Personal Blog

NGOMONG AJA MA TEMBOK



Rata-rata kita selalu mengamini setiapkali ada orang membaca doa, apalagi dalam bahasa Arab, meski kita nggak mengerti maknanya. Pokoknya, amin. Tanpa tahu artinya, konteksnya, bahkan dibumbui keyakinan bahwa amin kita akan dikabulkan oleh Tuhan.
Baguslah, berdoa memang harus dilandasi keyakinan dan optimisme, positive thingking, bahwa Tuhan akan selalu mendengarkan doa kita.
Tapi, yang menjadi aneh kemudian ialah mengapa kita mudah mengamini suatu ucapan atau bacaan yang kita tak tahu juntrung makna dan konteksnya? Benarkah kita bisa begitu dalam menyelami maksud bacaan itu jika kita tak pernah mengerti artinya? Bukankah itu sama halnya kita mengiyakan sesuatu yang kita nggak mengerti untuk apa kita mengiyakan dan mengapa kita harus mengiyakan serta bagaimana konteksnya pada diri kita dalam mengiyakan?
Ini sungguh amat dilematis.
Di satu sisi, kita begitu memuliakan segala apa yang berbau bahasa Arab, bahkan segala yang dari Arab, bau Arab, dengan persepsi bahwa itulah akar Islam. Sehingga, kita pun begitu mengkultuskan segala yang berbau Arab, termasuk bahasanya, seolah bahasa Arab adalah bahasa Tuhan, yang dalam bahasa itu saja Tuhan mau mengerti dan menerima doa-doa kita. Kian ironis lantaran faktanya mayoritas kita nggak mau berusaha keras untuk belajar bahasa Arab, sehingga apa pun yang dinyatakan dalam bahasa Arab sontak kita muliakan, amini, percayai dan yakini sebagai Islam.
Hahhh…
Saya pernah dengan sengaja mengucapkan amin dengan keras-keras di dalam bus yang mengangkut saya ke Madinah saat sopir bus itu bertengkar dengan seorang sopir angkot yang ngetem seenaknya dan mengganggu jalur bus saya. Tentu, mereka berantem dalam bahasa Arab. Saya pun mengamininya dengan keras. Sang pembimbing yang mendengar aminan saya tertawa keras dan berkata, “Mereka lagi berantem kok, Mas, masak diamini…”
Saya terbahak. Semua penumpang bus terbahak.
Ahhh, saya hanya sedang membangun sebuah drama ironi tentang diri saya, anda, dan dia sekaligus betapa kok kita ini berkecenderungan kuat untuk selalu memuliakan bahasa Arab beserta orang-orangnya padahal kita tak tahu sama sekali konteks dan makna yang diungkapkan. Berantem, yang tentu dalam bumbu misuh-misuh, yang jelas itu tidak disukai oleh Tuhan, kok diamini. Ya, diamini hanya karena itu bahasa Arab.
Ironis, bukan?
Nah, sampai di sini, menjadi berharga bagi kita semua untuk memaksa diri mengetahui dan memahami makna dan konteks apa yang kita dengar dan kita ucapkan. Dalam hal apa pun. Termasuk berdoa. Bahwa ada ritual-ritual tertentu yang harus dibacakan dalam bahasa Arab, seperti shalat, tentu itu berarti wajib bagi kita untuk memahami makna bacaan-bacaan shalat itu. Bahwa dalam banyak ibadah lain, jelas lebih berharga bagi kita untuk berdoa dan memohon pada-Nya dalam bahasa yang kita paham makna dan konteksnya.
Manfaat besar yang akan kita peroleh dari memahami makna apa yang kita lakukan dan bacakan ialah hadirnya kesadaran akan orientasi makna tersebut. Kalau kita membaca “ihidinas shiratal mustaqim” tapi kita tak tahu maknanya, lalu bagaimana mungkin kita mampu mengarahkan kesadaran hati saat itu bahwa kita sedang memohon pada-Nya supaya diberi petunjuk ke jalan yang lurus?
Sia-sia…
Inilah biang keroknya mengapa kita kendati begitu rajin berdoa, beribadah, tetap saja hidup kita begitu gulita tak meraih kemanfaatan energi apa pun dari laku kita. Kita takkan pernah mampu meraih energi apa pun dari ibadah dan doa kita jika kita tak paham makna dan konteks bacaan kita.
Sederhana sekali sebenarnya, bahwa ini sama halnya kita bicara dalam sebuah bahasa yang tidak kita mengerti. Atau ibarat kita sedang bicara dengan tembok.
Pahamkah anda pada ucapan begini: “Jew hui mhgk tuuuuuu pritttt…” atau “Moghhhtttrr fghuuuu pffffffff herrrrrr…” Atau, akankah bersambut saat kita bicara pada tembok: “Aku sayang padamu sepenuh jiwaku, umpama nggak ada kamu, aku rela kok jadi tembok…”
No way…
Karena itu, seyogyanya menjadi kewajiban bagi kita untuk memahami setiap bacaan dan ucapan kita dalam beribadah dan berdoa agar maknanya hadir ke dalam hati kita, lalu menyulutkan pijar kesadaran, yang dengannya kita akan bisa tunduk, meresapi maknanya, lalu meraih energinya, dan akhirnya menghasilkan kemanfaatan dalam hidup kita sehari-hari.
“Asy-syati’u lima tu’ur wan nasyi’u lima taqir, al-kafiyu la wal ati’u la was syusyu iyyahu…”
Apa jadinya jika Anda mengami bacaan atau ucapan berbau Arab ini? Yakinkah Anda bahwa itu maknanya kebaikan? Konteksnya untuk keselamatan hidup Anda? Lalu, untuk apa anda mengamininya sambil mengangkat tangan dalam sikap sempurna seorang pendoa?
Ahhha….padahal kalimat itu hanyalah gurauan bahasa Madura yang diarabkan, dengan arti: “Sate lima to’or (tusuk) dan nasi lima takir (bungkus), kopi tidak, teh tidak, susu iyalah…”
Masih mau beramin…amiinnn???
Jogja, 23 Pebruari 2012

asda

0 Komentar untuk "NGOMONG AJA MA TEMBOK"

Back To Top