Personal Blog

INGATLAH AKU, MAKA AKU AKAN INGAT PADAMU...

Cinta yang baik pastilah bergerak saling mendekat dalam dua arah sekaligus: yang dicintai bergerak mendekat dan yang mencintai bergerak mendekat. Tanpa gerakan kedua pihak, sangatlah musykil cinta yang ada akan menguat dan apalagi menyatu. Seberapa besar pun cinta itu, jika kaidah itu tidak terpenuhi, pastilah ia akan berujung kepada kekandasan.
Begitu pula cinta yang diajarkan Tuhan pada kita. Tiodak muluk-muluk, jauh dari nada gombal, Tuhan hanya mengajarkan model cinta yang “saling mengingat”. “Ingatlah padaku, maka aku akan ingat padamu…” begitu bunyi sebuah ayat dalam al-Qur’an-Nya.
Layak sekali untuk kita renungkan, mengapa Tuhan menggunakan kata “mengingat” sebagai simbol cinta? Dan mengapa pula Tuhan menjadikan kata “mengingat” dalam hubungan timbal-balik (kausalitas)?
Ada begitu banyak ungkapan bijak yang menempatkan makna kata “ingat” sebagai puncak simbol cinta. Ya. Sebab “mengingat” adalah “mengadakan”, “mewujudkan” sesuatu ke dalam kehidupan kita. Sekalipun sesuatu yang kita ingat itu tidak ada wujudnya untuk kita rasakan secara nyata.
Misal, saya sudah kehilangan ibu tercinta sejak dua tahun lalu. Beliau sudah dipanggil menghadap-Nya. Wujudnya tak lagi ada secara nyata dalam kehidupan saya. Tetapi setiap kali saya mengingat ibu, seketika beliau “ada” dalam hidup saya, beliau “mewujud” dalam hidup saya, senyatanya.
Ternyata, sekalipun apa yang kita inga itu tak benar-benar ada secara nyata dalam dekapan kita, tetapi dengan cara mengingatnya, maka ia hidup dalam  hidup kita.
Tuhan takkan pernah benar-benar bisa kita rasakan secara nyata Wujud-Nya dalam hidup kita. Tidak. Tuhan bukanlah wujud fisik yang bisa kita sentuh. Ia adalah Wujud yang memperlambangkan Diri-Nya dalam seluruh simbol kehidupan jagat raya ini, termasuk kita di dalamnya tentunya. Tetapi mau sebanyak apa pun simbol keberadaan-Nya itu dihantarkan ke meja kita, jika kita tak mengingat-Nya, maka jangan harap kita akan mampu menyatakannya “ada”, “wujud”, dan apalagi “hidup” dalam kehidupan kita.
Situasi psikologis ini sama persis dengan, umpama, kita memiliki seorang mantan dalam sejarah hidup kita, yang beberapa tahun lalu begitu amat dahsyat wujudnya, keberadaannya, dalam kehidupan kita. Karena dia hanya telah menjadi seorang mantan, dan kita tak lagi mengingatnya, pastilah kita takkan pernah merasakan lagi wujudnya, keberadaannya, apalagi hidupnya dalam kehidupan kita. Nama lengkapnya saja kita bisa saja telah lupa. Apalagi tanggal lahirnya. Apalagi rupanya sekarang ini.
Semua itu terjadi hanya karena sebuah sebab: “tidak ingat”.
Maka jelaslah bahwa sekalipun kita beragama, berislam, bersyahadat, bershalat bahkan, tetapi kita tidak mengingat-Nya, maka sungguhlah itu bukanlah situasi yang menghantar kita untuk mencintai-Nya, merasakan keberadaan-Nya, menemukan wujud-Nya, dan meraih hidup-Nya dalam hidup kita.
Ingatan, ya, hanya ingatanlah yang diambil oleh-Nya untuk menandakan diri kita semua ini sebagai manusia yang mencintai-Nya atau tidak. Sebuah penanda dasar yang sangat fair, yang berbasis psikologi manusia sepenuhnya, yang mudah sekali untuk kita pahami dan benarkan, meski tak lantas semudah itu cara mengamalkannya.
