Personal Blog

KEPALA KOPLAK, REPUBLIK KOPLAK

Koplak, dalam sebuah penerjemahan, serupa kelapa tua yang kalau dikocok-kocok akan terdengar bunyi air di dalamnya. Koplak, koplak, koplak. Bagaimana jadinya kalau ini terjadi bukan pada kelapa, tetapi kepala?
Kepala koplak jelas adalah kepala yang bermasalah. Abnormal. Jika kepala yang mengalami masalah, dapat dipastikan bahwa seluruh bangunan manusia bersangkutan juga bermasalah. Karenanya, nggak ada orang yang sudi dikoplak-koplakin, karena itu mengandaikan dirinya bermasalah, error, ora genah, bin kacau!
Tentu saja, jika kita nggak ingin disebut koplak, maka isi kepala kita, ya pikiran kita, harus bener, lempeng, genah. Kalau hitam ya dinyatakan hitam, kalau putih ya putih, kalau haram ya haram, kalau halal ya halal. Tidak disulap jadi abu-abu, menutup mata atas hal yang sebenarnya, yang menjadikan kita tak lagi terjelaskan sebagai orang bener dan lempeng dengan orang bengkok dan koplak!
Teranglah di sini bahwa seseorang layak disebut koplak bilamana yang bersangkutan berperilaku bengkok, kacau, dan ora mutu!
Perlu dengan tegas dipahami perbedaan antara “koplak” dalam artian seperti itu, dengan “koplak” dalam artian kreativitas ala anak-anak muda belakangan ini. Kecenderungan anak-anak muda sekarang yang menampilkan “kreasi-kreasi baru” dalam banyak hal, mulai mode, lifestyle, idola, hingga cara berbicaranya, yang memang banyak yang aneh-aneh, bukanlah bagian dari kelompok kepala koplak itu. Anak alay yang gemar menuliskan bahasa dengan tata bahasa yang nyeleneh atau pun anak punk dengan dandanan yang unik nyentrik itu adalah contoh “koplak kreativitas”, bukan “koplak kacau”. Dalam banyak hal, “koplak kreativitas” sering menjadi motor perubahan budaya masyarakat, dan tentu saja ini harus diapresiasi positif.
Tetapi koplak dalam artian sekoplak-koplaknya, yang ironisnya banyak dipentaskan oleh para orang tua alias sesepuh di negeri ini sungguh adalah ironi yang amat menyayat hati kita. Ini koplak yang menyedihkan, getir, dan tak sepantasnya terjadi.
Bagaimana mungkin setiap hari kita disuguhi adegan-adegan koplak  kemunafikan para politisi yang piawai bersilat lidah layaknya para pendekar di hutan rimba raya, yang kesemuanya mengaku “demi rakyat, demi kesejahteraan”, tetapi sebenarnya hanya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya?
Itu koplak banget!
Bagaimana mungkin pula sesaknya antrian calon jemaah haji yang sudah tembus angka 1,7 juta itu dinyatakan sebagai bukti kemakmuran negeri ini, toh faktanya mereka bisa dapat porsi haji dengan mudahnya lantaran diutangi (tentu dengan bunga) oleh bank-bank?
Koplak banget!
Bagaimana mungkin pilar-pilar demokrasi di negeri ini diklaim sebagai bukti tegaknya demokrasi, jika faktanya orang-orang parlemen itu selalu saja mementaskan adu kekuatan suara, bukan prinsip moralitas dan keadilan hati nurani manusia, sehingga keputusan parlemen selalu saja adalah keputusan pemegang banyaknya suara, bukan keputusan atas dasar moralitas?
Koplak banget!
Bagaimana mungkin simbol-simbol agama kian sering dijadikan kendaraan politik untuk membentengi kepentingan diri dan kelompoknya jika diusik oleh suara-suara nurani lain, seperti klaim religius “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”,  yang sejatinya hanya dimaksudkan untuk “membungkam” suara-suara nurani lain yang kian resah?
Koplak banget!
Bagaimana mungkin terjadi “barter masalah” demi saling menjaga kelanggengan masing-masing kelompoknya, sekalipun itu harus ditempuh dengan cara melukai hati nurani, melanggar prinsip amanah, dan menumbalkan ribuan orang tak bersalah lainnya?
Koplak banget!
Bagaimana mungkin lembaga-lembaga hukum yang dijadikan tumpuan seluruh orang di negeri ini untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan, ternyata justru berkhianat dengan menjadikan hukum sebagai senjata dan tameng perisainya untuk melawan asas keadilan hukum itu sendiri (tentu dibumbui ceceran ludah busuk mulut-mulut penuh ulat khas para munafik), jika bukan lantaran telah amat sangat bebalnya nurani para pengampunya?
Koplak banget!
Bagaimana mungkin kelompok besar ulama yang disatukan dalam wadah bersama sebagai wakil suara religius, suara cendekiawan, suara nurani, ternyata hanya sibuk dengan urusan kecil-kecil mentik macam joget dangdut, Indonesian Idols, VCD/DVD bajakan, tetapi sangat impoten untuk memfatwa kafir para koruptor, pengkhianat amanah rakyat, pencuri anggaran pendidikan, perampok kesehatan masyarakat lemah, dan penjahat sumber daya alam negeri ini?
Koplak banget!
Ahhhhhhhhhhhh…..stes, capek, bosen, njeleh, sengit, marah, ngamuk, emosi, nyesal, dan segudang rasa kecewa begitu sesak di langit pertiwi ini akibat telah koplak sekoplak-koplaknya kepala-kelapa itu.
Aku, kamu, dan dia yang berdiri di tepian panggung sandiwara koplak itu hanya bisa menggeleng, mendengus, dan menjerit, meski semua itu tak kunjung mampu membuka mata hati yang koplak itu.
Andai, ya, imajinasiku berkelebat jauh, andai kaidah ushul fiqh “dar ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih” (menghentikan keburukan lebih utama daripada melakukan kebaikan), yang mengandung semangat besar untuk lebih dahulu membasmi keburukan, kebarbaran, dan kebejatan ketimbang menebar senyum, anggukan kepala, dan sederet simbol kebaikan lainnya, bisa diterapkan tanpa aling-aling apa pun di negeri ini, kukira sudah sejak lama akan banyak kepala-kepala koplak yang tak lagi berani koplak.
Ahhhhhhh………..
Jogja, 10 April 2012
0 Komentar untuk "KEPALA KOPLAK, REPUBLIK KOPLAK"

Back To Top