Menulis novel
menempuh dua fase: mengalirkan cerita. Itu pertama.
Ya, untuk mampu mengalirkan cerita dengan baik tentu dibutuhkan teknik yang
baik pula. Mulai dari penguasaan alur, setting, penokohan, karakter, konflik,
hingga ending. Pasti! Nggak boleh
kendur salah satunya. Bukankah jika sebuah tubuh mulai kendur salah-satunya
saja akan berasa agak gimanaaaa gitu?? J *______* *isi:abaikan!
Betapa
capeknya ketemu kalimat pembuka sejenis ini:
Angin laut menyapu debu-debu pantai
begitu sahdunya. Sinar sang surya menyemburat di antara mega-mega yang
berarakan. Angin begitu datar menghembus. Pasir-pasir beterbangan. Gemuruh
ombak terdengar di kejauhan tanpa lelah. Menyaput bibir-bibir pantai.
Seorang gadis terduduk sendiri di
atas batu…
Capek banget
bacanya! Secapek menanti kepastian darimu… *korbanPHP*
Atau, jika
ketemu narasi seperti ini:
Sang gadis mengayunkan kakinya,
ia berjinjit dengan kedua kaki diangkat pelan, ia tampak sangat berhati-hati.
Lelaki yang berdiri di kegelapan itu menatapnya bisu. Mengamati setiap
langkahnya.
Ditumpuk-tumpuk
adegan antartokoh udah kayak hati yang pilu gara-gara cintanya ditumpuk-tumpuk.
Atau misal
juga ketemu dialog begini:
“Jadi gimana kelanjutannya?”
tanyaku. Nadin mengernyit, ia tampak cuek. Aku ikutan diam. Kemudian Nadin
berkata, “Terserahlah…”
Adegan-adegan
antartokoh juga dicampur-aduk bak semen batu dan pasir di dalam bak truk molen.
Begitu berat bacanya, seberat menunggu cinta yang tak kunjung terbalaskan….
*korbanperasaan*
Atau pula
menemukan model ustadz salah sasaran gini:
“Hidup itu perjuangan! Dalam
kitab suci, sudah jelas dikatakan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu
kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri.”
Ini nggak lagi
jelas batas antara Mamah Dedeh yang penceramah dengan Mamah Lia yang novelis.
Atau menemukan
adegan gini:
Braakkk!! Seseorang menabrakku.
“Maaf….” Lalu ia minta nomer HP-ku. Kami pun berkenalan, berdekatan, jadiah
dehhh…taraaaaaaa….
Gimana kalau
benar jadian-jadian bisa semudah gitu logikanya, wahai para jomblohhh,
tabrakkan diri kalian ke mobil biar bisa punya pacar bermobil!!
Atau pula nemu
ginian:
“Afwan, Ukhti, bagaimana kalau
nanti malam kita ngedate. Ya, malmingan gitu. Afwan ya, ini bukan ngedate,
tapi….”
Nafsuuuu!!!
Akhi-ukhti kok gitu logikanya sih? Nggak masuk logika. Cukur aja jenggotnya
kalau ada akhi yang begituan *_______*
Begitulah.
Seabrek lainnya masih ada kalau diteruskan.
Jika segala
masalah sejenis ini, masalah-masalah teknik sudah berhasil diatasi, dilewati,
nah sekarang tugas keduanya adalah:
bangun emosi dalam ceritamu! Yang cetar, yang penuh suspensi, yang gronjalan,
biar nggak datar-datar aja kayak lapangan sepak bola.
Hallowww,
hidup ini nggak datar banget, tauk! Bukankah sangat bosenin mengalami hidup
yang hanya berlinang airmata, mojok, bersedih, tertawa besoknya, nangis lagi,
nyengir lagi, nangis lagi.
Gimana caranya
membangun suspensi emosi dalam ceritamu biar nggak datar?
*Ah, liat
perutku dulu ah, benar-benar bergelombang sixpack!* *abaikan*
Tipsnya ini:
Satu, banyakin baca! Membaca kan buka mindset-mu,
perspektifmu. Dalam membaca apa pun, termasuk novel orang,m cermati teknik
mereka, cara-cara mereka membangun karakter dan emosi tokoh dan konflik. Amati!
Dua, banyak gaul! Dengan bergaul kamu kan ngerti bahwa nyari
pacar itu nggak bisa dengan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melaju dengan
kecepatan 100 KM/jam! Dengan bergaul, kamu bakal punya perspektif bahwa sedih
itu bukan mulu dengan berurai kristal bening di pelupuk mata. Tidak! Bisa
dengan banting kursi, mogok makan, bahkan makan orang dan banting orang! Disate
kek, masak makan kok terus hanya pake pepes! Bosen tauk…
Tiga, bangun chemistry dalam tulisanmu. Menulis apa pun yang berhasil dibangun
berdasarkan chemistry, pasti akan
merasuk ke dalam jiwa, hati. Cinta aja kalau hanya dimasukkan ke dalam dompet
dan rekening, lama-lama juga hambar. Butuh klik, chemistry, passion besar!
Nggak peduli
itu ide dari orang lain, asalkan kamu bisa bangun chemistry, klik dengannya, dengan jagad ide itu, hasilnya tetap
akan bisa tergerak dengan sangat suspen!
Empat, baca
ulang karyamu sebelum di-send!
Hindari send sebelum read! Read dan send itu udah
kayak suami istri. Mana bisa read
punya anak berupa novel yang ciamik jika mamanya yang bernama send nggak dilakuin, atau sebaliknya,
nggak mungkin send kan punya anak tsakeeeppp jika read nggak pernah nyumbangin
pembuahannya.
Happy DL! Para DL-er adalah golongan penulis yang telak telah kalah
sebelum berperang!
Lihatlah,
hal-hal yang menjadi syarat bermutunya karya dengan komplit, dari teknik sampai
taste, sepenuhnya mewajibkan sikap
beriman yang baik, bukan? Ya, novelis yang baik adalah novelis yang beriman
baik. (baca: “beriman” = penyabar dan pegigih).
Nggeeekkk!!!
Jogja, 3 Juni 2013
Tag :
Yang Serba Nakal
2 Komentar untuk "NOVELIS YANG BAIK = ORANG BERIMAN YANG BAIK"
Numpang nyimak..
Hemm....bisa gak ya? semoga ja!!