Personal Blog

SEMUA TERGANTUNG NIATNYA

Sebagai orang Islam, kita sejak lahir sudah disuguhkan oleh beragam tata aturan menjadi orang Islam yang baik. Tata aturan yang kita terima dari orang tua dan guru kita, yang mereka warisi dari orang tua dan guru mereka, yang mereka warisi pula dari orang tua dan guru mereka, dan demikian seterusnya. Begitulah kiranya semua kita. Selebihnya, kita semua mengakui bahwa kita harus mengikuti ajaran al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai sumber utama ajaran Islam.
Tapi, pernahkah Anda berpikir bahwa jangan-jangan apa yang kita warisi sebagai Islam itu sama sekali bukanlah maksud utama yang dituju oleh al-Qur’an dan hadits Nabi?
Pernahkah kita berpikir keras kok ternyata ada banyak sekali paham berislam yang seolah tidak pas dengan nurani kita sebagai manusia?
Kok pula mengapa seringkali saya menemukan satu ajaran Islam saya yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam orang lain di luar sana?
Jangan-jangan, oh nooooo, jangan-jangan apa yang kuyakini dan kujalankan selama ini sebagai Islam yang kaffah justru secara esensial sangat bertentangan dengan orientasi teks al-Qur’an dan hadits itu sendiri, yang notabane merupakan maqasid al-syr’ie-nya?
Jangan-jangan, misal, saat kita menganggap bahwa lelaki boleh menikah hingga empat istri, atas dasar paham yang diwariskan leluhur kita, sejatinya sangat bertabrakan dengan ajaran keadilan dalam ayat dimaksud, sehingga kita pun telah salah besar dalam menuduh kaum wanita yang tidak sudi dimadu bukanlah wanita shalihah yang tunduk pada al-Qur’an dan hadits?
 Jangan-jangan, misal lain, sikap seorang suami yang diwarisi ajaran leluhur sebagai seorang imam dalam rumah tangga bukanlah tentang jenis kelamin, tetapi soal kapabilitas suami dan istri di dalamnya, sehingga kalau ternyata pemikiran dan ide istri lebih kuat dan positif, maka seharusnya hal itulah yang diadopsi sebagai langkah bersama rumah tangga, bukan kok semena karena itu suara istri yang bukan imam dalam artian lelaki lalu kudu dinafikan?
Jangan-jangan pula, misal lain lagi, keengganan kita menerima pemimpin publik perempuan atas dasar hadits Nabi, “Bila sebuah urusan diserahkan kepada kaum wanita, maka tunggulah saat kehancurannya…”, tidaklah selaras esensi historisnya dengan persoalan politik negeri modern karena konteksnya adalah pengangkatan putri Raja Kisra yang tidak kapabel sebagai Raja Persia di masa Nabi itu?
Begitu pula dengan ajaran zakat itu cukup satu mud hingga 2,5%, yang kita warisi selama ini, kita anggap sebagai benar begitulah perintah Allah dan Rasul-Nya, padahal sejatinya betapa persentase ini sungguh tidak adil bila dibandingkan antara konglomerat dan rakyat biasa, serta sangat pula tidak seimbang bila disehadapkan dengan angka PPN atau pun PPH?
Begitu juga dengan ajaran bahwa mengenakan semir rambut itu haram lantaran dituduh meniru-niru orang Barat yang divonis kafir, yang kita terima pula dari leluhur sebagai kebenaran Islam, ternyata hari ini sangat musykil bagi seorang muslim untuk memisahkan interaksi sosialnya dari kelompok non-muslim, yang tentu saja tidaklah masuk akal untuk tetap menyatakan bahwa penting membeda-bedakan diri secara identitas dengan kelompok non-muslim?
