Personal Blog

ADA TUHAN DI TWEETER ANAS URBANINGRUM


Pagi ini, saya menemukan tweet Anas Urbaningrum yang menggunakan kata “Tuhan” untuk menampik belitan kasus dugaan korupsinya. Beberapa waktu lalu, Angelina Sondakh yang tak lagi layak memikul pangkat Putri Indonesia itu juga menggunakan nama Tuhan di blog-nya saat dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Dulu, dulu sekali, saat awal-awal kasus korupsi kakap ini digulirkan oleh Nazaruddin, Anas dan Anggi (tentu didukung para lawyer-nya dan kubu Partai Demokrat) sama-sama rajin menyerukan “asas praduga tak bersalah”.
Kalau kita cermat, jeli, detail, ternyata dalam kasus korupsi itu berlaku “hierarki” dan “diferensiasi makna” dari penggunaan slogan hukum “asas praduga tak bersalah” hingga “Tuhan” (spiritual, agama).
Hierarki: cermati dengan seksama, saat pertama kali menjadi tertuding, Anas dan Anggi plus lawyers dan klannya di Demokrat masyaaaa ampun banget rajinnya menyajikan menu “asas praduga tak bersalah”, dalam segala bumbunya, mulai dari “Negara kita negara hokum, jadi mari tegakkan asas praduga tak bersalah” hingga “Itu fitnah, fitness, pipit yang kena tetaness…biarkan hukum yang menuntaskan dengan asas praduga tak bersalah”, dll. Semakin deras tudingan itu, semakin menyeruak indikasi-indikasinya, pekikan “asas praduga tak bersalah” itu mulai lenyap digantikan oleh “Tuhan, Tuhan, dan Tuhan…”
Tuhan ternyata diberi kursi hierarkis tertinggi, di atas stempel hukum “asas praduga tak bersalah” itu.
Slogan hukum “asas praduga tak bersalah” menghasratkan kehendak sang tertuduh agar diperlakukan secara obyektif dan empirik supaya jangan dihakimi dulu sebelum perangkat hukum menyatakannya secara obyektif dengan bukti-bukti empirik salah, yang tentu saja hasrat ini menjadi birahi tertinggi semua orang yang disangka, diindikasikan terlibat dalam sebuah pelanggaran hukum atau norma sosial, termasuk Anas dan Anggi. “Saya belum tentu bersalah, jadi jangan hakimi saya, hargai hak saya, biarkan pengadilan membuktikan ini terbukti atau tidak,” begitulah esensinya.
Ya, betul, “asas praduga tak bersalah” ini memang hak setiap orang, termasuk Anas dan Anggi. Gayus pun dulu menggunakan hak yang sama, sebagaimana kini Dana dan Ajib pun mengenakan sarung itu. Jika “asas praduga tak bersalah” ini dipekikkan oleh orang yang terindikasi, makna semantik yang dikehendakinya jelas adalah untuk melindungi diri dari vonis pra-pengadilan, cemooh orang, hujatan, dan alenasi (dalam bahasa Marxisme) sosial. Orang-orang yang terindikasi melakukan korupsi ini menghendaki tetap memperoleh kenyamanan sosial yang sama dengan sebelum terindikasi, sebagaimana orang-orang lain yang tidak terindikasi kasus apa pun. Maunya, kalau pergi ke mall, mantenan, taman kanak-kanak, pasar, bioskop, dll., jangan di-judge dengan lirikan sinis, cibiran mulut, kasak-kusuk nggak enak. Maunya, sama dengan semua orang yang nggak terindikasi korupsi itu, biasa saja.
Baiklah. Dari sini, itu memang seharusnya mereka peroleh, sebagai Hak Asasi Manusia. Tetapi kita juga nggak boleh lupa bahwa tata nilai masyarakat di era Google begini sedemikian derasnya, dan tak setiap orang memiliki kejumawaan untuk bersabar menunggu kerja obyektif dan empirik aparat hukum. Ini masalahnya, sehingga keinginan untuk diperlakukan “seolah tak ada apa-apa” dengan slogan “asas praduga tak bersalah” amat sulit diwujudkan secara komunal.
Secara kognitif, mereka yang orang-orang terdidik itu jelas paham bahwa amatlah musykil menyumpal 200 juta mulut di negeri ini untuk tidak mencibir mereka. Otak logis mereka mengerti betul betapa amat muhal untuk mendesain 200 juta orang itu tidak mencemooh mereka. Pekikan-pekikan “asas praduga tak bersalah” merupakan salah satu upaya mereka di atas kegalauannya untuk setidaknya mengendurkan lirikan sinis dan cemooh najis itu. Dan mereka tahu bahwa itu takkan pernah berhasil benar. Tapi mereka tak punya pilihan sikap logis lain kecuali terus menjeritkan rasa tersiksa akibat “terhakimi, tertuduh, tertuding, teraniaya, dan terdzalimi” oleh suara-suara luas itu dengan sejnata “asas praduga tak bersalah”. Galaulah orang-orang yang terindikasi macam Anas, Anggi, Dana, dan Ajib itu, dan akan terus galau hingga pengadilan membuktikan secara obyektif dan empirik status hukum mereka.
