Personal Blog

SAMPAI JUMPA DI NERAKA, BRO/SIST… (GUE SHALAT TAPI GUE BEJAT)

Firman Allah dalam surat al-Ankabut (29:45) “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan munkar…” jelas merupakan sebuah hukum. Sifatnya mutlak hitam-putih. Jika shalatnya baik, maka perilakunya pasti baik. Jika perilakunya tidak baik, maka ada yang salah dengan shalatnya.
Dan, fenomena ini merupakan masalah mayoritas kita. Aku, kamu, dan dia, semuanya kini sedang mengidap penyakit serius dengan hukum sebab-akibat shalat ini.
Shalat terus tapi bejat juga terus: inilah penyakit akut semua kita.
Di mana ya letak salahnya shalat yang kujalani dengan istiqamah itu ya? (Jika kamu tidak shalat dengan istiqamah, maka kamu tidak masuk dalam bagian pertanyaan ini).
Mari kita renungkan dengan cara begini:

Shalat adalah komunikasi hamba dengan Allah
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim (hadist shahih tanpa keraguan sedikit pun akan kebenarannya), Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian sedang shalat, sebenarnya ia sedang berkomunikasi dengan Allah.
Perhatikan poin komunikasi tersebut. Dalam komunikasi apa pun, apalagi dengan Allah, al-muhadatsah bainal makhluq wal Khaliq, dibutuhkan “tata cara” dan “etika”. Keterpenuhan tata cara dan etika komunikasi itu sangat menentukan keberhasilannya.
Misal.
Saya berkata kepada seorang kawan, “Bro, tolong nitip beliin mie ayam ya…” Secara tata cara, saya sudah benar. Kalimat komunikasi saya terang. Dimengerti. Secara etika juga sudah benar. Intonasi yang baik dan penambahan kata “tolong” menunjukkan keterpenuhan etik tersebut. Hasilnya, komunikasi saya berhasil dengan baik.
Bandingkan dengan kalimat berikut: “Jing, sono beliin gue mie ayam, cepattt…!” Secara tata cara, kalimat ini yang isinya sama dengan kalimat pertama telah gagal. Cacat, meski juga bisa dipahami. Secara etik, lebih parah. Nyuruh orang dengan kalimat tidak sopan. Hasilnya, komunikasi kedua ini hancur total.
Apalagi berkomunikasi dengan Allah. Sangat wajib bagi kita sebagai makhluk untuk mengindahkan benar aspek tata cara dan etika tersebut.
Wudhu. Sebagai sarana bersuci, wudhu memainkan peran sebagai “tata cara”, karena itu wudhu yang tidak sempurna secara otomatis menghantar kegagalan komunikasi kita sejak awal bahkan.
Menutup aurat. Benar memang bahwa di kalangan jumhur (mayoritas) ulama fiqh dinyatakan bahwa aurat wanita adalah semua badannya kecuali muka dan telapak tangan dan aurat laki-laki adalah antara pusar dan dengkulnya. Tetapi bayangkan secara etis, jika kamu bertamu kepada seseorang dengan hanya mengenakan kaos buntung dan celana pendek. Apalagi kepada Allah?!
Itulah sebabnya dalam aspek menutup aurat ini, teramat banyak sunnah Nabi yang menganjurkan sebagai pelengkap kesantunan komunikasi dengan Allah, mulai dari mengenakan baju yang rapi, pakai pafrum, dan sebagainya.
Sampai di sini, sudah maksimalkan tata cara dan etika kita saat akan berkomunikasi dengan Allah melalui shalat itu?
Silakan dijawab dalam hati masing-masing.

