikhlas untuk melepaskan kepergiannya. Yang terpenting sebagai first step ialah proklamirkan dulu aja bahwa “Aku nggak ma uterus terjebak kenangan!” atau “Life must go on” atau dalam bahasa Ve: “Ada jutaan lelaki di Indonesia, ngapaian mikirin satu orang itu selamanya. Itu hanya kerjaan loser…”
Bahwa setelah proklamasi kemerdekaan itu kok kita kemudian kembali tersuruk dalam kenangan, hal itu hanya akan bisa diredam oleh laju waktu. Semakin lama kamu menempuh sebuah kehilangan, maka akan semakin luruh pulalah rasa sakit itu. Meski takkan pernah sungguh-sungguh bisa dihilangkan. Ia memang akan terus menyertaimu dalam sepanjang hidupmu. Sesekali ia akan timbul ke permukaan, menyeruak, menyapamu, membuatmu menangis kembali, biarkanlah itu berjalan alamiah, lantaran aku dan kamu adalah manusia yang takkan pernah bisa lari dari rasa terluka, kenangan, dan impian yang tak selalu bisa dipeluk selamanya.
So, karenanya, ini sama sekali bukan tentang “melupakan”, sebab ia takkan pernah bisa dilupakan. Ini tentang hidupku, hidupmu, dan hidupnya, yang kudu terus bergerak ke depan, tidak ke belakang.
Aku tersenyum diam-diam kala kulihat Ve mulai kian rajin kasak-kusuk curhat tentang Paska, teman les Prancisnya. Ahh..matahariku itu mulai bersinar kembali, dinyalakan oleh obor yang kebetulan bernama Paska, yang konon tergila-gila olahraga Badminton, meski sungguh kuragukan itu karena kutahu Paska sangatlah jauh dari postur seorang olahragawan…
Le lempo, le debek…
Sudahlah, siapa pun dia, laju sang waktu telah berhasil membangkitkan kembali matahari di hati Ve.
Dan memang hanya akan seperti inilah kemampuan setiap kita menerapi luka hati akibat kehilangan seseorang yang amat kita cintai dalam hidup kita…
Jogja, 28 Maret 2012
0 Komentar untuk "JAUH KAU PERGI…"

Back To Top