Personal Blog

SEMUA ORANG BUTUH WAKTU, JUGA LOUIS VAN GAAL





Jika ada penghargaan untuk tim paling tidak sopan di Premier League musim 20015/2016 ini, Leicester City adalah juaranya. Lupakan Southampton yang bertengger di peringkat sepuluh, yang musim lalu dinobatkan oleh Pangeran Siahaan sebagai klub terkurang ajar pasca dijarah Steven Gerard FC karena sukses menumbangkan kemewahan Manchester United dengan skuat ala kadarnya, juga Chelsea yang tak begitu jelas apakah turut berlaga musim ini atau tidak dengan skuat seharga ratusan juta Poundsterling.
Sebagai klub yang musim lalu harus berjuang mati-matian untuk sekadar selamat dari degradasi, yang kini didekati oleh Chelsea, Leicester ibarat pembalap rookie di sirkuit MotoGP yang tidak mengendarai motor pabrikan Honda macam Marc Marquez, bahkan bukan pula sekadar motor non-pabrikan Pramac Racing Team yang terkenal sulit dikendalikan, tetapi sebutlah cuma Ninja 250 standar, lalu melejit ke posisi dua di belakang Valentino Rossi atau Marquez atau Jorge Lorenzo. Bukankah ini sebuah sikap tidak sopan yang sangat keterlaluan?
Sulit dinalar, tetapi begitulah sepak bola. Bahkan dalam keadaan tertinggal dua gol dari Aston Villa, Leicester berhasil membalikkan keadaan hanya dalam 20 menit dengan mencetak tiga gol. Luar biasa! Pameo lama bahwa bola itu bundar, sehingga gelindingannya bisa ke mana saja, berlaku nyata pada anomali klasemen Liga Inggris kali ini.
Anda mau sebut berapa tebusan yang harus dibayarkan Syaikh Mansour untuk mementerengkan armada Manchester City? Pablo Zabaleta, Samir Nasri, David Silva, Sergio Aguero, dan Yaya Toure yang kian tua kian rewel, jelas tidak apple to apple dibanjarkan dengan Wes Morgan, Danny Simpson, Ritchie de Laet, dan Andrej Kramaric yang pasti sangat asing di ingatan anda.
Posisi langit dan bumi itu ternyata memiliki jumlah poin yang sama, hanya kalah selisih jumlah gol yang setipis kulit ari yang memisahkan sesal dan gengsi saat anda masih saja gemar ngepoin kehidupan sang mantan.
Lalu mari sitir nama pemain-pemain megah Arsenal yang bertapa di posisi empat. Ada Mesut Ozil, Santi Cazorla, Olivier Giroud, Danny Welbeck, hingga Alexis Sanchez. Bahkan untuk urusan produktivitas gol, Arsene Wenger harus gedek-gedek sembari membanting botol air mineralnya di tepi lapangan karena dipecundangi begitu kampretnya oleh Leicester.
Lalu bagaimana dengan Manchester United? Sebagai lelaki muda yang setia tidur berbantal logo The Red Devil, di sini saya merasa sangat telo. Skuat besutan Louis van Gaal seharga 270 juta Pounds ini bahkan harus rela menjadi ekor Leicester di klasemen plus bersimpuh di level tujuh untuk capaian produkivitas gol yang baru berjumlah 20, jauh di belakang City, Leicester (lagi), Arsenal, Tottenham Hotspur, dll.
Menjereng sosok Wayne Rooney, Memphis Depay, Anthony Martial, Juan Mata, Ander Herera, Marouane Fellaini, hingga Daley Blind dan Marcos Rojo vis-a-vis skuat semenjana Leicester hanya akan kian membuat gigi van Gaal kerap sakit dan pipinya membengkak lalu. Tak ada apologi lain yang bisa didawuhkan Meneer ini selain, “Beri kami waktu.”
Van Gaal boleh saja dicatat sebagai salah satu pelatih hebat yang pernah mengilapkan prestasi Timnas Belanda. Tetapi Manchester United bukanlah Timnas Belanda. Manchester United adalah Sir Alex Ferguson, yang tak boleh kalah, atau seminimnya terlalu lamban untuk tidak marah dengan hair drier treatment atas kekalahan-kekalahannya.