Di tengah kian derasnya hujan galau itu, manusia paling primitif sekalipun akan mencari-cari “SESUATU” di luar kuasa semua manusia untuk dimintakan sebagai pelindung mereka. Teori klasik tentang sejarah lahirnya animisme ala E.B. Tylor dan J.G. Frazer juga menyatakan hal yang sama, bahwa manusia primitif sekalipun kemudian mulai membangun keyakinan-keyakinan aministis akibat kegalauan personal yang begitu kuat kala berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tak mampu mereka tangani dan kendalikan. Lalu petir pun dijadikan dewa. Pohon besar dijadikan dewa. Gunung, hutan, banjir, lautan, gelombang, tsunami, dll., dijadikan dewa. Semua dewa, tuhan, danyang, roh, dan sebagainya dalam beragam sebutan itu dihasratkan sebagai “rujukan akhir kegalauan” manusia berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tak mampu dikuasainya.
Anas dan Anggi pun melakukan sikap itu, yang sama persis dengan sikap anismistis manusia primitif. Tweet Anas pagi ini dan tulisan Anggi dib log-nya beberapa waktu lalu yang menyebut-nyebut Tuhan dalam kasus mereka merupakan “perujukan diri di hadapan fenomena-fenomena sosial” yang tak bersahabat, yang menyebabkan mereka sedemikian terpuruknya dalam kegalauan, dengan hasrat penyebutan Tuhan itu akan meredam tensi alienasi sosial mereka, agar masyarakat tak mencibir mereka, agar kegalauan mereka terkurangi.
Dalam filsafat ilmu, kita mengenal istilah “Silogisme”, yang bekerja untuk mengambil sebuah kesimpulan dari dua proposisi yang dinyatakan sama substansinya. Dalam ilmu Ushul Fiqh, ini disebut Qiyas.
Jika teori ini kita terapkan sebagai metodologi untuk memahami penyebutan Tuhan oleh Anas dan Anggi, jelas benar bahwa silogismenya serupa dengan ketidakmampuan logis orang-orang primitif berhadapan dengan fenomena-fenomena adi kuasa di luar dirinya yang kemudian diwujudkan sebagai keyakinan-keyakinan anismitis. Seruan-seruan berlabel Tuhan oleh Anas dan Anggi, menurut metodologi ini, sama primitifnya dengan orang-orang pedalaman Aborigin, seperti diteliti Emile Durkheim, misalnya, dalam mengambil sikap di tengah kegalauan hebat yang gagal dikendalikan oleh kekuatan logikanya.
Tuhan, Tuhan, Tuhan: sumber agama, nama spiritual, kekuatan supernatural, diharapkan menghadirkan kekuatan “peredam sosial” yang lebih ampuh dari daya redam “asas praduga tak bersalah” yang tak lagi ampuh meredam keterdesakan itu. Tuhan dalam konteks ini sebenarnya tengah diangkut ke ranah tata nilai sosial, untuk mengendalikan fenomena komunal, tentu dengan nilai spiritual Tuhan itu. Jadi, spiritualitas dicoba-tranfer ke dimensi sosial. Agar dimensi sosial terkendalikan oleh dimensi spiritual. Tuhan, dalam konteks ini, sadar atau tidak, direduksi dengan sengaja dari Dunia Spiritual yang transendental agar “membumi” di Dunia Material yang imanental ini. Dari Tuhan yang sakral direduksi menuju Tuhan yang profan. Dari Tuhan yang netral menuju Tuhan yang berpihak. Dari Tuhan yang normatif menuju Tuhan yang historis. Dari Tuhan yang bebas kepentingan menuju Tuhan yang penuh kepentingan.