Jika ingatan dijadikan pondasi utama penanda cinta, maka sekarang mari kita lihat mengapa Tuhan sampai menjadikan hubungan timbal-balik “jika ingat, maka kuingat…” sebagai kunci terapannya?
Bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih dan Penyayang, ya, tak ada yang bisa dibantah dari sifat tersebut. Bahwa Tuhan adalah Maha Adil, ya, ini pun takkan menemukan bantahannya.
Mau sebejat apa pun kita kepada-Nya, tak pernah ingat pada-Nya, dan bahkan tak percaya pada Kemahakuasaan-Nya, Tuhan nyatanya tetap saja memberikan nikmat-Nya pada kita, kan? Kita tetap bisa bernapas meski baru saja menyimpan uang hasil korupsi.  Tuhan tetap saja membuat kita bisa tersenyum, meski kita baru saja mengumbar tipu-muslihat untuk menghina orang lain demi kepentingan kita. Tuhan pun tak jenuh memfungsikan semua organ tubuh kita meski kita sedang nongkrong di meja judi.
Ya, tak ada keraguan sedikit pun, bahwa Tuhan selalu saja menghidupkan kita meski kita bertingkah sangat buruk pada-Nya.
Namun ingatlah, bahwa sekalipun sama-sama sedang hidup, sedang sehat, sedang makan, sedang kaya, keadilan Tuhan jelas berkerja dalam “capaian nilai” yang tak sama. Orang yang duduk takkan pernah sama “capaian nilainya” dengan orang yang bekerja keras, meski sama-sama hidup, sama-sama sedang menikmati anugerah Tuhan. Orang yang rajin belajar, jelas takkan pernah sama “capaian nilainya” dengan orang yang malas membaca, meski sama-sama sedang hidup, sama-sama sedang menikmati anugerah Tuhan. Demikian pula orang yang selalu mengingat Tuhan, tentulah takkan pernah sama “capaian nilainya” dengan orang yang hanya sesekali mengingat-Nya atau bahkan tak pernah mengingat-Nya, meski sama-sama sedang hidup, sama-sama sedang menikmati anugerah Tuhan.
Maka, hubungan timbal-balik yang menjadikan seseorang berbeda dengan orang lainnya atas dasar “capaian nilainya” dalam hal apa pun, termasuk dalam “mengingat-Nya” tersebut, jelas merupakan sebuah fairness yang menjadi tuntutan nyata setiap kita. Keadilan-Nya dalam konteks tersebut dengan sendirinya menjadi bukti betapa Tuhan senantiasa menyelaraskan ajaran-Nya dengan tuntutan dan keinginan hidup kita.
Hubungan timbal-balik tersebut benar-benar adalah sebuah kepatutan yang niscaya dalam kehidupan kita.
Untuk itu, kini tidak perlu ada di antara kita yang mengeluh, mengapa Tuhan menjadikan hidup kita begini, kok tidak begitu, kan? Sebab semua itu telah bekerja dalam asas fairness, keadilan-Nya, yang betul-betul selaras dengan tuntutan dan keinginan kita sendiri sebagai manusia.
Lalu, wajar saja kan, dan bahkan sudah sepantasnya, bila Tuhan akan mengingat kita bila kita mengingat-Nya? Sebaliknya, patut sekali kan bila Tuhan takkan mengingat kita jika kita tak mengingat-Nya?
Fair sekali kan, mau kita dekati dengan perspektif apa pun, jika kita mencintai Tuhan dengan cara mengingat-Nya, maka Tuhan akan mencintai kita dengan cara mengingat kita? Sebaliknya, fair banget kan, jika Tuhan takkan mencintai kita lantaran kita tidak mencintai-Nya juga? Tuhan takkan mengingat kita jika kita tidak mengingat-Nya?
Terakhir, untuk apa sih kita mencintai-Nya agar Dia juga mencintai kita?
