Ahh, ogah banget
gue kudu ngantor pake celana kain kombor, dasi nyekik leher, kacamata bening, tas
kulit lebar, sepatu kulit pantopel super mengkilat yang bila ada semut
ningkring di ujungnya pasti langsung melorot jatuh, rambut klimis pake minyat
tanah campur oli dan minyak goring, kemeja polos dengan singlet putih
menerawang dari dalam dimasukin celana yang diikat sabuk kulit kecil seukuran 2
jari, di saku ada polpen bertinta parker, plus duit 100 ribu terlipat di balik
saku kemejanya, juga sisir kecil di kantong celana belakang!
Nooooooooo!!!!
Itu bukan gue!
Gua sih nggak
lantas mau ngatain orang dengan penampilan begitu telah salah jadi orang.
Nggaklah. Atau gue mau bilang kalian yang dandannya begituan pastilah kurang
gizi waktu kecil atau nggak kenal peradaban twitter
dan kopi Luwak atau espresso dan saparella.
Nggak usah
nge-judge segitunyalah.
Gue hanya
bilang bahwa gue nggak bakal jadi begituan, bahkan sampe gue udah jadi bapak
tua kelak. Alasannya: karena gue adalah gue, bukan lo atau kalian atau dia! Apa
yang gue lakuin selama ini, sejak bayi sampe gede begini, yang alamiah
terevolusi dalam hidup gue dan kini menjadi gue yang begini, adalah pilihan
gue.
Lo yang beda
dengan gue, termasuk yang ada dalam “list
tidak” tadi, silakan aja mau kayak gimana.
Gue tidak mau
dandan begituan tadi bukan karena alasan ideologis, apalagi agama. Bukan! Gue
hanya nggak nyaman dengan semua itu. Kenapa nggak nyaman?
Alasan gue:
gue ngebayangin jika gue berlagak begituan, pastilah gue akan hidup
luuuuuruuuussssssss! Kayak tol tanpa tikungan! Nyetirnya konstan 80 KM/jam di
RPM 2.500.
Salahkah?
Nggak, sob!
Gue udah
bilang ini bukan tentang salah, tapi hanya soal nyaman nggak. Gue suka
gronjalan, naik-turun, maju-mundur, karena gue yakin itulah yang bakal
menjadikan hidup kita menjadi penuh dinamika alias warna.
Gue dan kalian
hanya hidup sekali di dunia ini, dan gue pengen mengenal dan merasakan dinamika
warna-warni hidup sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya. Dari yang lurus, bengkok,
miring, bulat, kotak-kotak, dan sebagainya. Dan itu hanya akan gue capai jika
gue tidak terus-menerus jalan konstan 80 KM/jam di RPM 2.500.
Gue percaya
benar celoteh bijak professor gue, Prof. Amin Abdullah, waktu ikut kelas S-3 Islamic Studies, bahwa gue kudu keluar
dari cangkang! Out of the box, dalam
bahasa gombal kiai Sodron yang nggak jelas profesinya apa itu, antara ustadz,
dukun, makelar, kadang juga guru pencak silat yang sakti-saktian ala jurus Kunyuk Melempar Buah-nya Wiro Sableng.
Cangkang!
Kotak! Box!
Wittgenstein,
muridnya filsuf besar Betrand Russel, bilang, “Jangan jadi lalat dalam toples
kaca.”
Bayangin tuh!
Toples adalah wakil
dari ruang yang sempit, sekalipun ia transparan, bebas pandang kemana-mana. Muter-muter
tuh lalat, memandang kesana-kemari, tapi tetap aja si lalat itu hanya berada di
dalam toples itu. Dia lalu ngerasa sudah menyaksikan dunia seisinya dari dalam
toples itu.
Taruhlah
toples itu di atas meja, di sebuah kamar tidur yang paling berantakan se Rumah
Diva kayak kamar si Ve itu.
Lalat itu
melihat dan berkata: “Ooww, dunia itu adalah bantal Madrid, seprei Madrid yang
sobek sebelah kanannya, handuk Madrid yang jamuran karena nggak pernah dijemur,
apalagi dicuci, tipi yang dirubung semut, sehelai duit ribuan sobek yang sedang
dilakban tapi belum jadi, beberapa boxer yang kumal bau kentut, kabel melintang
kesana-kemari….”
Lalu lalat itu
mencatatkan memorinya tentang dunia yang sangat muram berdasar penglihatannya
dari balik toples kaca di sebuah kamar yang tidak pernah dilintasi bayangan
keren!
Lalat tidak
salah dengan catatannya, tetapi lalat itu hanya akan hidup dan kemudian mati
dalam catatan sempit sewarna itu.
Lalat itu
nggak pernah tahu bahwa di kamar gue, hal-hal yang muram durja macam itu nggak
pernah ada. Gue rapi, sob! Wangi!
Anti berantakan! Beda jauh dengan kamar Ve! Jangan tiru dia….lhooo…
Belum lagi
kalau lalat itu gue bawa jalan-jalan ke President Suite di hotel bintang dekat
Amplaz itu.
Buka pintu aja
begitu wangi. Ada
tatakan buah lengkap di meja. Tipi anti semut karena selalu disemprot baygon.
Bla-bla-bla.
Lo mau warna
dunia yang mana? Yang kucel ala lalat dalam toples itu atau yang lain, yang
beda, yang penuh warna, yang bahkan teramat sering buat lo mangap sambil teriak
nggak sadar: “Woowwww…amazing! Gilaaaakkkk!!!”