Belum lagi bila kita angkat tentang shalat harus tuma’ninah yang kita terima dari leluhur dengan cara tidak melakukan gerakan selain rukun shalat lebih dari tiga kali. Bagaimana bila saat sedang shalat tiba-tiba kita kaget oleh dering HP yang lupa di-silent, apakah kita akan biarkan terus mendering karena takut keluar dari lukisan tuma’ninah itu ataukah kita akan bergerak untuk mematikannya agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat kita dan orang lain di sekitar kita?
Banyak sekali kasus riil dalam hidup sehari-hari kita yang kita jalankan dengan bersandar pada apa yang kita warisi sebagai ajaran Islam itu, begitu menyentak hati kita sendiri saat kita coba untuk merenungkan dan memikirkannya kembali dengan langsung merujuk pada al-Qur’an dan hadits. Sebagian, terasa begitu nggak nyambung dengan cita rasa kemanusiaan kita yang paling jujur dan pure. Sebagian, sungguh tampak sangat politis, sarat nuansa kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dari masa lalu. Sebagian, terasa tak cukup memadai lagi untuk kita pegang secara mutlak di kehidupan hari ini.
Apakah kemudian, dengan fakta tersebut, kita harus meninggalkan warisan leluhur itu? Tapi, bukankah ini beresiko kita akan kehilangan ajaran keislaman kita?
Baiklah…
Patut untuk kita mengerti benar bahwa setiap zaman memiliki kehidupannya sendiri. Setiap waktu dan lokasi memiliki kekhasannya sendiri. Itulah sebabnya, cara berjilbab wanita turki berbeda jauh dengan cara berjilbab wanita Jakarta. Dua-duanya tidaklah salah. Dua-duanya sama-sama benar. Yang salah dalam contoh kasus ini ialah mereka yang tidak menutup auratnya, entah itu yang tinggal di Turki atau pun Jakarta.
Budaya, kultur, lokalitas, inilah yang mestinya kita pahami sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan ajaran apa pun, termasuk Islam. Dan budaya apa pun akan selalu bergerak dinamis, berubah, dari waktu ke waktu, bahkan untuk tempat yang sama.
Apakah bersilaturrahmi dengan facebook menyelahi ajaran Islam? Bukankah facebook itu adalah alat ber-khalwat? Dan bukankah jelas bahwa khalwat, percampuran laki-laki dan wanita non-muhrim, itu haram hukumnya?
Ya, ya, khalwat-nya jelas haram, bukan facebook-nya. Yang menggunakan facebook itulah yang menjadikannya bisa halal dan bisa haram, tergantung pada orientasi positif atau negatif yang ditujunya.
Karena itu, silaturrahmi dengan facebook absah saja, sama absahnya dengan silaturrahmi model lama, yakni bertatap muka, muwajahah itu. Muwajahah pun bisa menjadi khalwat jika diniatkan dalam orientasi khalwat. Sampai di sini, mari tanyakan, kalau demikian, apa dong bedanya facebook yang khas hari ini dengan muwajahah yang khas masa lalu itu, jika ternyata keduanya sama-sama berpotensi sebagai alat khalwat?
Heee..heee…sama aja bro/sist, serupa benar, layaknya kita sedang memperdebatkan tentang hukum halal/haram minyak babi cap unta dan minyak unta cap babi.
Saya ingin menandaskan di bagian ini bahwa Islam bukanlah tentang menurut siapa, paham siapa, dari aliran mana, ulama siapa, dll. Bukan. Islam ialah tentang rahmatan lil-‘alamin, yang dengan spirit itulah maka Islam akan selalu aktual sepanjang zaman dan tempat. Aktualitas jelas memerlukan kontekstualisasi. Dan untuk mencapai kontekstualisasi, suka tak suka, Anda harus berpikir dan bersikap dinamis, bukan statis.
