Personal Blog

ONTRAN-ONTRAN ISLAM NUSANTARA


Dimuat di Jawa Pos (24 Juli 2015). Ini edisi lengkapnya...

“Tetapi apa yang kita ‘cutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya, debunya, asbesnya.”
Soekarno (1936)

Siapa yang tak haru menyaksikan Iker Casillas terisak pilu di hadapan para jurnalis ketika pamitan dari Real Madrid, klub yang telah dibelanya sepenuh cinta selama 25 tahun? Saya fans MU, bukan Madrid, tetapi mata saya tak sanggp menepis saputan kabut-kabut, apalagi Anda yang berkiblat ke Santiago Bernabeu. “Bahkan kepada musuh pun, tunjukkanlah rasa hormatmu,” bisik Raja Priam kepada Akhiles, pembunuh anaknya, Hektor.
Tentu, tak terbetik secuilpun di hati untuk mencetak analogi absurd, tidak apple to apple, antara kisah Casillas dengan tema Islam Nusantara yang diusung Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-33 di Jombang (1-5 Agustus 2015). Saya hanya sedang dalam posisi bergairah mengambil “pesan moral” dari dua kondisi berbeda itu (bola dan agama), tetapi ternyata mengalami “nasib” yang sama.
Anda tahu, Casillas ditendang dari kemewahan Bernabeu akibat filosofi hidup Mourinho di masa lalu. Bagi Mourinho, tutur Pandit Football, hanya ada dua jenis manusia di muka bumi ini: yang mendukungnya dan yang menentangnya. Semua yang mendukung akan dijunjung, semua yang menentang akan dipancung. Khas Sang Pengeran Machiavelli. Casillas adalah kelompok kedua, sehingga ia harus “dihentikan”, bagaimanapun legendarisnya ia.
Nasib Islam Nusantara, dalam analogi tragedi Casillas itu, di kalangan sebagian muslim kita, tidaklah jauh berbeda. Harus “dihentikan”. Atas argumen teologis lawas beraroma purifikasi Wahabian. Sebagian penentang itu terkesan berspirit akademis, tetapi sebagian besarnya lagi lebih tampak mengharukan sebab sekadar ikut-ikutan eksis-resistan biar tampak kekinian. “Berpegang pada Islam yang asli,” begitu jargon para penolak itu.

Islam yang Asli
Semua muslim niscaya sepakat bahwa sebutan Islam yang asli haruslah merujuk hanya kepada Rasulullah saw. Ya, hanya. Selain beliau, bukanlah Islam yang asli. Bahkan, konsekuensinya, Khulafaur Rasyidin. Kenapa? Sebab hanya Rasulullahlah satu-satunya pusat rujukan yang langsung dijamin validitasnya oleh Tuhan. Jika Rasulullah tidak tahu hukum suatu peristiwa, Tuhan langsunglah yang akan memberikan jawaban melalui penurunan ayat-ayat Alqur’an dalam bentang 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Anda bisa mengulik asbab al-nuzul surat An-Nuur ayat 26 sebagai contohnya.
Sejarah lalu mencatat, di masa kekhalifahan Abu Bakar, digagaslah penulisan Alqur’an karena banyaknya sahabat penghapal Alqur’an yang syahid. Di masa Umar bin Khattab, beliau menggagas shalat Tarawih berjamaah. Di masa Ustman bin Affan, beliau menggandakan mushaf Alqur’an dan mengadakan dua kali adzan dalam shalat Jum’at. Di masa Ali bin Abi Thalib, beliau menggagas ilmu Nahwu demi memelihara bacaan yang benar terhadap Alqur’an.
Pertanyaannya, apakah gagasan dan tindakan Khulafaur Rasyidin itu dijamin validitasnya oleh Tuhan, seperti Rasulullah? Tentu tidak. Semuanya berdasarkan inisiatif-inisiatif logis (ijtihad) untuk mewujudkan pesona maslahah mursalah dan ternyata hari ini kita mewarisi kemanfataannya.
Fakta sejarah itu semestinya sudah lebih dari cukup untuk menyejukkan nalar kita bahwa idealisme menegakkan Islam yang asli (sebagaimana di masa hidup Rasulullah) hanyalah utopia-delusif belaka. Sebab Islam yang kita warisi kini adalah Islam yang berdasarkan pada teks dua sumber utamanya, Alqur’an dan Sunnah, plus lanskap khazanah ijtihad para ulama terdahulu, dari era sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in (salafus shalih), lalu era Ibnu Taimiyah, hingga era ulama-ulama terkini.
Soal lalu situasi ini memantik curiga di hati akan melencengkan Islam dari aslinya, mari besarkan hati sembari melayari sabda Nabi: “Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi).