Prolog Menuju Shalat: Panggilan Shalat (adzan) dan Bacaan Iftitah Shalat (pembukaan)
Adzan adalah alat panggil global yang memberitahukan kepada semua muslimin/muslimat bahwa telah tiba waktunya untuk shalat. Mari cermati dua kalimat dalam adzan, yakni  (1) Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah (aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) (2) Hayya ‘alas shalah hayya ‘alal falah (mari tegakkan shalat mari menuju kebahagiaan).
Poin pertama (syahadat) menunjukkan bahwa shalat hanya akan berguna bagi orang yang sudah beriman dan berislam dalam artian yang hakiki. Jika ternyata hati kita belum beriman dan perilaku kita belum berislam, maka dapat dipastikan bahwa shalat tidak akan memberikan manfaat apa pun baginya.
Poin kedua mengiris lebih kecil lagi bahwa shalat hanya ditujukan kepada orang-orang yang ingin menuju kepada kebahagiaan dalam artian yang hakiki. Poin pertama menjadi syarat utama sebelum memasuki poin kedua tersebut. Sehingga dengan demikian, tidaklah mungkin orang yang tidak beriman hatinya dan tidak berislam perilakunya akan bisa meraih kebahagiaan melalui shalatnya.
Statemen ini sangat mudah dicerna logika umum kita bahwa bagaimana mungkin kita akan bahagia dalam hidup kita ini jika ternyata perilaku kita sangat buruk kepada sesama yang mencerminkan betapa kita belum mengislamkan perilaku nyata kita keseharian?
Selanjutnya mari simak tentang bacaan iftitah (bacaan shalat setelah takbir pertama). Dalam ragam versinya, semua bacaan iftitah itu berisi tentang pemasrahan diri sepenuhnya hanya kepada Allah. Saya kutipkan satu versi saja: “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatahars samawati wal ardh (aku hadapkan wajahku (hidupku) kepada Dzat yang melingkupi langit dan bumi.
Bacaan ini adalah totalitas pemasrahan diri. Tanpa kecuali. Tidak ada sama sekali kuasa diri di hadapan-Nya. Hidup (mahyaya) dan matiku (mamati) dipasrahkan semua hanya kepadanya. Doa ini begitu deras mengupas habis segala macam arogansi dan egoisme diri. Habis total. Dengan demikian, logikanya, jika kok ternyata hati kita masih digelayuti oleh kesombongan dan keakuan dalam segala aspek kehidupan ini, berarti kita belumlah layak menyandang makna esensial doa yang kita rutin baca sendiri itu dalam awal shalat kita. Wajarlah, jika akhirnya shalat kita pun jauh panggang dari api.
Sekarang mari tanya lagi, masihkah ada arogansi dan egoisme di relung hati kita? Silakan jawab dalam hati masing-masing dengan penuh takzim.

