“Aku nyesal
banget kuliah ekonomi dulu…”
“Lhah, kok…?”
“Nyatanya aku
nggak kuat ekonomi gini.”
“Itu dua hal
yang berbedalah.”
“Ekonomi kan tentang kekuatan
duit. Apa lagi?”
“Tapi tetap
nggak bisa digebyah sesederhana itu.”
“Setidaknya,
aku nggak down banget kalau dulu
kuliah lain.”
“Hemm…apa
mahasiswa kampus Islam harus jadi ustadz semua?”
“Ya, nggak
sih…”
“Bukankah
seabrek yang juara ilmu agama tapi bedebah?!”
“Iya..iyaaa…iya
sih…”
“Bukankah juga
seabrek yang jago ilmu ekonomi tapi kere?”
“Hemm…aku
banget itu!”
“Cuma di
antara abrekan itu.”
“Ya, tapi cuma
rasanya kok ilmu kuliahku jadi sia-sia gitu…”
“Nggak ada
ilmu yang sia-sialah.”
“Ada! Nih, aku!”
“Bukan
sia-sia, belum kamu rasakan manfaatnya saja.”
“Sama aja!”
“Nggak! Karena
ukuranmu adalah konkret, maka yang abstrak dianggap gagal.”
“Halah, kamu
banget itu, filsafat banget itu…!”
“Nyatanya kan begitu?”
“Bukankah
orang selalu menuntut konkret to?”
“Itulah
penyebab pudarnya hal abstrak, padahal hal abstrak sangat penting!”
“Misal?”
“Mindset…”
“Pentingnya?
“Bukankah
semua kita bertindak yang konkret berdasar mindset?”
“Tapi kan nggak semua mindset bisa dikonkretkan?”
“Betul. Itu
sudah ranah idealisme dan realitas.”
“Jadi di mana
pentingnya mindset tadi?”
“Apakah semua
ucapanmu tadi tidak berdasar mindset?”
“Ya, mindset…”
“Termasuk
ungkapan sesalmu yang konkret tadi?”
“Ya, mindset…”
“Karena mindset-mu menyesal kuliah ekonomi,
sikapmu jadi gimana sekarang?”
“Down…”
“Dampak down?”
“Yaaa…gimana
yaaa…pastinya jadi lemes gitulah…”
“Coba dibalik.
Umpama midset-mu nggak nyesal
kira-kira gimana sikapmu?”
“Hemm…”
“Sebutlah kamu
akan berusaha cari kerja atau merintis usaha kan?”
“Iya,
begitulah…”
“Jadi
kesimpulannya?”
“Masalahku ada
di mindset kalau gitu ya?”
“Perfect!”
“Yaa sih…”
“Bukankah mindset itu abstrak, baru menjadi
konkret ketika diekspresikan?”
“Iya, benar…”
“Jadi kan sudah ketemu letak pentingnya hal abstrak kan?”
“Tapi apa
kalau aku punya mindset beda, lalu
konkret hidupku kan
beda?”
“Iya dong!”
“Kok yakin
banget?!”
“Ya iyalah,
semua kan
berpangkal dari mindset, yang abstrak
itu.”
“Ah, nggak
selalu jugalah…”
“Contohkan
deh…”
“Umpama aku
punya mindset kaya, apa aku akan bisa
beneran kaya konkret?”
“Nggak
otomatis memang…”
“Jadi kan benar pendapatku
tadi…”
“Bukan begitu dong
cara menyimpulkannya…”
“Gimana coba?”
“Kamu pengen
kaya?”
“Yup!”
“Sekarang apa
definisimu tentang kaya?”
“Hemm, nggak
usah ribet filosofis lagi, intinya serba cukuplah.”
“Oke. Berarti
jika kamu merasa belum kaya, berarti kamu sedang kekurangan?”
“Iya banget!”
“Kurangnya
dalam hal apa misal?”
“Nggak punya
uang untuk hang out, apalagi punya
mobil.”
“Oke. Itu
konkret kan
ya konsep kayamu.”
“Iya, kaya ya
konkretlah, kaya abstrak itu untuk apa?”
“Maksudku
gini. Jika kamu sudah memiliki kecukupan dua hal itu, trus apa lagi?”
“Hemm, pasti
pengen berkembanglah…”
“Lalu di waktu
yang sama kamu kan
merasa kekurangan lagi to?”
“Sepanjang
keinginan tadi belum terwujud sih iya.”
“Berarti kamu
merasa tidak kaya lagi to meski sudah punya uang dan mobil?”
“Yaaa…ya gitu,
selama belum tercapai yang tadi itu…”
“Pertanyaanya,
sampai kapan kamu akan berhenti ingin dan ingin?”
“Nggak tahu,
namanya juga manusia hidup…”
“Itulah letak
masalah mindset-mu.”
“Kok masalah?”
“Iya dong!
Pengen bisa hang out dan punya mobil,
tapi masih pengen yang lain.”
“Wajar kan keinginan?”
“Yups, tapi
mencederai target konkretmu untuk kaya yang pertama tadi.”
“Jadi relatif
ya…”
“Di situlah
letak kebahagiaan hidup karena kita mampu mensyukuri.”
“Syukur?”
“Ya, andai
kamu bersyukur dan konsisten dengannya, kamu bakal bahagia, kan?”
