Personal Blog

MANUSIA KELAS DUA

Era perbudakan dulu, kaum budak diposisikan sebagai manusia kelas dua. Mereka diperlukan rendah, hina, dan amoral.
Waktu pun bergeser. Perbudakan pun punah. Kemudian muncul gugatan banyak pihak, kenapa kaum wanita kok diposisikan tidak seimbang dengan kaum lelaki? Kenapa kaum wanita kok hanya jadi “simpanan domestic”, rumahan, layaknya mereka adalah manusia kelas dua?
Feminisme merebak. Tuntutan kesetaraan gender meruah. Kini, kaum wanita sama sepenuhnya posisinya di hadapan kaum lelaki. Good.
Apakah dengan sendirinya kini sudah tidak ada perlakuan manusia kelas dua?
Banyakkkkkkkkk!!!
Betapa amat sangat sering aku menemukan di banyak tempat, kaum bos, juragan, majikan memperlakukan sopirnya, pembantunya, babisitternya bukan selayaknya manusia yang persis dengan mereka. Para juragan makan sampai ngeces-ngeces kepedesan, minum es sampai bersendawa, cekikikan sama teman atau keluarganya, sementara di kursi luar sana, ada sopir yang kehausan, kelaparan, kepanasan. Ada pembantu yang dibiarkan menelan ludahnya sendiri menyaksikan pesta pora juragannya. Ada babysitter yang sibuk berkeringat menyuapi anak-anak majikannya yang rewel dan nakal.
Oh my God!
Pernahkah kau berpikir, hei para bos, juragan, majikan, bahwa mereka yang membantumu dan menyopirimu adalah sama manusianya persis denganmu yang bisa merasa kepanasan, kelaparan, dan kehausan?
Bukankah mereka sepenuhnya sama-sama memiliki kulit, daging, tulang, dan juga perasaan dan harapan dan keinginan yang sama persis denganmu?
Jika kau makan sate, lidah mereka pun tahu benar bahwa sate yang kau makan itu lezat, nikmat!
Jika kau minum juice alpokat, tenggorokan mereka pun sama persis dengan tenggorokanmu yang hapal betapa ademnya mereguk minuman dingin di tengah panas begitu!
Jika kau pakai baju yang wangi, bagus, mereka pun sama persisnya dengan inginmu untuk mengenakan baju yang sama, duduk di kursi yang sama, makan makanan yang sama, minum minuman yang sama, teduh di bawah AC yang sama!
Ironis, miris!
Bagaimana mungkin kau memperlakukan mereka bukan sebagai manusia seperti dirimu yang ingin diperlakukan dengan baik, terhormat, dan dimanusiakan?
Bila makanan dan minuman yang kau minum seharga 40.000, apakah kau lantas akan menjadi kere bengek jika kau pun membelikan makanan dan minuman yang sama untuk mereka?
Nggak kan?
Pernahkah kau bayangkan, bakal serepot dan seguncang apakah hidupmu bila para sopir dan pembantu dan babysitter itu tiba-tiba meninggalkanmu?
Hidupmu bakal kacau. Pekerjaanmu berantakan. Istirahatmu remuk redam. Plan jalan-jalanmu jadi belepotan.
Ah, betapa sungguh amat besar kenyamanan hidupmu bergantung pada keberadaan mereka di sisimu.
Tapi, bagaimana mungkin kau perlakukan mereka yang begitu dahsyat makna keberadaannya buatmu dengan begitu rendahnya, tidak terhormatnya, seolah mereka bukanlah ras manusia sepertimu? Bukankah mereka bekerja padamu, bahkan sebagian ditempuh dengan cara meninggalkan keluarganya tercinta di kejauhan sana, demi meraih penghidupan yang lebih baik, bukan memperoleh perlakuan yang serupa dengan perbudakan?
Sungguh, beda tipis antara praktek perbudakan dan pekerjaan hari ini hanya terletak pada: “Seberapa kamu menghargai mereka sebagai manusia yang sama persis denganmu, bukan manusia kelas dua.”
Jika kau menghargai mereka sebagai manusia yang serupa denganmu, kau menjadi bagian dari perjuangan mereka meraih penghidupan yang lebih baik. Tapi jika kau rendahkan nilai kemanusiaan mereka, kau adalah pelaku perbudakan yang tak pantas hidup hari ini!
Ugghhhgg…
Jogja, 10 April 2012
0 Komentar untuk "MANUSIA KELAS DUA"

Back To Top