Entah dibutuhkan berapa banyak permen karet oleh Fergie untuk mengusir gemeletaknya di tribun menyaksikan Setan Merah-nya cuma sekali menang dengan selisih dua gol, dua kemenangan lagi dengan skor tipis, dan lima lainnya berbuah imbang, dalam sembilan laga! Catat, skuat 270 juta Pounds hanya untuk main seburuk itu di hadapan Fergie! Semoga wine selalu kuasa mengawal gelegak kolesterolnya.
Saya mungkin belum move on dari status glory hunter, tetapi semua orang harus mengerti bahwa Manchester United adalah Ferguson, yang selama  27 tahun membangun MU telah menorehkan catatan impresif tak tertandingi di jagat raya ini. Membandingkan van Gaal dengan Ferguson memang tidak adil, seperti kata Quinton Fortune, mantan pemain MU di era 1999-2006. Tetapi membandingkan MU dengan Leicester juga sama tidak adilnya. Tidak adil versus tidak adil jelas tidak bisa ditolelir dengan nalar sekalang telo sekalipun, persis sikap sebagian besar kaum Hawa kekinian yang atas nama membela kecemerlangan masa depan menjalin hubungan diam-diam dengan lelaki lain. Membela kebaikan dengan melakukan keburukan adalah kebebalan tak terampunkan.
Jika Ferguson pernah mengatakan bahwa hal yang sangat dibencinya adalah kekalahan, meski caranya menyikapi kekalahan setingkat lebih dewasa dibanding Arsene Wenger yang selalu mencari kambing hitam, para pemuja MU akan mengatakan, “Ini adalah United, Gaal, tidak boleh setingkat dengan klub lain.” Apalagi Leicester. Sebab di sebelahnya, para Citizen, fans Arsenal, dan antek Liverpool akan bermurah hati mengolok sepanjang siang dan malam tanpa lelah sampai alpa mencari pasangan. Tentu, tak ketinggalan, para pemberhala Chelsea akan seturut bergabung dengan fans-fans klub lain seolah sehati-sejiwa untuk mengoloki MU, sembari pura-pura tidak tahu kemurungan Jose Mourinho mematut uban-ubannya di depan cermin.
Boleh saja, semua penggemar sepak bola Inggris pada sisi angle-nya lalu sekufu mengatakan bahwa pelatih manapun akan membutuhkan waktu yang cukup untuk menata tim warisan Ferguson yang kadung terlalu diberhalakan, plus telah diacak-acak David Moyes selama segelintir bulan. Ekspektasi tinggi pada van Gaal yang sejak awal kedatangannya juga membuhulkan mitos harapan di kepala kita merupakan sumber kekecewaan-kekecewaan. Dan, setiap kekecewaan mendera, kita serentak alpa pada “dibutuhkannya waktu” dengan sedikit berlega hati mengingat pencapaian van Gaal yang telah berhasil memulangkan MU ke khittah-nya berlaga di Liga Champion.
Ya, begitulah kita semua. Kekecewaan akibat terlalu tingginya harapan senantiasa lebih dahulu kita sajikan di atas meja makan kita ketimbang menginsafi bahwa kesuksesan niscaya selibat dengan epitaf kegagalan. Mencatat statistik kemenangan Ferguson di waktu yang sama niscaya terantuk pada batu-batu kekakalahnnya pula. Menyebutkan raihan Trible Winner MU di era Christiano Ronaldo dkk., yang disebut-sebut generasi emas United, pastilah mesti disandingkan dengan tidak pernah menangnya Ferguson melawan Mourinho dengan skuat yang sama.
Masalahnya adalah apakah kita sudi fair pada diri sendiri? Apakah kita cukup dewasa untuk mendudukkan syukur sebagai kawan karib sabar? Betapa pun hebatnya Mark Zuckerberg, ia harus rela ditinggalkan gelar akademiknya di Harvard University. Betapa pun moncernya karir politik Jokowi, di waktu yang sama ia harus ikhlas menghadapi bullying rakyat-rakyat mediokernya sendiri yang sungguh makin aduhai berkomentar sebagai isyarat kian ditinggalkannya kegiatan mendengar ketimbang bercerocos.