Dalam situasi begitu, terjadilah “diferensiasi makna”, pembedaan dan pengubahan makna dari yang umum menuju yang khusus. Jika secara umum kita memahami Tuhan, misal, dalam makna sifat “Maha Pengasih dan Penyayang” (ar-rahman wa ar-rahim), yang mendudukkan Tuhan sebagai Dzat yang tak pernah pilih-pilih kasih dan sayang-Nya pada label tertentu, berlaku bagi semua makhluk-Nya, maka dalam makna khusus, diferensiasi makna Tuhan,  yang disebutkan oleh Anas dan Anggi itu bisa menjadi “Jangan cemooh kami, jangan nista kami, perlakukan kami dengan adil sebagai manusia…” (dll). Diferensiasi makna selalu menghadirkan makna tertentu, khas, terhadap makna umum yang lazim dipegang manusia komunal, sesuai dengan kepentingan si pengucap. Jika Anas dan Anggi berkepentingan agar tidak di-judge buruk atas indikasi korupsi mereka, maka diferensiasi makna penyebutan Tuhan yang mereka lakukan berada di situ. Sebutan Tuhan oleh mereka, dalam bahasa yang lebih nyelekit, merupakan bemper, tameng, atau helm pelindung indikasi-indikasi itu.
Tuhan pun mengalami “degradasi kelas” karenanya.
Memang, kelak hukumlah yang akan memutuskan benar/salahnya indikasi-indikasi yang kian menyeruak terhadap diri Anas dan Anggi (meski Anggi sudah ditetapkan sebagai tersangka). Hasil obyektif dan emprik hukumlah yang akan mengakhiri drama korupsi ini. Lepas dari kinerja aparat hukum kita yang masih lebih banyak brengseknya daripada mulianya, lebih gemar nerakanya daripada surganya, suka tidak suka, kita semua harus legowo menerima putusan pengadilan atas mereka (serta siapa pun kelak yang terindikasi korupsi lagi).
Saya hanya sering gundah, kenapa ya kok semua orang yang terindikasi korupsi (serta kejahatan lainnya) suka banget memakai helm “asas praduga tak bersalah”, kok tidak demen menggunakan slogan yang out of box, seperti “asas praduga bersalah”. Konsekuensi makna “asas praduga tak bersalah” bila diucapkan oleh mereka yang terindikasi menghasilkan fungsi makna “melindungi diri dari indikasi-indikasi” itu. Sebaliknya, konsekuensi makna “asas praduga bersalah” bila dinyatakan oleh mereka yang terindikasi menghasilkan fungsi makna “gentle menghadapi indikasi-indikasi” itu.
“Mau menuding saya salah sebelum sidang pengadilan berdasarkan indikasi-indikasi itu silakan, toh saya merasa tidak bersalah, mari buktikan melalui hasil obyektif dan empirik pengadilan nanti.”
Bukankah ini sikap yang gentle, mencerminkan kebesaran hati menghadapi tantangan hidup, sekaligus sikap ksatria taat hukum?
Bandingkan dengan slogan jadul “asas praduga tak bersalah”, yang menyiratkan makna untuk melindungi diri dari tudingan indikasi-indikasi.
“Jangan main vonis, saya tidak bersalah, hukum yang kelak akan membuktikan benar/salahnya…” Apalagi dengan embel-embel “Itu fitnah yang sangat keji…” (tambahin aja sekalian “lebih keji dari keju dan kaju”) dan bahkan “Hanya kepada Tuhan saya mengadu di tengah tudingan-tudingan fitnah itu…”
Pengecut, bukan?
Ya, ini memang hanya kegelisahan saya, mengapa sih kita harus menjadi pengecut menghadapi tudingan indikasi-indikasi apa pun jika faktanya kita yakin benar bahwa kita tak melakukan kejahatan itu?
Mari kita tunggu saja deh. Walaupun Anggi kini sudah berstatus tersangka, saya masih berharap besar Anggi tidak divonis salah oleh pengadilan. Sebab sungguh saya dan jutaan rakyat Indonesia akan kehilangan harapan untuk terbebas dari korupsi super gila di negeri ini bila orang super smart sekaliber Anggi yang kita kenal selama ini juga terbukti secara hukum melakukan korupsi. Lalu kepada siapa lagi kita akan berharap?
Saya pun berharap hal yang sama tingginya pada Anas Urbaningrum. Kita semua mengenal Anas selama ini sebagai cendekiawan, aktivis, tokoh berbasis pesantren pula. Jika kelak Anas terbukti secara hukum kelelep apel Malang dan Washington pula, entahlah kepada siapa lagi kita bisa berharap…
“Apakah Anda bisa berpikir?”
“Tidak, Yang Mulia…”
“Apakah Anda bisa bernapas?”
“Tidak, Yang Mulia…”
“Apakah Anda manusia?”
“Tidak, Yang Mulia…”
Ya Allah, ya Tuhanku, saya tak ingin lagi mendengar kebodohan-kebodohan vulgar menyakitkan hati itu lagi.…
Jogja, 8 Maret 2012
0 Komentar untuk "ADA TUHAN DI TWEETER ANAS URBANINGRUM"

Back To Top