“Iya juga
sih…”
“Nah, itu
masalah pertamamu yang pengen kaya konkret tadi.”
“Masalah
lainnya apa lagi?”
“Apa yang
telah kamu lakukan untuk mencapai target kaya konkret itu?”
“Belum ada
sih…”
“Kenapa belum?
Lalu kapan mau kaya konkretnya?”
“Ya belum
punya akses aja sekarang, makanya tadi jadi nyesal.”
“Mungkin nggak
ada orang tiba-tiba mendatangimu dan memberimu akses?”
“Mustahil!
Hari gini mah…”
“So?”
“Ya
banting-tulang sendiri!”
“Itulah
masalahmu selanjutnya.”
“Jelasnya
gimana?”
“Kamu pengen
kaya tapi kamu nggak mau memperjuangkan aksesmu sendiri.”
“Belum aja,
bukan nggak mau.”
“Lha kalau
belum mulu, lalu kapan coba?”
“Iya sih…”
“Nah! Berarti kan ini lagi-lagi soal mindset-mu yang abstrak untuk mulai
kapan.”
“Iya, betul…”
“Berarti yang
abstrak itu, seperti mindset itu
penting banget kan?”
“Iya, iya,
benar…”
“Oke, tapi
kenapa kamu nggak percaya Tuhan sampai sekarang?”
“Ah, Tuhan…”
“Abstrak
lagi?”
“Ya gimana
ya…?”
“Lagi-lagi kan tentang mindset-mu
kan yang
menegasi Tuhan dari hidupmu?”
“Ya, kuakui
abstrak itu penting, tapi kalau Tuhan, hemm…gimana ya?”
“Gimana
apanya?”
“Nggak bisa
dibuktiin!”
“Mau bukti Dia
ada?”
“Coba deh
kalau kamu bisa!”
“Coba lihat
cewek bercelana dangkal yang lagi jemur paha dengan bandul itu.”
“Ya, kenapa
dia?”
“Seksi kan?”
“Iyalah, aku
normal…”
“Terlintas
nggak dalam pikiranmu pengen memacarinya?”
“Iyalah…”
“Tapi berat ya
cewek kayak dia bakal mau jadi pacarmu.”
“Ya, sulitlah,
aku kere gini!”
“Lalu
terbayang nggak untuk memperkosanya aja?”
“Hemm…jahatlah
itu, jangan!”
“Jahat?”
“Iya, itu
nggak layak dilakukan manusialah.”
“Lho, siapa
yang mengajarimu tentang nilai itu?”
“Hatikulah…”
“Hati?”
“Iya dong!
Manusia punya hati, masak mau jadi pemerkosa kayak ayam aja!”
“Berarti hati
yang membisikimu untuk tidak berbuat jahat kan?”
“Iya.”
“Bagaimana ya
hati bisa memberitahumu?”
“Kan hati memang
menyimpan nurani, nah nurani itu menyuarakan angle.”
“Itulah suara
Tuhan!”
“Hati adalah
suara Tuhan?”
“Ya!”
“Kok?”
“Ayam punya
hati juga nggak?”
“Punyalah.”
“Ayam tahu
nilai baik dan buruk dengan hatinya nggak?”
“Nggaklah.”
“Itulah beda
hati ayam dengan hati manusia yang bernurani.”
“Nurani itu
suara Tuhan berarti?”
“Ya!”
“Gimana dengan
manusia yang berbuat jahat padahal punya hati?”
“Itu karena
hatinya nggak beda lagi dengan hati ayam!”
“Maksudnya?”
“Nuraninya
disingkirkan! Suara Tuhan-nya dicampakkan, jadilah ia jahat!”
“Tuhan ya…”
“Ya, Tuhan
terbukti benar adanya dari sekadar membaca hati kita.”
“Hemm, aku
masih ngerasa gimana…?”
“Bukankah saat
ini hatimu membenarkan pentingnya suara Tuhan itu?”
“Iya sih,
tapi…”
“Berarti saat
ini suara Tuhan sedang bekerja di hatimu.”
“Berarti ada
Tuhan di hatiku?”
“Tuhan sedang
mendengarkan obrolan kita.”
“Bagaimana
kamu bisa tahu?”
“Tanyalah
hatimu yang bernurani itu.”
“Caranya?”
“Ayuk, shalat,
ntar kamu kan
merasakan kehadiran-Nya.”
Jogja, 5 Juni 2013
*) Cerpen dialog ini sekadar
sebuah eksperimen teknik.
7 Komentar untuk "SI X, SI X, AND GOD Cerpen @edi_akhiles"
Saya juga punya teknik beginian di salah satu fragmen novelku, kak. melelahkan memang! haha
Luar biasa, pak. :)
Cerita tanpa narasi ya ini namanya? Keren. Saya juga punya teman yang kayak begini. Anak komputer tapi gak bisa komputer, gitu katanya. Ya percis kayak cerita ini :)
Mantep mas.
Keren.... Pengen bisa nih nulis sekeren ini :)
teknik penulisan sederhana, perlu di perhatikan diantara dialog dan tanda baca nya, refrensi untuk belajar dengan baik. "terimakasi kasi kak, sejak baca ini. aku semakin mengerti makna memisahkan kata dialog"
keren, thankss for ilmunya pak :)