So, tidak ada yang salah sama sekali untuk tidak mengikuti paham lama warisan leluhur manapun dalam berislam kita yang paham-paham itu sudah kehilangan kontekstualisasinya dengan zaman kita. Justru kalau kita terus berperam dengan paham-paham lama yang sudah out of date itu, berarti kita kehilangan aktualitas keislaman kita, dan itu sama halnya kita menyingkirkan sifat rahmatan lil-‘alamin Islam yang kita anut ini. Dan kalau kita sudah tidak mampu merayakan bendera rahmatan lil-‘alamin itu, lalu Islam macam apakah gerangan sebenarnya yang sedang kita anut dan tegakkan ini?
Bro/Sist, sungguh al-Qur’an itu benar-benar “korpus terbuka”, samudera luas yang takkan habis ditimba sampai akhir zaman. Sebagai samudera luas, Anda bisa memancing apa pun darinya. Mau teri ada, kerapu ada, cumi juga ada, kakap ada, bahkan hiu dan ular pun tersedia. Semuanya sungguh tergantung pada Anda ingin memancing ikan jenis apa darinya.
Begitu pun al-Qur’an. Anda mau cari ayat yang membenarkan kekikiran Anda, ada. Mau mencari ayat yang membenarkan hasrat menikah lagi, itu pun ada. Mau mendapatkan ayat yang membolehkan Anda memukul istri, ada juga. Mau mencari ayat yang mengesahkan Anda agar tidak dikritik lawan-lawan politik Anda, juga ada sekali. Mau menemukan ayat yang membenarkan Anda untuk workaholic sampe lupa diri, juga ada. Mau menemukan ayat sebaliknya yang membenarkan sikap pemalas Anda, juga ada.
Apa pun keinginan Anda memahami ayat-ayat untuk melandasi dan mengabsahkan motif dan keinginan Anda, al-Qur’an menyediakannya. Tafsir hitam dan putih bisa tampil sekaligus bahkan untuk ayat yang sama. Semuanya sungguh tergantung niat Anda.
Tetapi ingat selalu, samudera luas itu pun memiliki “tolak-ukur”. Tentu tidak baik Anda mencari ikan dengan menggunakan bom atau pukat harimau. Mengapa tidak baik? Karena cara seperti itu akan merusak terumbu karang, anak-anak ikan, dan biota laut lainnya, sehingga jika it uterus dilakukan, maka suatu saat samudera itu tidak akan memberikan ikan-ikan berlimpah lagi pada Anda.
Begitu pun dalam memahami al-Qur’an. Anda boleh menggunakan metode apa pun dan bertaklid pada siapa pun dan dalam motif apa pun. Tetapi, Anda harus memperhatikan betul “tolak-ukurnya”.
Apa itu?
Hati nurani. Tanyakan pada hatimu sendiri, apakah patut seorang suami memukuli istrinya? Apakah patut seorang istri atas nama kesamaan status dengan suami lalu meninggalkan rumah-tangganya demi karir? Apakah patut kita marah pada sebuah kritik yang senyatanya itu sangat benar dan membangun? Dan sebagainya.
Nabi pun telah mewanti-wanti sejak awal pewahyuan al-Qur’an, bahwa beliau diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak. Etika. Karena poin esensialnya adalah etika, maka tanyalah pada hati nurani Anda: apakah cara saya memahami ayat-ayat, hadits-hadits, dan paham-paham ulama terdahulu itu etis diusung hari ini dan di sini?
Jika nurani Anda menjawab “TIDAK”, itu sudah cukup dijadikan pertanda bahwa orientasi teks yang menjadi “ruh” al-Qur’an yang disematkan Allah di dalamnya dan hadits yang disematkan Rasulullah di dalamnya, tidak seperti yang Anda maksudkan. Maka, jangan lanjutkan, karena itu pasti tidak etis, tidak sesuai dengan nurani manusia, dan tidak diinginkan oleh Islam.
Begitulah. Semoga bermanfaat…
Jogja, 8 Pebruari 2012
1 Komentar untuk "SEMUA TERGANTUNG NIATNYA"

"minyak babi cap unta dan minyak unta cap babi" aku suka idiom ini. :-)

Back To Top