Jika kita semata bersandar bahwa Tuhan tetap saja memberikan nikmat-nikmat-Nya pada kita meski kita tak mengingat-Nya, tak mencintai-Nya, bahkan mengingkari-Nya dengan segala kebejatan yang kita dramakan setiap saat, pastilah kita akan merasa bahwa Tuhan sama sekali tak penting, bahkan tanpa ada-Nya pun juga tak masalah. Tetapi jika kita yakin bahwa hidup ini sejatinya bukan hanya tentang makan dan minum yang berbau fisikal, tetapi bahkan yang terutama adalah tentang ketentraman dan kebahagiaan, pastilah kita akan memahami mengapa sangat penting untuk mengingat-Nya, mencintai-Nya, agar Dia juga mengingat kita dan mencintai kita.
Uangmu boleh saja membludak, tetapi jika uangmu tidak berkah, maka kamu takkan pernah bisa menikmati dengan tentram dan bahagia banyaknya uangmu itu. Otakmu boleh saja genius secemerlang fajar pagi ini, tetapi jika ilmumu digunakan untuk korupsi, maka pastilah kamu takkan pernah meraih tentram dan bahagia dalam hidupmu.
Selalu ada simbiosis antara hal yang material dengan hal yang spiritual, antara material dan mental, antara fisik dan psikis, antara lahir dan batin. Segala hal yang berskala material, fisik, lahir, sepenuhnya hanyalah “alat” yang kita kendarai untuk meraih segala hal yang berskala mental, psikis, dan batin. Yang material takkan bernilai apa pun jika tak mampu menghantar pengendaranya berlabuh ke pelabuhan jiwa bernama tentram dan bahagia.
Mencintai Tuhan dengan cara mengingat-Nya agar Dia juga mencintai kita dengan cara mengingat kita merupakan falsafah hidup kita dalam memperlakukan segala hal yang bersifat material agar mampu menghantar kita meraih pelabuhan jiwa bernama tentram dan bahagia itu. Mencintai-Nya dengan sendirinya akan mendorong kita untuk mengabdikan seluruh raga dan jiwa kita, hidup kita secara keseluruhan, menuju pada ridha-Nya, restu-Nya, yang itu dengan mudah bisa terukur melalui aksi-aksi kesantunan yang kita cerminkan dalam setiap laku kita.
Mencintai-Nya akan selalu sejajar dengan cara kita mengabdi pada-Nya, yang ini sepenuhnya terukur melalui seberapa baikkah kita pada sesama. Ya, sesama. Tidaklah mungkin kita akan bisa berbuat keras, kasar, merusak, menyakiti, dan merendahkan siapa pun jika kita mencintai-Nya! Tidak mungkin. Kenapa? Sebab kita sadar betul bahwa kita adalah abdi-Nya, sahaya-Nya, yang tidak mungkin mampu mengecewakan-Nya dengan tingkah-laku yang tidak disukai-Nya, seperti menyakiti dan menista sesama makhluk-Nya.
Tidak mungkin itu terjadi!
Mustahil. Sangat mustahil!
Maka kini, mari kita ukur diri kita masing-masing: benarkah aku, kamu, dan dia selalu mengingat-Nya sebagai penanda dasar cinta kita pada-Nya dengan cara mengukur seberapa baikkah perilaku kita pada sesama selama ini?
Jika kamu adalah koruptor, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah penipu, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah pengemplang utang, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah pengumpat, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah rentenir, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah penjudi, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah si pelit, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah si sombong, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah pembual, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah si tukang manfaatin orang dhaif, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah si ustadz yang tidak tulus berdakwah, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah suami penggebuk dan pemaki istri, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah istri penuntut pada suami, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Jika kamu adalah orangtua pemaksa kehendak pada anak cucu, ahhh…tidak mungkin kamu mencintai-Nya.
Silakan lanjukan sendiri dengan rumus tersebut…
Jogja, 27 Agustus 2012
0 Komentar untuk "INGATLAH AKU, MAKA AKU AKAN INGAT PADAMU..."

Back To Top