Personal Blog

GARA-GARA TAK BISA MENJAGA LAMPU DI OTAKKU

Kebayangkah hari ini Anda hidup tanpa listrik? Tanpa lampu penerangan? Tanpa computer? Tanpa internet?
Bubarlah hidup Anda. Remuklah segala urusan kita, dari yang benar-benar penting sebagai sebuah profesi hingga yang penting sebagai wujud identitas jati diri.
Kita nggak bisa hidup tanpa listrik. Kita takkan mungkin hidup nyaman tanpa lampu. Ini sama persis dengan betapa kita nggak akan menemukan kenyamanan dalam keberadaan diri kita sendiri jika kita tidak mampu menjaga otak kita tetap diterangi lampu dari jiwa kita.
Satu-satunya musuh serius yang paling sering mampu memadamkan lampu di otak kita ialah emosi. Ya, emosi. Saat emosi telah berhasil membunuh lampuy di otak kita, seketika kita takkan pernah bisa mikir dengan jernih, utuh, dan positif. Yang ada otak kita akan terus pepat oleh gulitanya emosi itu, sehingga acapkali menjadikan ucapan dan perilaku kita menjadi sedemikian tak beradabnya.
Tak ada kebaikan yang bisa masuk ke otak kita di saat otak kita sedang diserang gulita amarah. Siapa pun yang ngomong, secanggih apa pun orasinya, seberharga apa pun materinya, semua kalimat baik itu akan mental terjungkal tanpa bekas.
Cara kerja otak kita sama persis dengan cara kerja lampu itu. Ia akan mampu menerangi diri kita, yang berkat cahayanya kita mampu melihat mana yang buruk dan baik, mana yang penting dan mana yang sampah, mana yang esensi dan mana yang bukan. Maka satu-satunya cara buat kita agar kita mampu memilah kebaikan dari keburukan, memetakan mana yang prioritas dan mana yang igauan, ialah hanya dengan menyalakan lampu di otak kita.
Ini berarti bahwa wajib bagi kita untuk menyelamatkan lampu itu dari ancaman emosional yang mampu memadamkannya.
Dalam keadaan akal sehat bekerja penuh, kita sadar pentingnya lampu itu. Saat akal menjadi tak sehat gara-gara diserang virus emosi itu, sontak kita menjadi masa bodoh terhadap lampu itu. Tentu saja ini mudah dimengerti lantaran dalam keadaan gulita, tidak mungkin mata, telinga, dan mulut kita mampu mencerna dan membedakan antara yang hitam dan yang putih. Sama halnya kita membiarkan diri berjalan di tengah hutan gulita, yang di dalamnya berisi berbagai barang bermanfaat dan sekaligus membahayakan bagi diri kita, jika kita nekat menempuhnya tanpa lampu penerangan, niscaya kita akan tergelincir.
Maka sangat penting buat kita semua jika sedang diterkam emosi, plis plis plis jangan ambil sikap dan keputusan apa pun untuk hal apa pun karena kita baru akan mengerti beberapa jenak kemudian apakah keputusan kita itu hitam atau putih, baik atau buruk.
Sungguh tak banyak orang yang mampu menerapkan prinsip ini dalam hidupnya, sehingga emang tak banyak pula orang yang mampu meraih kemanfaatan besar darinya. Itulah sebabnya juga betapa emang nggak banyak orang yang bisa hidup dengan penuh nyaman dan indah.
Jauh lebih banyak di antara kita yang gemar melanturkan langkah kita kendati kita tengah berada dalam keadaan gulita, yang seiring dengan menyalanya kembali lampu di otak kita, lantas kita tersadar bahwa kita telah melakukan sebuah kesalahan, kebodohan, yang itu telah menjadi bubur.
Bubur takkan pernah menjadi nasi lagi. Segala yang telah diputuskan takkan kembali masuk ke dalam pikiran. Apa yang telah dinyatakan takkan pulang ke dalam tenggorokan. Selalu ada harga yang kudu dibayar atas setiap ucapan dan tindakan kita, yang tentu saja sangatlah menyedihkan jika harga itu terlalu mahal untuk dibayar oleh hidup kita sendiri hanya gara-gara kita gagal menjaga lampu tetap menyala di otak kita.
Ujungnya, kita sendirilah yang akan menuai nestapanya, tanpa pernah mampu untuk kita hilangkan dari selembar hidup kita, bahkan seumur hidup kita.
Jogja, 20 Pebruari 2012
0 Komentar untuk "GARA-GARA TAK BISA MENJAGA LAMPU DI OTAKKU"

Back To Top