Sebab-sebab Pembunuh Manfaat Shalat
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pembunuh paling genius dan global terhadap shalat kita:
Pertama, hubbud dunya (cinta dunia). Gila harta yang berlebihan. Gila kekasih, istri, anak, tanah, tabungan, sandal, tas, gadget, motor, mobil, dan sebagainya yang serba duniawi. Ingatlah pepatah popular dari tanah Arab, “Man ahabba syaian fahuwa ‘abduh” (siapa yang mencintai sesuatu/seseorang, maka ia akan menjadi sahayanya) dan “man ahabba syaian fayadzkuruhu kastiran” (siapa yang mencintai sesuatu/seseorang, maka pastilah ia akan selalu banyak mengingatnya).
Akibat dari cinta dunia yang berlebihan ini, yang menjadikan kita sebagai sahayanya, yang memantik kita untuk selalu mengingatnya, dalam shalat pun kita begitu intens mengingatnya. Lisan menyeru faatihah, tapi pikiran dan hati kita menuju pada tagihan, utang, angsuran rumah, tanah, pelek mobil, remn ABS-EBD-EBA, teman bisnis yang cantik, tetangga yang suka pakai tank top, twitter yang penuh kegalauan, facebook yang berisik, aksi melempem Rossi di MotoGP, pesona Raja Ampat, grup BBM yang tang-ting terus, diving Suares, potongan rambut CR7, dan sebagainya.
Bayangkan, saat kita berkomunikasi dengan seseorang di depan mata, ternyata tangan kita sibuk ngutak-ngatik BB, gosok-gosok iPad, SMS sama orang lain, pastilah sangat tidak bermutu pertemuan dan komunikasi tersebut.
Apalagi saat berkomunikasi dengan Allah?!
Wajarlah bila Rasulullah Saw. sampai memberikan rambu-rambu pengingat bahwa shalat kita termasuk buruk akibat cinta dunia ini, “…hatta tansa kam rak’atan laka…” (…sampai kamu lupa sudah berapa rakaat shalatmu…). Rambu-rambu “lupa berapa rakaat ini layak dikembangkan secara analogis pada lupa sudah sujud awal belum ya, tadi sudah baca surat belum ya, tadi sudah tasyahud awal belum ya, dan sebagainya. Segala macam alpa terhadap segala step by step shalat kita adalah bagian mutlak dari rambu-rambu pengingat Rasulullah Saw. tersebut.
Jika ternyata kita acap mengalami hal demikian, berarti kita inilah potret sempurna penggila dunia. Malangnya kita bila ternyata masuk dalam kelompok orang yang diancam oleh Allah dalam surat al-Ma’un (107: 4-5), “Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat (yaitu) orang-orang yang lalai pada shalatnya.” Sialnya hidup kita yang alpa dari step by step shalat kita akibat termehek-mehek pada dunia seisinya yang mengjungkalkan kita ke dalam klaim surat al-A’la (87:16) “Tetapi kamu (orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
Sekarang mari tanya, apakah kita sering alpa terhadap rangkaian shalat di saat kita sedang menjalankannya? Seringkah kita nggak menyadari apa gerangan yang tengah kit abaca dan kita gerakkan dalam shalat kita gara-gara pikiran dan hati kita tersedot pada segala jenis urusan duniawi?
Silakan jawab dalam hati masing-masing dengan kepala geleng-geleng.
Kedua, memakan barang-barang haram. Makan, minum, mengambil, mengenakan, dan segala hal yang menjadi kepemilikan kita. Keharaman yang memasuki diri kita sudah pasti akan menjadi hijab (penutup) yang amat kuat terhadap keterbukaan pikiran dan hati kita dalam menghadap Allah. Orang tidak mungkin mengambil hak orang lain jika pikiran dan hatinya selalu ingat kepada Allah. Tidak mungkin ada muslim/muslimah yang berani menipu, memaki, dan korupsi jika pikiran dan hatinya selalu ingat akan kuasa Allah.
Haram, ya, keharaman memiliki tiga kategori: haram lidzatihi (haram karena dzatnya), seperti anjing, babi, khamr, narkoba, alkohol, dll. Lalu haram linailihi (haram dalam cara mendapatkannya), seperti hasil nipu, nyuri, dusta, mengurangi timbangan, korupsi, dll. Dan haram lifi’lihi (haram dalam perbuatannya), misal tidak mau mengeluarkan zakat yang menjadi kewajibannya atau mengambil harta anak yatim atau dana infak sedekah zakat, maka semua itu menjadikan hartanya kotor dan najis sehingga menjadi haram.
Sekarang mari simak ilustrasi berikut. Anggaplah kamu tidak pernah makan anjing, juga tidak pernah pakai narkoba atau miras yang haram karena dzatnya.  Makananmu daging sapi atau tahu dan tempe. Minummu es teh atau air putih. Tetapi, jika ternyata caramu memperoleh harta itu dengan cara menipu atau menjual diri atau tidak memberikan hak orang lain atau korupsi, maka secara hakiki sebenarnya daging sapi atau tahu dan tempe yang kamu makan itu sama haram dan najisnya dengan anjing dan babi! Es teh dan air putih yang kamu minum itu sama haram dan najisnya dengan miras dan narkoba!
Maka wajarlah jika kegemaranmu menyantap barang-barang haram itu menjadikanmu “mabuk” sehingga hatimu terhijabi dalam kealpaan akan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan shalatmu sendiri.
Dalam surat an-Nisa’ (4:43), Allah menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…