NU dan Islam Nusantara
Ayo, lupakan dulu soal di abad 18 muncul sosok Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1792 M) yang mengusung teologi Wahabi yang tegas terhadap segala hal yang dianggap bid’ah. Kita tidak hidup di Arab Saudi, kan? Kita bernapas di Indonesia, di antara lambaran kekayaan tradisinya, yang dominan menganut teologi Asy’ari, fiqh Imam Syafi’i, dan tasawuf Imam Ghazali (tanpa bermaksud menegasi firqah lain). Mari biarkan Arab Saudi menjadi dirinya (berteologi Wahabi, berfiqh Hanbali, dan menolak tasawuf dengan klaim bid’ah warisan Persia), dan mari kita berbangga dengan citra keindonesiaan kita.
Maka jika kini NU menyajikan hidangan Islam Nusantara ke meja makan kita, dan membuat shock sebagian kita seperti fatwa Mamah Dedeh, alangkah eloknya bila kita berbesar hati dengan berkenan melihatnya terlebih dahulu dalam hierarki ini:
Satu, NU sebagai ormas Islam yang sangat besar dan mengakar kuat niscaya tidak diampu oleh kiai-kiai (ulama) karbitan ala media sosial. NU lahir puluhan tahun jauh sebelum Mark Zuckerberg. Para panglima NU, dari dulu sampai kini, sudah pasti terdiri dari kaum cendekiawan muslim yang tak perlu diragukan lagi kompetensi keilmuan dan kecintaannya pada Islam. Di hadapan Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Sahal Mahfudz, hingga Gus Dur (sekadar menyebut beberapa nama), siapalah kita ini kok lancang menyangsikan kualifikasi mereka. Di hadapan Komite Hijaz yang dimotori K.H. Wahab Hasbullah yang berani membela kemajemukan ikhtilaf di hadapan Raja Su’ud, siapalah kita ini selain hanya butiran debu yang tak tahu arah jalan pulang.
Dua, Islam dari zaman Rasul hingga NU telah melintasi rentang waktu yang sangat panjang. Dinamika realitas yang terus jumbuh selama 15 abad itu tak terbendung menjubahi kehidupan umatnya. Dari hal-hal yang secara tekstual bisa digali langsung dari Alqur’an dan hadits hingga hal-hal yang benar-benar baru (kontekstual) dan hanya bisa dipayungi oleh hukum Islam secara metode qiyashi, ‘urf, dan ‘adah muhakkamah. Sebutlah Facebook.
Ini mendedahkan aksioma relasi simbiosis-mutualis antara teks Islam dengan realitas umat yang tak terpisahkankan. Ia bagai sehelai mata uang yang satu sisi dengan sisi lainnya berbeda tetapi musykil diberaikan. Ia, dalam bahasa yang lebih mutklak, adalah sunnatullah, hukum alam. Karenanya, ia sangat tidak perlu dipaksa dipancung agar berberai bahkan atas nama menjaga keaslian Islam sekalipun. Bukankah hanya melalui proses integrasi-interkoneksi ini, teks-teks suci akan terus jumbuh subur produktif, holistik, shalih likulli zaman wa makan, membuahkan rahmatan lil ‘alamin? Bukankah, alih-alih tanpa pengertian demikian, teks-teks suci hanya akan menjadi “abu, debu, asbes” di antara helai-helai sakralitas yang kita sembah sedemikian gigil penuh mitologis sampai menyurukkan akal sehat ke liang lahat?
Dalam lanskap demikianlah, kursi Islam Nusantara tepat diletakkan. Sebuah gagasan kreatif untuk menghidupkan teks-teks primer Islam dan warisan pemikiran para ulama salaf dalam bingkai dinamika kekinian dan kedisinian.
Di antara pekur panjang Islamic Studies, gagasan ini sejatinya bukanlah hal baru. Di dunia internasional, di antaranya, kita kenal nama Fazlur Rahman dengan metodologi “double movement” dan “tematik”-nya; Mohamed Arkoun dengan slogan “korpus terbuka”-nya; Mohammed Abeb al-Jabiri dengan metode “burhani, bayani, ‘irfani”-nya; Abdullah Saeed dengan “moral ethic”-nya; hingga Jasser Auda dengan “maqashid al-syar’i”-nya.
Di dalam negeri, di antaranya, kita dikenalkan pada istilah “Fiqh Indonesia” oleh TM Hasbi Ash-Shiddiqy; Harun Nasution dengan “Islam Rasional”-nya; Gus Dur dengan “Pribumisasi Islam”-nya; Quraish Shihab dengan “Membumikan Alqur’an”-nya; Kuntowijoyo dengan “Islam Profetik”-nya; hingga Amin Abdullah dengan “Jaring Laba-laba”-nya.
Tampaknya, K.H. Mustofa Bisyri (Gus Mus) sangat memaklumi runyakan paranoia pada Islam Nusantara ini semata akibat “kesalahpahaman” istilah. Beliau pun lalu menjabarkan: kata “Nusantara” itu akan salah maksud jika dipahami dalam struktur na’at-man’ut (penyifatan), sehingga artinya menjadi “Islam yang dinusantarakan”; tetapi akan benar jika diletakkan dalam struktur idhafah (penunjukan tempat), sehingga artinya menjadi: “Islam di Nusantara”.
Kini, apa sudah bisa lebih bersantai?
Masjid Syuhada, Jogja, 14 Juli 2015
3 Komentar untuk "ONTRAN-ONTRAN ISLAM NUSANTARA"

Back To Top