Pada derajat ini, van Gaal boleh menarik napas untuk sekadar ingat bahwa ia adalah manusia. Serupa Mourinho yang berkat kejatuhannya di musim ini menjadi punya banyak waktu untuk membuka-buka kembali kitab karir kepelatihannya yang terlalu mengkilap, lalu tersenyum geli saat berpapasan dengan catatan kemarahan besarnya pada Mario Balotelli di Inter Milan yang entah di mana kini, dan di waktu turun minum mewanti-wanti secara khusus pada Balotelli yang telah mengantongi kartu kuning agar bermain aman demi menghindari kartu kuning kedua, tetapi tepat di menit 46 Balotelli diacungi kartu kuning lagi oleh wasit yang berubah kartu merah sedetik kemudian.
Di antara ngos-ngosannya berlari, memburu obsesi apa pun, dibutuhkan sejenak waktu untuk berhenti, guna sekadar bisa minum, duduk, atau tertawa. Inilah me time yang amat berharga untuk memaksa diri sempat menjewer telinga sendiri agar kembali ingat bahwa kita semua adalah manusia. Celakanya, kegiatan menjewer telinga sendiri ini makin acap ditanggalkan atas nama sibuk memalu-malu obsesi siang dan malam, sehingga wajar saja bila kemudian ketelitian, kesadaran, dan kesabaran tak lagi karib. Lalu, apa bedanya kita dengan palu?
Boleh saja  aksi gila Leicester City yang dinahkodai Claudio Ranieri ditabalkan oleh para pengamat sepak bola sebagai upper cut klub semenjana (untuk tidak disebut pas-pasan) yang siap meng-KO Manchester City dan telah sementara ini menganvaskan Manchester United, Arsenal, Totenham Hotspur, apalagi Liverpool dan Chelsea. Sebuah situasi yang mengerikan tak tepermanai. Tetapi, mari ingat kelakar Jurgen Kloop sejenak, “Segala sesuatu memang harus berjalan dengan baik tetapi tidak perlu tergesa-gesa.”
Tenangkan hatimu, Meneer van Gaal, dunia tahu bahwa semua orang membutuhkan waktu, persis Ferguson dulu, juga Kloop di Borussia Dortmund dulu. Para fans Setan Merah bisa selo untuk memberikan waktu kepada anda sembari menurunkan ekspektasi dengan diam-diam agar tak terlalu berat mengunyah krecek-krecek kecewa. Tetapi entah dengan anak-cucu almarhum Malcolm Glazer yang memangku Old Trafford dengan kerajaan utang.
Persis negara kami.
Tag : Sepak Bola
6 Komentar untuk "SEMUA ORANG BUTUH WAKTU, JUGA LOUIS VAN GAAL"

Ah, iya. Van Gaal bukan Ferguson. Dan jelas terlihat kalau van Gaal ingin mengubah mindset orang-orang yang bilang kalau United adalah Ferguson. Eranya sudah berakhir. Mari kita percayakan saja sama The Philosopher!

Segera menyusul essai bola saya pak Edi..

bener banget apakata N. Firmansyah...

fyi teori van gaal adalah dimana suatu tim unggul di ball possesion pasti bakal besar peluang menang nya haha..

"Sebagai klub yang musim lalu harus berjuang mati-matian untuk sekadar selamat dari degradasi, yang kini didekati oleh Chelsea, Leicester ibarat pembalap rookie di sirkuit MotoGP yang tidak mengendarai motor pabrikan Honda macam Marc Marquez, bahkan bukan pula sekadar motor non-pabrikan Pramac Racing Team yang terkenal sulit dikendalikan, tetapi sebutlah cuma Ninja 250 standar, lalu melejit ke posisi dua di belakang Valentino Rossi atau Marquez atau Jorge Lorenzo. Bukankah ini sebuah sikap tidak sopan yang sangat keterlaluan?"

Sungguh ketidaksopanan yang membanggakan...

Back To Top