“Mabuk” di sini adalah mencakup mabuk karena mengasup barang-barang haram linailihi itu. Tidak hanya tersekat pada mabuk karena mengkonsumsi barang-barang haram lidzatihi. Di dalamnya juga tercakup mabuk karena menelan barang haram akibat tidak mau berzakat, infak, sedekah!
Kita menjadi mabuk sehingga kita tak lagi mampu mengerti bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan shalat kita. Dalam status demikian, jangan pernah harap sahalat kita sebagai media komunikasi kita dengan Allah akan berjalan dengan baik.
Mari kita kembali menanyakan pada diri kita, apakah kita sering mabuk dalam shalat kita? Jika iya, berarti kita sudah mafhum benar di mana gerangan posisi kita kini.
Silakan jawab dengan getir nan perih dalam hati masing-masing.
Ketiga, hidup yang masih disertai dengan perbuatan-perbuatan “fahsya’” (buruk dan maksiat). Suka pamer aurat, berdusta, menipu, mabuk, judi, menghina orang, dan sebagainya merupakan seabrek masalah perilaku buruk dan maksiat yang menghijabi dengan sempurna ingatan pikiran dan hati kita kepada Allah.
Ingatlah maqalah yang sangat menyengat ini, “ad-dzunubu kafilatul qulub” (dosa-dosa itu adalah penutup hati).
Dosa-dosa macam apakah yang dimaksud? Hemmm, mayoritas kita hanya akan menganggap dosa hal-hal yang selama ini dikenal sebagai dosa besar, seperti mencuri, membunuh, berjudi, atau mabuk-mabukan. Di luar itu, kurang diindahkan. Atau bahkan tak lagi dirasa sebagai dosa saking terbiasanya diri membenamkan diri dalam buih-buih dosa sehari-hari itu.
Berbohong atau mengumpati orang, apakah masih terasa di hatimu sebagai dosa? Tidak! Kenapa? Saking telah sangat terbentuknya habit kita dengan keburukan-keburukan tersebut sehingga tak lagi terasa sebagai dosa.
Simak dua pernyataan memilukan dari ulama besar ini:
Al-Waqi’, guru Imam Syafi’ie, berkata, “Nurullah la yuhda lil-‘ashi” (cahaya/hidayah Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat). Lalu Imam Ghazali, hujjatul Islam, berkata, “Sebuah dusta sudah lebih dari cukup untuk menyebabkan shalatmu tertutupi dari Allah Swt.
Seberapa sering kita berdusta? Luar biasa jumlahnya sampai kita lupa kapanm terakhir kali kita tidak berdusta, kan?!
Maka rasa heran macam apakah yang perlu ditancapkan lagi di dalam hati kita masing-masing untuk mempertanyakan kenapa shalat kita seperti tak ada manfaatnya, bekasnya, atsar-nya sama seklai jika nyatanya kita masih terus membeliti hidup kita dengan segala macam keburukan dan kemaksiatan itu?
Sampai di sini, mari bertanya, di manakah letak shalat kita di hadapan kemaksiatan diri yang intensif kita kibarkan?
Silakan jawab dalam ruhani masing-masing sambil memukul kepala!
Keempat, sikap masa bodoh pada orang lain. Mau saudara, sahabat, atau tetangga lapar atau dirundung duka mencekik leher, kita cuek amat, masa bodoh. Mau ada anak yatim tak bisa sekolah, tak ada yang ngurus, itu bukan urusan gue! Yang penting gue nyaman dan lagian gue nggak ganggu orang lain kok!
Jika kamu termasuk orang yang berprinsip demikian, simaklah kalam Allah dalam surat al-Ma’un (107:1-3). “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yaitu orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan pada orang miskin.”
Bila statusmu telah dinyatakan oleh Allah sebagai “pendusta agama”, ya sudah, selesailah segala label kemuslimanmu. Shalatmu pun tidak perlu dimajukan lagi untuk dijadikan pembela atas kemuliaanmu di hadapan-Nya. Pendusta agama tentu saja adalah orang yang tidak beragama meski ia telah menyatakan beragama.
Tentu saja, pemaknaan ayat tersebut bisa berkembang ke segala arah dalam konteks empati kita pada sesama. Seperti, berbuat tidak baik pada orangtua, menyelepekan tetangga, merendahkan teman kuliah, menghina siapa pun, semua itu merupakan varian perilaku dari “pendusta agama”.
Sekarang, mari tanya, sudahkah kita menjadi bagian dari para pendusta agama akibat sikap masa bodoh kita pada sesama dan sikap negatif kita pada orang-orang di sekitar kehidupan kita?
Jika iya, wajarlah kalau kita menjadi begitu susah untuk meraih makna dan manfaat dari shalat kita.
Silakan jawab dalam hati masing-masing sambil memurukkan kepala kita ke kolong ranjang.
Sudah sore. Belum makan siang. Lapar. Badan lemes. Lemes tiada terkira lantaran saat menulis setiap bagian dari catatan ini ternyata saya ini adalah orang muslim yang begitu sempurna memenuhi semua poin pembunuh shalat saya.
How damn I am!
Lho kok gitu?
Ya iya dong, Rasulullah Saw. telah tegas menyatakan kok dalam sebuah haditsnya, bahwa “Amal yang pertama kali akan dihisab kelak di akhirat ialah shalat, jika baik shalatnya maka baik seluruh amalnya, jika buruk shalatnya, maka buruklah seluruh amalnya.
Dan itu gue banget!!!! Pantes aja gue masih bejat gini meski gue rajin shalat!
Ini nih makhluknya calon penghuni neraka:

 
Ya sudah, sampai jumpa di neraka aja ya, Bro/Sist… See u later… Plakkkk…plakkkk!!!!
Jogja, 20 Oktober 2012
6 Komentar untuk "SAMPAI JUMPA DI NERAKA, BRO/SIST… (GUE SHALAT TAPI GUE BEJAT)"

Back To Top