Gronjalan!
Dinamika!
Lo pengen
hidup yang menempuh ribuan warna, dari yang asin, manis, getir, pahit, ceria,
kusam, mulus, panuan, bening, butek,
dll., semua itu tersedia lengkap di sekitar lo sendiri asal lo mau keluar dari
toples kaca, cangkang, dan membebaskan diri lo diterpa angin dan sinar
matahari!
Mana mungkin
lo bisa cerita tentang anak kecil yang tertidur kedinginan meringkuk dalam
lapar dan tempias hujan jika lo nggak pernah keluar dari cangkang kamar lo yang
ber-AC, rapat?
Mana mungkin
lo bisa dapat feel empatinya?
Mana bisa lo kan merasakan pentingnya
syukur?
Mana bisa lo kan terhenyak untuk
terpanggil berbagi?
No, no, no, no, no, no…
Warna-warni
hidup, apa pun itu, dari yang positif sampe negatif, dari angle sampe demon, dari
yang lurus jalan terus sampai kriting yang kudu belok kiri, adalah bagian
mutlak dari dunia kita, saat ini, sekarang juga, nyata banget adanya, yang bila
bisa kita masuki, saksikan, pikirkan dan renungkan akan mampu mengisi jiwa kita
dengan “nilai-nilai plus”, yang tak pernah bisa didapat si lalat dari balik
toples kacanya itu.
Wise banget?!
Dewasa
banget?!
Entahlah. Terserah kalian aja deh mau nilai
gimana. Gue hanya dalam posisi buktiin bahwa pilihan gue untuk tidak terjebak
di ruang ber-AC, rambut klimis, komunitas yang statis, merupakan car ague untuk
mewarna-warnikan hidup gue!
Dan, untuk itu
gue sering dibilang gila, stres, korslet, sinting, antik, aneh, dan sebagainya.
Gue terima
semua itu!
Dan nggak
ngaruh buat gue, secara personality
atau pun leader di sebuah perusahaan penerbit
mayor di Jogja. Ya, gue seorang CEO, direktur, merangkap owner tunggal, decision maker,
pengayom, pengampu!
Gue adalah CEO
koplak di dunia usaha bernama penerbit yang produk-produknya dituntut serius,
rigid, detail, kreatif, inovatif, progresif, dan serba pinterlah!
Koplak vs
serius!
Ya, absurd
kedengerannya, nggak masuk akal, split
ya, ambigu, alias kajol (kagak jolas).
EGP-lah…
Nyatanya, udah
12 tahunan gue jadi CEO di sini, dari perusahaan ini masih punya karyawan 2
biji sampe kini udah lebih dari 1.000 orang (tentu, jumlah 1.000 termasuk
suami/istri karyawan, anak-anak mereka, juga tetangga-tetangganya). Errrerrrrr!
Ladies and gentlemen (+mixed of them), gue bakal berbagi cerita gue tentang semua
itu.
Ada keringat yang
membanjir begitu derasnya sampai perlu dibangun Banjir Kanal Keringat (BKK)
sdaat gue kudu banting-tulang bersama tim atau pun seorang diri hingga larut
malam yang membusuk bau banget.
Ada pula airmata yang
menderas bagai hujan tangis ala Sponge Box kala sedih yang anehnya bisa
tiba-tiba mampet kering gitu (film kartun
yang aneh atau guenya yang aneh terlalu mempertanyakan ya?).
Ada pula tawa yang
melengking-lengking sepanjang malam bak pocong yang baru kenal OVJ dan ngelihat
Sule, Aziz, Parto, Andre, dan Nunung sampai kepingkal-pingkal hingga melorotlah
semua kain kafannya.
Ada pula amarah yang
meledak-ledak laksana ledakan kilang minyak membubung api tinggi ke angkasa
saat dibom oleh Steven Seagal yang terlalu jumawa sampe nggak pernah kalah
sedikit pun.
Ada pula perenungan,
kontemplasi, penyepian, penyendirian, laksana gue adalah pertapa yang tetap
saja merem di atas silanya meski di atas batu, di atas kepalanya ada sepasang
ABG kurang ajar kurang modal lagi ngedate sampe piting-pitingan sedemikian rupa
hingga sulit lagi dikenalin apakah itu dua tubuh atau satu tubuh (ahhh, anak
muda!).
Ada pula rapat dan diskusi
yang begitu panjang sampai pinggang gue udah berasa dijepit seribu kepiting dan
ketika bangkit berdiri gue terpaksa jalan setengah membungkuk layaknya orang
Jepang lagi hormat pada tamunya.
Merah. Putih.
Hitam. Biru. Kuning. (Bukan nyebut
warna-warna partai ini karena gue paling kagak percaya sama mulut-mulut partai
#ehmalahcurcolyakk) gue jalanin. Tanjakan, turunan, tikungan, akselerasi, latest breaking, speed corner, gue tempuh semua.
Dan, gue
menggagas, menjalankan, menempuh, mengubah, memodifikasi, merespons,
berstrategi, bersolusi, atas semua aspek posisi gue sebagai CEO dengan car ague
yang nggak biasa, yang out of the box,
yang tidak mainstream. Dan, kata
orang-orang yang kenal gue, mereka bilang, “CEO KOPLAK!”
Tag :
Yang Serba Nakal
0 Komentar untuk "CEO KOPLAK"